Sengketa Pemilu Kada Kobar; MK Peradilan Kelas Dewa

Minggu, 08 April 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Kajian Hukum; Dapatkah PTUN Membatalkan Putusan MK?

STUDY TOUR; Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang '06 ke Mahkamah Konstitusi
Pada pekan terakhir bulan maret lalu, masyarakat Kotawaringin Barat (Kobar) ramai memperbincangkan tentang kemenangan kubu Sugianto Sabran-Eko Sumarno (SUKSES) atas gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. SUKSES menggugat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi terhadap Surat Keputusan (SK) Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011 Tentang pengesahan dan pengangkatan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP) sebagai Bupati Kobar periode 2011-2016.

Namun aneh dan uniknya adalah ekspose media dan tanggapan para pendukung SUKSES yang saya kira berlebihan. Misalnya, Si anu terjungkal, si itu tidak sah dengan jabatannya, si ini dimenangkan, Bahkan beberapa pendukung rela melakukan aksi cukur gundul. Karena dalam tulisan sebelumnya (Baca; Kronologis dan Babak Baru) hanya memuat mengenai kronologis dan gambaran singkat mengenai asal mula sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Kabupaten Kobar, kali ini saya akan mencoba melakukan analisa hukum terkait dengan putusan PTUN DKI Jakarta tersebut.

Pertama, kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus sengketa pemilu Kada hanya ada di Mahkamah Konstitusi (MK). Maka lingkungan peradilan lain, termasuk PTUN, tidak mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutus sengketa pemilu Kada. Sengketa Pemilukada merupakan urusan MK. Berkaitan dengan sengketa Pemilu Kada Kabupaten Kobar, Putusan MK menjadi rujukan, karena “Keputusan MK bersifat final dan mengikat.” Hal ini cukup jelas tertuang dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Kewenangan MK itu diberikan oleh konstitusi. Maka peraturan hukum di bawahnya tidak dapat menilai putusan MK tersebut.

Kedua, sifat universal peradilan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, bahwa suatu putusan pengadilan, dalam hal ini MK yang sudah bersifat final dan mengikat, tidak dapat lagi diadili di lingkungan peradilan lain, dalam hal ini PTUN. Hal ini dapat dimengerti sebab bisa dibayangkan kerumitan hukum jika PTUN masih dibolehkan menilai, apalagi membatalkan putusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde).

Ketiga, Putusan MK bersifat “erga omnes” yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Selain itu putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya. Sifat putusan ini juga sesuai dengan Penjelasan Pasal 10 UU MK yang menegaskan bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Jadi, keputusan MK tidak hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara di MK, tetapi juga orang-orang atau instansi-instansi lain di republik ini. Maka, tidak boleh ada lagi orang yang menggugat putusan MK itu. Sebab dengan penerapan asas “erga omnes” semua orang di republik ini harus tunduk pada putusan MK tersebut.

Keempat, Mendagri tidak dapat disalahkan, sebab sebelum Mendagri menandatangani SK Tersebut, Mendagri terlebih dahulu meminta surat keterangan/rekomendasi dari MK, apakah putusan terkait sengketa Pemilu Kada di Kabupaten Kobar sudah bersifat final dan mengikat.

Kelima, dalam koordinasi Ketua MK, Ketua Mahkamah Agung (MA), Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dan Kepala kejaksaan Agung (Kejagung) di MK tanggal 07 Juli 2010, tegas menyatakan bahwa bahwa aparat penegak hukum dan lingkungan peradilan lain tidak boleh menilai putusan MK.

Keenam, MA sendiri sudah mengeluarkan Surat Edaran kepada semua lingkungan peradilan di bawahnya termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara agar semua keputusan-keputusan yang menyangkut hasil pemilukada tidak dapat lagi digugat di PTUN.

Lalu, bagaimana nasib Putusan PTUN DKI Jakarta tanggal 21 Maret 2012 itu? Saya sendiri belum pernah membaca putusan tersebut, tetapi kalaupun benar isinya seperti apa yang seorang kawan paparkan beberapa waktu lalu, pendapat saya sebagai berikut:

(1) Putusan itu belum berkekuatan hukum tetap sehingga tidak dapat dieksekusi. Sebab, masih ada batas waktu sampai dengan tanggal 04 April 2012 (14 hari sejak putusan dibacakan) bagi Mendagri dan UJI-BP untuk mengajukan upaya hukum banding.

(2) Putusan PTUN tersebut di atas, sekalipun suatu saat sudah berkekuatan hukum tetap, akan dikualifikasi sebagai “putusan yang non eksekutabel,” putusan yang tidak dapat dilaksanakan. Sebab putusan PTUN itu terbukti melanggar ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana diuraikan di atas.

Saya berharap media dan masyarakat Kabupaten Kotawaringin Barat, tidak menafsirkan putusan PTUN itu secara manasuka, sesuai selera pribadi, yang sentimentil emosional. Sebaliknya, harus melihat putusan itu secara rasional dengan logika hukum yang mendalam. Dengan begitu, tidak ada proses pembodohan berlanjut di tengah masyarakat.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger