#Revisi
Awas Sindrom
Penduduk Lokal
Sungguh ironis,
jika masih ada yang menggunakan gelar “penduduk lokal” dan “warga pendatang”
pada jaman dimana mobilitas masyarakat sudah mampu melampaui batas ruang dan
waktu.
---------------------------------------------------------------------------------
Ternyata
sindrom pengelompokan antara "kami" dan "mereka", antara
"penduduk lokal" dan "warga pendatang" juga terjadi diluar
negeri. Hal ini jelas digambarkan oleh A. Rahman Basrun dalam tulisannya “Awas
Sindrom Warga Singapura” di Berita Harian, koran berbahasa Melayu di Singapura,
tanggal 9/4 2012, lalu. Tulisan ini ditujukan untuk menanggapi komentar Perdana
Menteri Singapura pada tanggal 5/4 2012,
mengenai “PM Lee flags two worrying trends in Singapore”.
Tulisan
A. Rahman Basrun ini sangat menarik untuk dicermati karena menceriterakan bahwa
dulu (mungkin sekitar tahun 60-an dan 70-an) orang Melayu Singapura berteriak,
tidak suka dengan yang bukan Melayu, yaitu Cina dan India. Orang Melayu merasa kurang
diperhatikan di bidang pendidikan dan bisnis. Kemudian, dengan usaha integrasi,
demikian menurut Rahman, warga negara Singapura telah tersatukan, entah mereka
Cina, Melayu, atau India, bahkan yang “lainnya” (termasuk yang orang barat). Dan kini, mereka (Cina, Melayu, dan India)
bersama-sama berteriak terhadap arus pendatang, entah dari mana pun mereka,
termasuk pendatang dari Rakyat Republik Cina (RRC) dan India.
Yang
namanya penduduk lokal dan pendatang dapat pula berasal dari kelompok dengan
“darah” yang sama. Orang Cina warga negara Singapura belum tentu senang dengan
kehadiran orang Cina dari RRC, yang
jumlahnya meningkat dengan cepat. Bahasa mereka berbeda, budaya mereka berbeda.
Orang India warga negara Singapura belum tentu nyaman dengan para pekerja
kasar dari India atau expatriat dari
India.
Lalu bagaimana
dengan Indonesia?
Negara
Indonesia adalah negara yang amat luas, dengan jumlah penduduk yang hampir 50
kali lipat jumlah penduduk Singapura, ditambah lagi dengan tingginya mobilitas
penduduk dengan cepat, pada daerah yang kecil, seperti kecamatan, apalagi
kelurahan, migrasi ke suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi penduduk yang amat cepat pula.
Sangatlah
tidak mengherankan jika terjadi sentimen antara penduduk lokal dan warga
pendatang. Apalagi jika pendatang ini mempunyai tingkah laku (termasuk suku dan
agama) yang berbeda, maka konflik dapat mudah disulut, apalagi kalau para
pendatang itu dilihat sebagai saingan penduduk lokal.
Konflik
horisontal akan semakin rentan dengan meningkatnya suhu politik yang terus
memanas menjelang pesta demokrasi dalam bentuk pemilihan umum maupun pemilihan
umum kepala daerah. Isu orang lokal dengan label putra dearah lawan pendatang
dapat dengan mudah dipolitisir oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik, tentunya untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok tertentu. (Fahruddin Fitriya)
Never you on
behalf of local residents to suppress other people, we are one
"Indonesia".
Posting Komentar