#Opini
Politik, Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat
Ini adalah kali ketiga, diriku menginjakkan
kaki di Kabupaten berjuluk Marunting Batu Aji (Menuju Kejayaan), yang secara
nasional dikenal dengan nama Kotawaringin Barat (Kobar). Kedatanganku ke
kabupaten beribukota Pangkalan Bun kali ini, hanya karena penasaran ingin
menyaksikan secara langsung drama politik, yang menurutku hanya dilatar
belakangi ambisi semata.
Kisah yang diawali dengan adegan pemilihan
umum kepala daerah (Pemilu Kada), telah berlangsung 2 tahun silam ternyata
masih berlanjut hingga kini. Adegan ini berlanjut dengan ketidakpuasan, ya
ketidakpuasan. Karena kengototan dari kedua belah pihak telah berujung
kesemrawutan, bukan hanya pada penegakkan hukum dan penyelesaian secara
kontitusional, bahkan merembet ke sengketa administratif.
Nampak Rumah Jabatan Bupati Kotawaringin Barat, dibakar massa yang diketahui pendukung SUKSES, karena menolak pelantikan UJI-BP oleh Menteri dalam negeri, di Jakarta. |
(21 Maret 2012) Babak baru dalam adegan ini berlanjut,
ketika Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta
mengabulkan dan memenangkan gugatan dari salah satu kubu (Yang didiskualifikasi
MK), untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri),
tentang pengesahan dan pengangkatan Bupati Kobar atas dasar rekomendasi MK (SK Mendagri
Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8
Agustus 2011) karena dianggap cacat hukum dan tidak sah.
Jika kita membuka buku Yurisprudensi
(Keputusan Hakim terdahulu), mungkin ini kali pertama dijumpai kasus sengketa
pemilu kada yang menggunakan peradilan administratif (PTUN), memang hal ini
tidak aneh, tetapi anehnya terletak pada logika hukum yang mengesampingkan
hirarki peradilan, dimana sebelumnya sengketa pemilu kada sudah diputus MK,
peradilan kelas dewa di bidang Konstitusi.
Jika yang jadi masalah hanya sebatas
administrasinya, ku rasa ini tidaklah begitu signifikan, apalagi jika ngomong
masalah pelengseran. Logikanya, SK di cabut lalu MK rekomendasikan untuk
membuat SK baru, dan menunjuk orang melantik kembali sang bupati, beres. Bos,
biaya menggelar persidangan lebih mahal jika dibandingkan dengan harga kertas
untuk membuat SK. Kalau aku sih mending dananya buat bangun daerah.
Jadi sudah jelas, jika ambisi dan
kengototanlah yang melatarbelakangi ini semua, jelas pula tujuan menggunakan
institusi berlabel PTUN, hanya untuk bisa dikabulkan dan dimenangkan sampai
tingkat Mahkamah Agung (MA). Bahasa pekoknya,
kalah di MK, kita adu MA dan MK. Lalu jika kedua intitusi dewa ini bertarung,
ya jelas saja aset negara lagi yang jadi korban (Baca; Rujab Bupati Kobar diBakar Massa), lebih ironis lagi, para pendukung kelas menengah kebawah jadi alat,
kaum elit kelas atas kesamping mah tinggal perintah.
Media massa yang seharusnya memposisikan diri
senetral mungkinpun tak ku jumpai, bahkan menurut logika hukum yang ku pelajari
membuatku untuk menahan tawa, saat menikmati sajian berita dan opini mereka. Sekali
lagi ya maklumlah, mungkin penulisnya tak ada background dibidang hukum,
terkhusus hukum tata negara, yang aku dan kawan-kawan seperjuangan dulu
pelajari hingga dua belas sistem kredit semester (SKS) semasa kuliah.
Dari apa yang mereka tulis misalnya, Si anu
terjungkal, si itu tidak sah dengan jabatannya, si ini dimenangkan. Dalam hati,
stop! Apa maksud terjungkal, tidak sah, dan dimenangkan?
Aku rasa ini adalah kajian hukum terdangkal,
dari opini dan berita yang pernah di sajikan media massa besar, yang notabenenya
banyak orang hebat yang didatangkan dari ibukota. Kenapa mereka tidak melihat
kompetensi peradilan yang ada. Siapa MK, siapa MA, dan terlebih siapa PTUN.
Media yang ku gadang-gadang dapat menelaah dan menyajikan ulasan menarik,
berimbang, dan independen hanya akan menjadi bahan tertawaan saja, ironis.
Ingin rasanya pulang lalu membawa sebongkok
tulisan-tulisan mereka ke forum diskusi kawan-kawan, untuk ditelanjangi
habis-habisan tentunya...(Bersambung >>> MK Peradilan Kelas Dewa & Putusan MK “Titah Dewa”)
Pangkalan Bun, 29 Maret 2012
Posting Komentar