Jadi Wartawan Jangan Goblok

Sabtu, 07 September 20130 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

"Wartawan yang tidak mencintai bahasa adalah bebal, wartawan yang malas membaca dan terjun melakukan reportase adalah goblok"

Pic me...
Dalam setiap kesempatan, salah seorang wartawan senior, Almarhum Budiman S Hartoyo selalu mengucap atau menuliskan dua kalimat pedas ini. Beliau adalah mantan wartawan majalah Tempo yang sangat concern pada bahasa wartawan. Dia bedah habis kata-kata wartawan, baik magang, yunior, senior, hingga pensiunan, hingga kita tersadar, oh, logika kalimat tidak jalan. Kalimatnya kacau-balau.

Ternyata kritik pedasnya ini cukup beralasan, apalagi di saat kondisi dimana banyak wartawan asalan, asal jadi ber-ID Card bermunculan, bahkan di media-media terkemuka. Teringat ketika beberapa redaktur tempatku kerja mengeluhkan tulisan para wartawan. Katanya, banyak wartawan 'ngga pecus nulis'. "Payah. Yang kita lakukan ini bukan lagi editing, tapi rewriting. Harus menulis ulang, bongkar total susunan tulisannya," kata seorang redaktur yang suka gerundel.

Wartawan yang tidak suka membaca adalah bebal, dan akhirnya jadi buntat!!!

Berdiskusi dengan wartawan senior lain, Topan Nanyan (sekarang GM Palangka Ekspres/Group Jawa Pos), menurutnya hal yang demikian ini adalah keluhan klasik. Keluhan ini, katanya, juga sering terlontar saat dirinya masih menggawangi desk kriminal di Kalteng Pos (Group Jawa Pos). Dan, solusinya tidak bisa instan atau seketika jadi. "Kuncinya adalah membaca," kata bos top (nama akrabnya) kala itu. "Wartawan yang tidak membaca adalah bebal, dan akhirnya buntat."

Membaca apa? "Apa saja?" katanya.

Membaca selain membuat pengetahuan kita bertambah, pun mengasah logika. Orang yang terbiasa berpikir logis niscaya akan menulis dengan runut. Tidak melompat-lompat. "Biasakan seorang wartawan untuk membaca. Jangan terlalu asyik main games komputer," pesannya. Sederhana saja, tapi aktual.

Kembali lagi ke Pak Budiman, dari sebuah artikel karyanya, beliau berpesan, wartawan dan siapa saja yang bergulat dalam dunia tulis-menulis, harus menguasai dan mencintai bahasa, sehingga ia mampu menggunakannya sebagai alat pengungkap ekspresi yang pas dan penuh warna.

Pak Budiman sudah cukup lama meninggal dunia. Namun, jejaknya masih sempat terlacak di internet. Posting terakhirnya di wordpress bertanggal 31 Desember 2008. Sayang, blog Budiman yang satunya lagi, di Multiply, sudah tak mungkin lagi kita akses karena Multiply memang sudah menutup layanan blogging. Jejak Budiman S. Hartoyo di internet pun tinggal sedikit.

Dari petuah dua senior ini, aku berkesimpulan jika wartawan tidak boleh tidak membaca, tentunya agar tidak goblok dan bebal dalam berbahasa, terutama bahasa tulis. Orang yang suka menulis dengan bahasa tuturpun tak boleh jauh dari bacaan, Dahlan Iskan misalnya, meski dirinya lebih nyaman menulis menggunakan bahasa tutur, tetap saja selalu berbobot. Itu karena beliau gemar membaca.

Begitupun wartawan juga harus mencintai bahasa, terlebih memahaminya. ini adalah wajib, secerdas apapun pemikiran seseorang akan terbaca aneh ketika tulisannya semrawut, meski demikian denganku. terakhir, wartawan dilarang malas melakukan reportase. Hal ini untuk menjaga kualitas tulisan dengan keterbiasaan.

Yuk, berkualitas....

KASONGAN, 7/9 2013
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger