• Semalam Bisa Lima Kali 'Ngamar' Mau?
  • Tarif 'Ngamar' Naik Bang...
  • Acara Tivi Kita ‘kok’ Makin ‘ngga’ Mutu Yahhh,...
  • Judi Politik Itu Judulnya ‘Nyaleg’
  • Sebut Kami Tiongkok Atau Tionghoa Saja!
  • Harus Dibangun Tempat Judi Di Indonesia
  • Polah Wartawan, Main Potong dan Sok Pintar
  • Genting Highland Surganya Penjudi Asia
  • Melancong Ke Dataran Merdeka dan Batu Cave Malaysia
  • Mengunjungi Gedung Tertinggi Di Malaysia
  • Kawasan Alor, Jadi Segitiga Emasnya Kuala Lumpur
  • Kampanye dan Pengelolaan Menjadi Kunci Sukses Pariwisata Di Malaysia
  • KLIA Jauh Lebih Modern, Petugas Imigrasi Terkesan Ramah
  • Perayaan Tahun Baru Di Kasongan Meriah
  • Wartawan Lebih Miskin Dari Penerima BLSM
  • Si Vicky, Tokoh 'Isasi' Kontroversi
  • Zaman Laptop, Orang Malah Malas Menulis
  • Say No To ‘Perploncoan’, Hapuskan OSPEK
  • Sedikit Tentang Manfaat Berorganisasi
  • Warungnya ‘Pake’ Jablay

Indonesia Milik Siapa (Bag.I)

Jumat, 19 Oktober 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


 #Revisi

Penduduk Lokal dan Warga Pendatang

Membelah belantara Kalimantan Tengah
Sungguh ironis, jika masih ada yang menggunakan gelar “penduduk lokal” dan “warga pendatang” pada jaman dimana mobilitas masyarakat sudah mampu melampaui batas ruang dan waktu.


Sepertinya sebutan penduduk lokal dan warga pendatang itu hanyalah gelar yang kurang obyektif. kenapa? karena terkesan penduduk lokal harus dilindungi dan layak sukses. Sementara, warga pendatang diberikan aturan yang lebih ketat, karena warga pendatang dituntut harus menghargai penduduk lokal dan kesuksesannya harus membawa kemakmuran bagi penduduk lokal.

Jika bicara tentang sejarah manusia, siapakah warga pendatang dan siapakah penduduk lokal adalah sangat bias. Apakah pakai pendekatan Kartu Tanda Penduduk (KTP)? Suku tertentu? Agama tertentu? Atau strata ekonomi tertentu?

Sudah saatnya label penduduk lokal dan warga pendatang tidak lagi digunakan untuk jaman dimana pencampuran antar manusia sudah melintasi batas ruang dan waktu. Yang perlu dibatasi dan ditegakkan adalah obyektifitas peraturan yang berlaku untuk siapapun dan kapanpun tetap konsisten.

Mari belajar dari hikmah hijrah (merantau), dimana biasanya orang-orang yang berani merantau adalah mereka yang punya keberanian lebih dan daya tahan tinggi terhadap goncangan dari mana pun. Maka tidaklah heran apabila para perantau dimanapun, biasanya cenderung lebih mau berjuang dan cenderung lebih sukses dari penduduk lokal.

Makanya, orang yang dikelilingi oleh fasilitas keberadaan, biasanya cenderung malas. Sementara orang yang dihinggapi ke-tiada-an akan cenderung meradang dan bertahan sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi, sekali lagi ini adalah sebuah kecenderungan, bukan kesimpulan 100% untuk dijadikan generalisasi.

Kenapa saya tertarik mencermati fenomena sosial semacam ini, tak lain tak bukan karena kasus serupa juga dapat dan telah terjadi di mana saja, tak terkecuali di pulau Kalimantan dan seluruh pelosok Nusantara, bahkan seluruh dunia. Yang namanya penduduk lokal juga amat relatif. Orang yang telah lama berdiam di suatu daerah akan merasa sebagai penduduk lokal, karena telah hafal dengan sekelilingnya. Walau mereka juga “pendatang”, tetapi karena mereka sudah lama, adanya “pendatang” yang baru dalam jumlah yang banyak dan cepat, dapat membuat pendatang lama yang telah menjadi “penduduk lokal” merasa gerah, dan tidak nyaman. Walau semuanya warga negara Indonesia. (Fahruddin Fitriya)

Never you on behalf of local residents to suppress other people, we are one "Indonesia".

Jurnal Lanjutan,...
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger