Berita BOX 'Palangka Ekspres'
Tebang
pohon, perbesar potensi banjir
Memilirkan kayu, cara paling murah memindahkan kayu |
Kenyataannya,
semakin banyak pohon ditebang, berarti semakin besar pula potensi banjir dengan
frekuensi dan intensitas yang lebih banyak. Bencana banjir di Katingan yang selalu
datang tiap tahun, ini setidaknya membuktikan hipotesis tersebut.
--------------------------------------
Kebiasaan
buruk menebang pohon saat banjir, ternyata sudah menjadi salah satu metode
bertahan hidup bagi sebagian masyarakat yang hidup di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Katingan, mekanisme semacam ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Semakin
tinggi dan lama banjir itu merendam permukiman dan ladang penduduk, hampir
dipastikan semakin banyak pula kayu yang ditebang.
Sebagian
dari mereka memanfaatkan aliran banjir untuk memilirkan (menghanyutkan)
kayu-kayu hasil tebangan. Bahkan, cara ini tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat lokal, namun juga perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di
wilayah Katingan. Cara ini sudah dilakukan puluhan tahun silam karena biayanya
paling murah. Cara inilah yang dikenal ‘banjir kap’.
Kepala
Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Katingan, Drs Yurbend menilai, DAS
Katingan cukup mengkhawatirkan karena sumber daya hutan yang menjadi sumber
tangkapan air juga sudah rusak. Pasalnya, selain pembabatan hutan, sekarang
sebagian konversi lahan di DAS Katingan menjadi perkebunan juga tidak
direncanakan dan dilakukan dengan baik. Kondisi ini semakin parah dengan
maraknya penambangan emas tanpa izin (peti) di Sungai Katingan.
”Sungai
Katingan sudah mengarah ke kondisi genting. Perlu penanganan serius agar jangan
telanjur parah dan akan semakin sulit untuk mengobatinya. Selain itu, kasus
pembalakan liar di Katingan yang turut mempercepat laju kerusakan hutan juga
tergolong memprihatinkan” kata Yurbend. ”Jika kondisi ini tidak segera
ditangani oleh berbagai pihak, bencana banjir yang lebih luas bisa menjadi
ancaman serius bagi masyarakat Katingan,” timpalnya.
Terpisah,
Kepala
Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan Ir. Hap Baperdo mengatakan, berdasarkan
peta lahan kritis dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kahayan
yang masuk dalam rencana teknis rehabilitasi serta Reboisasi Hutan dan Lahan (RHL)
untuk wilayah Kabupaten Katingan ada 500 ribu hektar lahan kritis.
“Lahan
kritis ini tersebar di 13 Kecamatan yang ada di Kabupaten Katingan,” sebutya.
Saat
dibincangi di lokasi penelitian, Kepala Lembaga Penelitian Universitas Gajah
Mada Jogjakarta, DR Tengku Heri Firmansyah mengungkapkan, Semestinya, Kabupaten
Katingan ini memiliki minimal 30 persen wilayah hutan utuh, terutama di daerah
Hulu Sungai Katingan.
“Dalam
siklus hidrologi, daerah hulu merupakan daerah resapan air yang harus tetap
terjaga hutannya,” ujarnya.
Lanjut
Heri, Akan tetapi fakta di lapangan, tak sedikit luasan hutan yang sudah
gundul, banyak yang sudah beralih fungsi dan sebagiannya sudah dikonversi
menjadi perkebunan sawit. Dampaknya, erosi pun semakin besar, sungai-sungai
akhirnya mendangkal dan bisa dipastikan ketika banjir air meluap ke mana-mana
bahkan berarus deras.
”Untuk
mengatasi ini, kuncinya tidak hanya menghentikan pembabatan kayu dan
pengendalian pembukaan hutan, yang lebih penting bagaimana semua pihak serius
mengembalikan daerah-daerah yang mengalami kerusakan tersebut, termasuk lahan
kritis menjadi hijau kembali. Jika tidak, bencana banjir semakin menjadi-jadi,”
katanya.
Thomas,
salah satu warga Kasongan, menambahkan, pihaknya meminta kepada pemerintah agar
dalam melakukan reboisasi hutan yang gundul di pedalaman juga melibatkan
masyarakat.
”Mereka
seharusnya segera bertindak, jangan hanya mendirikan pos kesehatan dan kasih
sedikit bantuan saat banjir tiba,” ujarnya.
Posting Komentar