#Kajian Hukum; Dapatkah PTUN
Membatalkan Putusan MK?
STUDY TOUR; Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang '06 ke Mahkamah Konstitusi |
Pada pekan terakhir bulan maret
lalu, masyarakat Kotawaringin Barat (Kobar) ramai memperbincangkan tentang
kemenangan kubu Sugianto Sabran-Eko Sumarno (SUKSES) atas gugatannya di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. SUKSES menggugat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi terhadap Surat
Keputusan (SK) Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun
2011 tertanggal 8 Agustus 2011 Tentang pengesahan dan pengangkatan Ujang
Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP) sebagai Bupati Kobar periode 2011-2016.
Namun aneh dan uniknya adalah ekspose
media dan tanggapan para pendukung SUKSES yang saya kira berlebihan. Misalnya, Si
anu terjungkal, si itu tidak sah dengan jabatannya, si ini dimenangkan, Bahkan
beberapa pendukung rela melakukan aksi cukur gundul. Karena dalam tulisan
sebelumnya (Baca; Kronologis dan Babak Baru) hanya memuat mengenai kronologis dan gambaran singkat mengenai asal
mula sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Kabupaten Kobar, kali
ini saya akan mencoba melakukan analisa hukum terkait dengan putusan PTUN DKI
Jakarta tersebut.
Pertama, kompetensi
absolut untuk memeriksa dan memutus sengketa pemilu Kada hanya ada di Mahkamah
Konstitusi (MK). Maka lingkungan peradilan lain, termasuk PTUN, tidak mempunyai
kompetensi untuk memeriksa dan memutus sengketa pemilu Kada. Sengketa
Pemilukada merupakan urusan MK. Berkaitan dengan sengketa Pemilu Kada Kabupaten
Kobar, Putusan MK menjadi rujukan, karena “Keputusan MK bersifat final dan
mengikat.” Hal ini cukup jelas tertuang dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
“Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.”
Kewenangan MK itu diberikan oleh
konstitusi. Maka peraturan hukum di bawahnya tidak dapat menilai putusan MK tersebut.
Kedua, sifat
universal peradilan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, bahwa suatu
putusan pengadilan, dalam hal ini MK yang sudah bersifat final dan mengikat,
tidak dapat lagi diadili di lingkungan peradilan lain, dalam hal ini PTUN. Hal
ini dapat dimengerti sebab bisa dibayangkan kerumitan hukum jika PTUN masih
dibolehkan menilai, apalagi membatalkan putusan MK yang sudah berkekuatan hukum
tetap (incracht van gewijsde).
Ketiga, Putusan MK
bersifat “erga omnes” yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap
warga negara. Selain itu putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum
seperti banding, kasasi dan lainnya. Sifat putusan ini juga sesuai dengan Penjelasan
Pasal 10 UU MK yang menegaskan bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan
MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh.
Jadi, keputusan MK tidak hanya
mengikat pihak-pihak yang berperkara di MK, tetapi juga orang-orang atau
instansi-instansi lain di republik ini. Maka, tidak boleh ada lagi orang yang
menggugat putusan MK itu. Sebab dengan penerapan asas “erga omnes” semua orang
di republik ini harus tunduk pada putusan MK tersebut.
Keempat, Mendagri tidak
dapat disalahkan, sebab sebelum Mendagri menandatangani SK Tersebut, Mendagri
terlebih dahulu meminta surat keterangan/rekomendasi dari MK, apakah putusan
terkait sengketa Pemilu Kada di Kabupaten Kobar sudah bersifat final dan
mengikat.
Kelima, dalam
koordinasi Ketua MK, Ketua Mahkamah Agung (MA), Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri), dan Kepala kejaksaan Agung (Kejagung) di MK tanggal 07
Juli 2010, tegas menyatakan bahwa bahwa aparat penegak hukum dan lingkungan
peradilan lain tidak boleh menilai putusan MK.
Keenam, MA
sendiri sudah mengeluarkan Surat Edaran kepada semua lingkungan peradilan di
bawahnya termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara agar semua
keputusan-keputusan yang menyangkut hasil pemilukada tidak dapat lagi digugat
di PTUN.
Lalu, bagaimana nasib Putusan PTUN
DKI Jakarta tanggal 21 Maret 2012 itu? Saya sendiri belum pernah membaca
putusan tersebut, tetapi kalaupun benar isinya seperti apa yang seorang kawan
paparkan beberapa waktu lalu, pendapat saya sebagai berikut:
(1) Putusan itu belum berkekuatan
hukum tetap sehingga tidak dapat dieksekusi. Sebab, masih ada batas waktu
sampai dengan tanggal 04 April 2012 (14 hari sejak putusan dibacakan) bagi
Mendagri dan UJI-BP untuk mengajukan upaya hukum banding.
(2) Putusan PTUN tersebut di atas,
sekalipun suatu saat sudah berkekuatan hukum tetap, akan dikualifikasi sebagai
“putusan yang non eksekutabel,” putusan yang tidak dapat dilaksanakan. Sebab
putusan PTUN itu terbukti melanggar ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana
diuraikan di atas.
Saya berharap media dan masyarakat Kabupaten
Kotawaringin Barat, tidak menafsirkan putusan PTUN itu secara manasuka, sesuai
selera pribadi, yang sentimentil emosional. Sebaliknya, harus melihat putusan
itu secara rasional dengan logika hukum yang mendalam. Dengan begitu, tidak ada
proses pembodohan berlanjut di tengah masyarakat.
Posting Komentar