Krisis Minat Mahasiswa Dalam Berorganisasi

Kamis, 12 September 20130 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Oleh; Fahruddin Fitriya
Pelantikan BEM UNNES 2008-2009
Monster Seperti Apa ‘sih’ Ormawa itu?

Membicarakan miniatur Negara bernama kampus dan organisasi, sebetulnya adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Artinya, kedua sisi ini akan tidak bernilai jika terpisah satu sama lain.

Berbeda dengan organisasi sekolah seperti, OSIS, PMR dan berbagai aktivitas organisasi lain. Organisasi Kampus atau organisasi kemahasiswaan yang selanjutnya kita sebut ‘ormawa’, jauh lebih dinamis dibanding organisasi di sekolah yang pernah kawan-kawan mahasiswa baru (maba) ikuti.

Ormawa pun banyak pilihan, meski secara garis besar dibagi menjadi dua jenis yakni, organisasi intra kampus (BEM, Senat/DPM, HIMA/HIMPRO/HMJ, UKM dll) yang berlimpah, siap mengakomodir kepentingan mahasiswa. Semantara, organisasi ekstra kampus (HMI, PMII, KAMMI, PMKRI, GMKI, GMNI dll) tak kurang jumlahnya. Tinggal suka yang bagaimana. Mau aktif di intra dan ekstra juga tak masalah.

Dengan banyaknya prototipe organisasi mahasiswa tersebut, sebetulnya bisa dibedakan mahasiswa yang aktivis atau organisatoris. Aktivis mengandung citra mahasiswa yang sering demo, terlibat dalam intrik politik kampus maupun luar kampus. Mereka ini jumlahnya lebih sedikit.

Sementara mahasiswa yang organisatoris adalah mahasiswa yang aktif di organisasi tanpa ‘pretensi’ demontrasi dan politik. Mereka kebanyakan aktif di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang memang konsentrasi di pengembangan bakat mahasiswa.

Meski demikian, pemaknaan dan pencitraan keduanya lebih menekankan kepada aktivitas dan persepsi semata. Bahkan, penilaian atau cap yang disematkan ini sempat mengundang pandangangan miring yang secara ‘nyinyir’ menjadi mahasiswa organisatoris adalah latihan menjadi EO (Event Organizer) yang berlatih membuat acara dan mencari sponsor ‘mafia proposal’.

Dari gambaran singkat diatas, tentunya bisa penulis pastikan, jika kawan-kawan maba akan sangat merugi kalau hanya menjadi mahasiwa yang hanya ‘sekadar mahasiswa’, yang kuliah, bikin tugas, jalan-jalan, lantas pulang ke kos/rumah. Ini karena, Mahasiswa telanjur di ‘stereotipkan’ sebagai agent social of change (agen perubahan sosial) yang tampil di garda depan dalam perubahan masyarakat.

Mahasiswa Jadi Agen Perubahan, Benarkah?

Aktivis juga tak selalu memberontak
Pertanyaan tersebut akhirnya muncul, ketika melihat kawan-kawan mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang sebelumnya sering disebut sebagai agen perubahan, telah menjelma menjadi agen yang dirubah. Kenapa ini bisa terjadi di Kalimantan, ‘zoom’ lagi Kalimantan Tengah, dan lebih detail Palangkaraya.

Meski ada sejumlah mahasiswa yang tetap melakonkan perannya, tetapi itu dapat kita hitung jumlahnya. Kenapa hal demikian ini terjadi? Tentunya tak lepas dari paradigma negatif yang dikonotasikan kepada para aktivis mahasiswa (termasuk organisatoris) selanjutnya, keduanya kita sebut aktivis.

Parahnya, ini dilakukan oleh sejumlah dosen dan pejabat kampus (maaf bagi yang tidak termasuk). Aktivis mahasiswa dianggap sebagai nyamuk diantara kerumunan, menjadi aktivis mahasiswa hanya akan menghambat prestasi (Orientasi nilai) dan merupakan pemberontak yang tak tau budi.

Padahal, kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Mahasiswa yang menjadi aktivis adalah mahasiswa yang paling banyak menciptakan perubahan dan mendapatkan kesuksesan. Beberapa waktu lalu, Dalam Program Talk Show off air "Mata Najwa" menghadirkan Ketua PMI Pusat, Jusuf Kalla, Ketua MK, Mahfud MD, Menteri BUMN, Dahlan Iskan, dan Ketua KPK, Abraham Samad. Mereka dengan ‘gamblang’ menyatakan bahwa dulunya adalah aktivis mahasiswa, sebelum menjadi seperti sekarang.

