#Perjalanan Gendeng, Bag. I
JEMBATAN KALAHIEN; Jembatan di atas sungai Barito yang menghubungkan Kabupaten Barito Selatan dengan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. |
Perjalanan yang kedua ini memang bukan
milikku, namun milik seorang kawan yang sudah matang merencanakannya jauh-jauh
hari. Awalnya aku menolak untuk ikut serta, namun setelah kupikir, tak tega
membiarkannya sendirian melakukan perjalanan berat mebelah kalteng tersebut,
apalagi setelah mendengarkan rencana perjalanannya tanpa menginap, go nonstop.
Satu kata buat rencana ini, “Gendeng”.
Sehari sebelum hari H, ku putuskan untuk ikut
serta dalam perjalanan gendeng
tersebut. Alasanku cukup mendasar, dia satu-satunya kawanku di negeri berjuluk Gumi Jari Janang Kalalawah (Bahasa
Maanyan; Menjadi Jaya Selamanya), bukan hanya kawan di dunia perjurnalistikkan,
namun ia juga kawan berbagi suka maupun duka, meskipun sering berdukannya. Eh
ya kelupaaan, kenalin dulu kawanku, doi nih Logman salah satu wartawan media
lokal yang saat ini masih dikelola menejemennya oleh salah satu media nasional.
Seperti pagi-pagi yang lain, bangun kita
kesiangan. Keberangkatan yang kita rencanakan 08.00, molor sampai 11.00. Jalan pertama
yang kita lintasi adalah jalan negara, jalan lintas Kalimantan
Selatan-Kalimantan Tengah (Kalsel-Teng). Jalan dengan aspal goreng (Hot mix)
ini cukup nyaman untuk dilalui, lubang sih ada, tapi masih jarang. Sesampainya
di ampah, kita ambil jalur arah Buntok (Barito Selatan). Jalan inipun masih
beraspal, namun tak seluas jalan negara.
Karena si Logman ada janji dengan seorang
teman di Buntok, kami sejenak beristirahat sekaligus mengisi perut yang dari
tadi sudah keroncongan. Seusai sarapan, eh makan siang ding, kami tancap gas
menuju Palangkaraya. Jalanan yang kami lalu makin menyempit dan berlubang,
tampak dari kejauhan papan nama yang terpasang di atas kontruksi jembatan
berbunyi “Jembatan Kalahien” dalam hati berkata, “Gerbang neraka didepan mata,”
ujarku.
Sebelum melintasi jembatan Kalahien kami
berhenti dulu untuk memberi minum si kuda besi, takutnya ia kehausan di tengah
belantara jalanan neraka. Sempat juga kami mengambil foto di atas jembatan yang
berada di atas sungai Barito itu, sebelum melintasinya.
Tanpa babibu lagi kami tancap gas kembali,
karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan berkendara dengan kecepatan tinggi,
kamipun berkendara hanya pada kecepatan 30-50 KM/Jam, peduli setan kendaraan
lain war wer – war wer mendahului
kami, inipun karena si kuda besi yang kami tumpangi berkaki kecil (2.25 –
2.15), artinya jauh dibawah ban standar yang diijinkan.
Sudah berjam-jam kami berkendara dijalanan
berdebu yang belum pernah mendapat sentuhan aspal semenjak jalur yang kami lalu
dibuka puluhan tahun silam. Saat menemui tikungan dengan pohon yang menjuntai
ke jalan, si Logman mengajak beristirahat sejenak melepas penat, namun usulan
tersebut ku tolak, ku bilang padanya “Tenang bro, didepan ada warung,”
tandasku. Hampir sejam perjalanan warung yang kubilang tak kunjung muncul.
Kali ini nasib baik menghampiri kami, setelah
melakukan perjalanan berjam-jam tanpa istirahat akhirnya nampak dari kejauhan
sebuah warung. Sesampainya di warung tersebut kamipun singgah untuk melepas
penat yang sempat tertunda. Sebelum meninggalkan warung, langit nampak kurang
bersahabat dan tiba-tiba angin ribut menerpa kami dan orang-arang yang
kebetulan singgah ke warung menghindari angin atau hujan yang nampaknya
sebentar lagi mau turun.
Degan kondisi demikian, bukannya nyali kami
menciut tapi kami malah pengen cepet-cepet tancap gas, tujuannya kabur dari
hujan dan angin ribut tersebut. Kami melihat didepan langit lebih cerah,
kamipun berkeyakinan jika hujan ini hanya akan turun ditempat ini dan
tempat-tempat yang sudah kami lalui, dan ternyata prediksi kami benar, makin
kedepan, langitnya makin cerah. Keadaan ini sekaligus membuat cerah pula
hatiku.
Berjam-jam perjalanan kembali kami tempuh
dengan penuh penderitaan, sedikit hiburan beberapa meter jalan beraspal. Saat
itu dalam benakku selalu bertanya, kapan kami sampai jembatan Timpah (Jembatan
diatas Sungai Kapuas).
Pic. perjalanan I "Membelah belantara Kalimantan Tengah"
Palangka Raya - Barito Timur Via Kalahien, tanpa aspal, coy. |
Pucuk dicinta ulam pun tiba, dari kejauhan
nampak jembatan besar yang tak lain dan tak bukan adalah jembatan timpah. Dalam
hati, “inilah ujung penderitaan,” ungkapku dalam hati. Setelah melintasi jembatan
tersebut, jalanan yang kami lalui mulai membaik. Kerinduanku terhadap jalanan
beraspal mulai terobati.
Tak lama kemudian kami jumpai kembali sebuah
jembatan yang tak ku ketahui diatas sungai mana (Akan ku cari tahu sepulang
dari Pangkalan Bun). Karena daerah aliran sungai (Das)nya cukup menarik
menyerupai pantai, kamipun tergoda untuk berfoto dengan latar belakang jembatan
dan indah Das yang dilintasinya. Setelah menyiapkan kamera, bukannya berfoto
ria, pandangan kami beralih pada aktivitas beberapa orang yang menurut kami
aneh.
Semakin ku zoom out, nampak beberapa orang
tengah memindahkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari drum-drum yang ada diatas
truck ke jerigen-jerigen yang ada di atas perahu. Keyakinanku semakin kuat jika
yang dipindahkan mereka adalah BBM saat melihat drum-drum tersebut
bertuliskan…. (Bersambung)
Posting Komentar