#Revisi
Penduduk Lokal
dan Warga Pendatang
Membelah belantara Kalimantan Tengah |
Sungguh ironis,
jika masih ada yang menggunakan gelar “penduduk lokal” dan “warga pendatang”
pada jaman dimana mobilitas masyarakat sudah mampu melampaui batas ruang dan
waktu.
Sepertinya
sebutan penduduk lokal dan warga pendatang itu hanyalah gelar yang kurang obyektif. kenapa? karena
terkesan penduduk lokal harus dilindungi dan layak sukses. Sementara, warga pendatang
diberikan aturan yang lebih ketat, karena warga pendatang dituntut harus
menghargai penduduk lokal dan kesuksesannya harus membawa kemakmuran bagi penduduk
lokal.
Jika
bicara tentang sejarah manusia, siapakah warga pendatang dan siapakah penduduk
lokal adalah sangat bias. Apakah pakai pendekatan Kartu Tanda Penduduk (KTP)?
Suku tertentu? Agama tertentu? Atau strata ekonomi tertentu?
Sudah
saatnya label penduduk lokal dan warga pendatang tidak lagi digunakan untuk
jaman dimana pencampuran antar manusia sudah melintasi batas ruang dan waktu.
Yang perlu dibatasi dan ditegakkan adalah obyektifitas peraturan yang berlaku
untuk siapapun dan kapanpun tetap konsisten.
Mari belajar dari hikmah hijrah (merantau),
dimana biasanya orang-orang yang berani merantau adalah mereka yang punya
keberanian lebih dan daya tahan tinggi terhadap goncangan dari mana pun. Maka
tidaklah heran apabila para perantau dimanapun, biasanya cenderung lebih mau
berjuang dan cenderung lebih sukses dari penduduk lokal.
Makanya, orang yang dikelilingi oleh
fasilitas keberadaan, biasanya cenderung malas. Sementara orang yang dihinggapi
ke-tiada-an akan cenderung meradang dan bertahan sampai titik darah penghabisan
untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi, sekali lagi ini adalah sebuah
kecenderungan, bukan kesimpulan 100% untuk dijadikan generalisasi.
Kenapa saya tertarik mencermati fenomena
sosial semacam ini, tak lain tak bukan karena kasus serupa juga dapat dan telah
terjadi di mana saja, tak terkecuali di pulau Kalimantan dan seluruh pelosok
Nusantara, bahkan seluruh dunia. Yang namanya penduduk lokal juga amat relatif.
Orang yang telah lama berdiam di suatu daerah akan merasa sebagai penduduk
lokal, karena telah hafal dengan sekelilingnya. Walau mereka juga “pendatang”,
tetapi karena mereka sudah lama, adanya “pendatang” yang baru dalam jumlah yang
banyak dan cepat, dapat membuat pendatang lama yang telah menjadi “penduduk
lokal” merasa gerah, dan tidak nyaman. Walau semuanya warga negara Indonesia. (Fahruddin
Fitriya)
Never
you on behalf of local residents to suppress other people, we are one
"Indonesia".
Jurnal Lanjutan,...
Jurnal Lanjutan,...
Posting Komentar