Kenapa Minat Mahasiswa Dalam Berorganisasi Minim?

Meski dampak positif dalam berorganisasi begitu besar, kenapa minat kawan-kawan mahasiswa saat ini kian kendur. Tentunya ini merupakan sebuah dilema tersendiri bagi mahasiswa masa kini. Dari pengalaman penulis, ternyata ada beberapa faktor penyebabnya, diantaranya;

1.  Semakin benyaknya pilihan untuk mengisi waktu luang

Sebenarnya jam kuliah mahasiswa dulu dengan sekarang adalah sama maksimal 24 sks tapi mengapa disela-sela waktu luang minat organisasi mahasiswa tetaplah kurang adalah karena banyaknya kegiatan pilihan mahasiswa yang kurang berorientasi kepada sebuah kemahasiswaan, pada idealisnya seorang mahasiswa. Mudahnya akses teknologi dan informatika lewat internet membuat mahasiswa betah berjam-jam berada di internet, entah sekedar chatting, download game atau bahkan akses situs-situs porno. Yang pasti kurang berorientasi pada masa depan.

2.  Adanya tarif telpon dan sms murah

Anak muda (mahasiswa) sekarang, tidak sedikit yang rela menghabiskan waktunya untuk mengobrol lewat HP hingga berjam-jam, ditambah lagi budaya sms yang semakin jauh dari positifnya. Belum lagi penggunaan ponsel cerdas (smart phone) yang tidak bertanggungjawab, melalui jejaring sosial atau bbm misalnya. Mengundang, berkenalan, menyurat elektronik membuat semakin minimnya sosialisasi mahasiswa yang akhirnya menimbulkan sifat sering malu, kurang percaya diri dsb.

3.  Hiburan yang berlebihan

Misalnya konser-konser yang terlalu sering diselenggarakan juga merupakan hambatan minat mahasiswa untuk berorganisasi. Mahasiswa cenderung lebih antusias, Hanya dengan dari informasi poster penontonnya membludak. Tapi bagaimana dengan forum-forum dan kajian-kajian? Meskipun lewat undangan tiap personal, bahkan hingga face to face. Tetapi, ketika acara dimulai yang datang bisa dihitung, bahkan acaranya pasti (sering) terlambat.

4.  Bacaan yang tidak mendidik

Mengisi waktu luang dengan membaca, bahkan sangat positif, sepanjang itu membangun. Namun membaca komik atau novel korea (misalnya) secara berlebihan bukanlah sikap mahasiswa yang bertanggungjawab, karena tidak sedikit mahasiswa berambisi segera menghabiskan utuh per novel maka berapa lama waktu yang telah terbuang sia-sia. Bahkan hingga berjam-berjam. Inilah yang membuat kawan-kawan mahasiswa malas berpikir keras untuk kegiatan yang lebih berorientasi kepada gerakan, bahkan ketika kuliah maka lebih cenderung berambisi menghabisi bacaan novel tersebut ketimbang mengambil pelajaran dari dosen.

Beberapa contoh diatas adalah contoh kecil penghambat aktivitas organisasi, karena dari ke empat hal tersebut kita cukup sulit membedakan mana yang manfaat dan mudharat. Dari internet kita juga bisa menambah banyak wawasan. Dari HP juga sangat penting untuk mempermudah wawasan dan komunikasi. Dari konser mungkin juga cukup bisa me-refreshing-kan pikiran. Dari membaca kita juga punya banyak inspirasi. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana seorang mahasiswa mampu membedakan dan membagi yang tepat untuk mengisi waktunya.

Yang perlu menjadi perhatian adalah, sadar diri, sadar posisi, selalu mawas dan bertindak secara bertanggungjawab, minimal sebagai manusia dan mahasiswa. Selalu bergerak lebih dinamis, Selalu mencari apa kekuranagn kita dan melawan kekurangan itu semaksimal mungkin. Terakhir, ‘Jer basuki mawa beya’ (Jawa; keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan).

Selamat berkarya… Semangat!!!

Palangkaraya, 12/9 2013

Disampaikan pada acara bertajuk “Menjadikan Calon Guru Yang Berkepribadian, Memiliki Etika dan Moral Dalam Mencetak Generasi Pembaharu Bangsa Melalui Pengembangan Diri, Komunikasi dan Kerja Sama”.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger