Sengketa Pemilu Kada Kobar; Putusan MK “Titah Dewa”

Minggu, 08 April 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Kajian Hukum; PTUN Tidak Berhak Adili Putusan MK

Ilustrasi
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak berhak mengadili putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah menenangkan pasangan Agustinus Ujang Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP) dalam seketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Pasalnya, putusan MK itu bersifat final dan mengikat (Baca; Sengketa Pemilu Kada Kobar; MK Peradilan Kelas Dewa).

“PTUN secara absolut tidak mempunyai kompetensi untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa Pemilu Kada. Sebab, sesuai ketentuan UU, PTUN hanya mempunyai kompetensi untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa TUN, tetapi tidak termasuk Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilu, termasuk Pemilukada seperti diatur dalam Pasal 2  huruf g UU No.9/2004 tentang Perubahan UU No.5/1986 tentang PTUN.”

Ujang Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP) ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kobar berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011 Tentang pengesahan dan pengangkatan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP) sebagai Bupati Kobar periode 2011-2016. SK itu diterbitkan setelah MK memenangkan pasangan itu dalam sengketa Pemilu Kada Kabupaten Kobar.

Kemudian, pasangan Sugianto Sabran-Eko Sumarno (SUKSES) menggugat SK Mendagri tersebut ke PTUN DKI Jakarta, hasilnya PTUN DKI Jakarta mengabulkan serta memenangkan gugatan kubu SUKSES.  tiga poin penting Dalam sidang pembacaan putusan tanggal 21 Maret 2012 tersebut, diantaranya;

Pertama, Mendagri (Gamawan Fauzi) telah melanggar azas-azas pemerintahan umum yang baik sebagaimana yang dijadikan tolak ukur PTUN.

Kedua, menyatakan, Surat Keputusan (SK) Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011 tentang Pengesahan Pengangkatan Bupati Kobar Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto, cacat hukum dan tidak sah.

Dan ketiga, memerintahkan kepada Mendagri agar segera mencabut dan menarik SK Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011 tersebut dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan perkara ini memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dari apa yang pernah saya pelajari, menggugat Mendagri dan pasangan terpilih dalam Pemilu Kada Kabupaten Kobar dapat saya tafsirkan sebagai ungkapan kekecewaan salah satu kubu yang telah didiskualifikasi oleh MK. Sehingga, menuntut pembatalan SK Mendagri itu sama artinya minta membatalkan Putusan MK. Sebab Mendagri mendasarkan SK-nya pada Putusan MK.

Dengan adanya putusan PTUN DKI Jakarta tersebut, maka, Pemilukada Kabupaten Kobar telah diperiksa dan diputus pada dua badan peradilan yang berbeda, yaitu di MK dan di PTUN. Bedanya putusan MK sudah berkekuatan hukum tetap, final dan mengikat. Sedangkan Putusan PTUN DKI Jakarta masih berbentuk “kertas kosong” karena belum berkekuatan hukum tetap, belum final dan belum mengikat, sehingga tidak dapat dieksekusi (non eksekutabel).

Padahal, sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 1945, MK telah diberi kewenangan atau kompetensi absolut untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa Pemilukada. Putusan lembaga ini juga bersifat final dan mengikat. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No.24/2003 tentang MK dan Pasal 12 ayat (1) huruf d UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 236C UU No.12/2008 yang merupakan perubahan kedua atas UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Putusan MK yang bersifat mengikat, dalam arti negatif berarti hakim lain tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya di antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. “Ada dua istilah universal terkait larangan ini, yaitu: “ne bis in idem” yang berarti suatu perkara tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dan asas “litis finiri oportet” yang berarti: apa yang pada suatu waktu suatu sengketa telah diselesaikan oleh hakim, tidak boleh diajukan lagi kepada hakim lain.

Peradilan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, bahwa suatu putusan pengadilan, dalam hal ini MK yang sudah bersifat final dan mengikat, tidak dapat lagi diadili di lingkungan peradilan lain, dalam hal ini PTUN. Hal ini dapat dimengerti sebab bisa dibayangkan kerumitan hukum jika PTUN masih dibolehkan menilai, apalagi membatalkan putusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde).

Apalagi Putusan MK bersifat “erga omnes” yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Selain itu putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya. Sifat putusan ini juga sesuai dengan Penjelasan Pasal 10 UU MK yang menegaskan bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger