#Disampaikan Oleh; DR. Firdaus
Muhammad MA, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin – Makassar, pada
ceramah umum di Forum Komunikasi Pemuda Muslim Se-Indonesia. (Via
telekonference, Makassar 15/11 2012).
Ilustrasi/Ist |
Ada banyak hal dan pelajaran pada
setiap peringatan hari besar, salah satunya adalah memaknai tahun baru
Hijriyah. Kehadiran bulan Muharram bagi umat Islam merupakan momentum penting
sebagai awal tahun baru dalam kelender Islam. Sejak ditetapkannya oleh khalifah
Umar bin Khattab pada 1.434 tahun silam, umat Islam seantero dunia
memperingatinya sebagai tahun baru, sekaligus medium melakukan introspeksi atas
aktivitas ibadah dan keimanannya pada tahun sebelumnya.
Tahun yang diawali dengan
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah ini, bukanlah sekedar
momentum perpindahan sekelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain. Namun,
hijrah
dimaknai lebih luas, yakni, hijrah nilai, misalnya
hijrah dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang Islami.
Dalam
pengertian ini, ghirah atau semangat hijrah yang patut diimplementasikan
sekarang ini, bukan lagi dalam pengertian fisik, tetapi hijrah secara
kontekstual dengan meninggalkan segala peradaban atau nilai-nilai yang tidak
baik dan tidak urgen menuju peradaban yang lebih baik yang diridhai Allah dan
dapat diterima umat manusia pada umumnya.
Menyingkapi
kondisi sekarang, perilaku yang menyimpang yang dilakukan baik prilaku
masyarakat biasa dengan pelbagai kejahatan dan kriminalitas yang telah
mencerminkan kehidupan penuh kekerasan, sepatutnya ditinggalkan dengan
berhijrah kepada kehidupan yang lebih baik.
Demikian
halnya dengan pola kehidupan pejabat yang banyak melakukan penyimpangan atas
amanah rakyat. Seperti melakukan korupsi atau perbuatan mungkar lainnya sebagai
fenomena fasad berupa pengrusakan dimuka bumi tanpa kontrol, maka idealnya
mereka berhijrah dari perilaku tersebut menuju ke jalan yang baik dengan
mengembang amanah dan kepercayaan rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Artinya,
pada saatnya untuk melakukan hijrah menuju pada internalisasi nilai-nilai
Islami.
Ravitalisasi
makna hijrah yang dikontekstualkan dalam kehidupan sekarang ini, menjadi
keniscayaan dengan mengubah sistem seperti yang dilakukan nabi pasca hijrah
dari Mekkah ke Madinah. Yakni membangun peradaban masyarakat madani dengan
sistem yang tertib, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan
membangun sistem sosial berupa mempersamakan orang-orang yang beragam suku dan
agama dalam masyarakat Madina tersebut.
Proses
hijrahnya nabi dari Mekkah ke Madinah menyiratkan multiinterpretasi yang
sepatutnya diaktualisasikan dalam konteks kekinian dan kedisinian. Penulis
mengurai makna filosofis dan aplikasi hijrah tersebut dalam beberapa pemahaman
yakni, pertama, hijrah sepatutnya dimaknai sebagai ikhtiar untuk hijrah dari
keterbelakangan menuju ke kondisi lebih maju dan dinamis.
Keterbelakangan
dalam konten tersebut melingkupi keterbelakangan secara individual atau
keterbatasan SDM, demikian juga keterbelakangan kolektif. Dalam hal ini,
keterbelakangan negara-bangsa dalam mensejehterakan masyarakatnya menuju
kehidupan yang lebih layak dan sejahtera.
Kedua,
hijrah secara universal dapat ditafsirkan sebagai proses perubahan atau
berhijrah dari sistem otoriter, era keterkungkungan menuju ke era keterbukaan
dan pembebasan. Melepaskan diri dari hegemoni tersebut menuju perubahan yang
memberi ruang untuk berekspresi dalam meraih kebebasan dan pembebasan, termasuk
keluar dari kungkungan rezim yang menindas.
Ketiga,
dimensi hijrah dari kejahiliaan menuju ke arah pencerahan juga menjadi makna
dari hijrah itu sendiri. Melakukan rekonstruksi pendidikan dengan sistem yang
lebih baik dan efesien sebagai upaya melahirkan sumber daya yang potensial masa
mendatang demi kemaslahatan bangsa, menjadi keniscayaan.
Demikian
beberapa interpretasi dan makna hijrah sebagai revitalisasi dengan konteks
kekinian. Hal ini sejatinya seorang Muslim menjadikan bulan Muharram yang
setiap tahunnya diperingati untuk membangun keshalehan individual dan
sosialnya. Sekaligus guna mengimplementasikan diri sebagi bagian Islam yang rahmatan
lil alamin, yang mengurai kedamaian dalam seluruh dimensi dan lini kehidupan
duniawinya sebagai bekal menuju perjalanan akhiratnya yang abadi.
Menyambut
tahun baru Islam, 1 Muharram 1434 H, menjadi momentum bagi umat Islam untuk
melakukan interospeksi secara kolektif, guna melakukan perubahan dari keadaan
yang kurang baik menjadi lebih baik sebagai revitalisasi hijrah. Meningkatkan
spritualitas dan kesadaran keagamaan menjadi keniscayaan umat Islam Indonesia,
terutama ketika bangsa ini dihadapkan dengan berbagai musibah yang sepatutnya
direnungkan sebagai momentum menguji kualitas keimanan dan keberislamannya dan
patut direnungi untuk diambil hikmahnya.
Sebagai
umat Islam, dalam menyambut Tahun Baru Islam, kita harus merefleksikan dan
mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam perjalanan hijrah nabi
secara kontekstual, yakni hijrah dari nilai-nilai yang buruk menuju penciptaan
nilai yang lebih baik.
Tahun
hijriyah ini sepatutnya umat Islam baik secara personal maupun kolektif seperti
yang tergabung dalam ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta yang
lainnya, menjadikan hijrah merupakan momentum memasuki tahun baru untuk
melakukan perbaikan dalam kehidupan sosial menuju perbaikan sistem demi
kebaikan dan kemaslahatan umat yang lebih luas, merubah sistem yang tiranik,
fasad dan menindas.
Untuk
itu, upaya merevitalisasikan makna hijrah dapat diartikulasikan dalam kehidupan
personal, keluarga, sosial kemasyarakatan dan bernegara secara sinergis. Bahkan
kini saatnya bangsa ini berhijrah menuju sistem yang lebih arif dengan sistem
yang demokratis guna mewujudkan kehidupan keadilan sosial bagi masyarakat luas.
Kearifan
memaknai hijrah dengan melakukan transformasi ke arah yang lebih baik dari
sebelumnya, termasuk didalamnya keberanian untuk melakukan rekayasa sosial
dengan berbagai varian inovasinya. Dengan begitu, setiap kita sebagai insan
beradab melakukan perbaikan dalam pelbagai lini kehidupan sebagai cerminan
semangat hijrah dan menyambut tahun baru Islam dengan membuka lembaran baru
yang lebih baik di hari-hari mendatang.
Disclaimer; Diketik ulang di Kasongan, Kabupaten Katingan (Kamis, 15/11
2012), tanpa merubah makna dan isi ceramah yang disampaikan. Catatan ini
dipublikasikan semata-mata untuk tujuan pendidikan.
Posting Komentar