#Catatan For 'Palangka Ekspres'
Baru-baru ini Polri merilis angka kematian akibat lakalantas (kecelakaan lalu lintas) lebih tinggi jika dibandingkan kematian akibat kejahatan. Tercatat sejak November 2011 - November 2012 terdapat 31.185 rakyat Indonesia mati sia-sia di jalan raya, itu sama artinya dengan empat nyawa setiap jamnya atau sebanyak 85 orang yang meregang nyawa karena kecelakaan lalu lintas dalam sehari
Ilustrasi/Ist |
Pernahkah
terbayang dibenak kita, jika korban-korban tak berdosa itu adalah anggota
keluarga kita. Apalagi kalau yang meninggal itu adalah seorang kepala keluarga
yang menjadi tumpuan hidup anak istrinya. Karena faktanya, korban lakalantas
yang meninggal dunia, 62,5% keluarganya mengalami pemiskinan (Data; Global Road
Safety Partnershhip).
Dari
sekian kejadian, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan lakalantas ini, yakni
infrastruktur, kendaraan dan tentunya pengemudi itu sendiri. Jika kita saksikan
infrastruktur berupa jalan raya dan rambu-rambu lalu lintas, kondisinya sangatlah
meyedihkan. Jangankan di daerah, di Ibukota saja banyak jalan yang berlubang,
marka jalan yang kabur dan traffic light yang mati.
Selanjutnya
kondisi kendaraan, mulai dari kendaraan umum yang sebagian besar kondisinya
buruk berupa besi tua yang pengap tidak aman dan tidak sehat karena setiap
kendaraan umum itu memuntahkan asap yang tebal dari knalpotnya. Ada plat uji
kir disetiap kendaraan tetapi saya ragu apakah kir dilakukan dengan benar.
Buktinya, kecelakaan bis beberapa waktu lalu diduga keras disebabkan rem blong.
Selain
itu, pembiaran pemerintah terhadap pertumbuhan kendaraan pribadi terutama
sepeda motor seperti tanpa batas. Karena sempitnya jalan, lalu lintas sulit
diatur dan kendaraan menyerobot trotoar yang menjadi hak para pejalan kaki.
Yang
terakhir adalah faktor manusia. Ini menyangkut penegakkan pengeluaran perizinan
dan peraturan di jalan raya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa SIM dapat dibeli
termasuk SIM B1 dan B2 yang harus
dimiliki supir-supir mobil angkutan umum. Berbeda halnya dengan Negara-negara
maju yang pengeluaran SIM-nya sangat ketat. Disamping harus berusia di atas 18
tahun, pemohon harus menjalani berbagai tes dan masa percobaan sebelum SIM
dikeluarkan.
Disamping
itu, dinegeri kita hampir tidak ada kontrol kecepatan. Mobil pribadi dan mobil
umum semua menjadi pembalap di jalan raya. Padahal di luar negeri, para
pengendara sangat takut melanggar batas kecepatan karena dendanya sangat tinggi
sekali.
Kalau
mau, tidaklah sulit bagi pemerintah untuk mengatasi kematian sia-sia disektor
angkutan tersebut. Negara yang pertumbuhan ekonominya 6.5% sudah pasti
mempunyai cukup dana untuk membenahi infrastruktur dan kendaraan umum. Kecuali
kalau uang negara hanya habis di korupsi. Pemerintah melalui Dishub dan
Polantas pasti dapat menegakkan peraturan di jalan raya dengan memberi mereka
gaji yang layak dan sangsi yang tegas, agar tidak ada petugas yang menjadikan
jalan raya sebagai sumber rezeki.
Meski demikian saya
tetap berharap ada reaksi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Polri dan
lembaga terkait terhadap kondisi diatas. Semoga mereka tidak hanya melihat itu
sebagai angka statistik saja. Bukankan 31.185 korban meninggal dibandingkan 240
juta rakyat Indonesia hanyalah 0,0008 persen, sangat kecil bukan? Lalu
membiarkan kecelakaan demi kecelakaan masih akan terjadi lagi. Mungkin nanti
teman kita, besok keluarga kita atau bahkan diri kita sendiri.
Kasongan, Minggu 18/11 2012
Posting Komentar