#Kajian Hukum; PTUN Tidak Berhak
Adili Putusan MK
Ilustrasi |
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak berhak mengadili putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah menenangkan pasangan Agustinus Ujang Iskandar-Bambang
Purwanto (UJI-BP) dalam seketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada)
Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Pasalnya, putusan MK itu bersifat final
dan mengikat (Baca; Sengketa Pemilu Kada Kobar; MK Peradilan Kelas Dewa).
“PTUN secara absolut tidak
mempunyai kompetensi untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa Pemilu Kada.
Sebab, sesuai ketentuan UU, PTUN hanya mempunyai kompetensi untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan sengketa TUN, tetapi tidak termasuk Keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU), baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilu,
termasuk Pemilukada seperti diatur dalam Pasal 2 huruf g UU No.9/2004 tentang Perubahan UU
No.5/1986 tentang PTUN.”
Ujang Iskandar-Bambang Purwanto
(UJI-BP) ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kobar berdasarkan
Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 131.62-584 Tahun
2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011 Tentang
pengesahan dan pengangkatan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP) sebagai
Bupati Kobar periode 2011-2016. SK itu diterbitkan setelah MK memenangkan pasangan
itu dalam sengketa Pemilu Kada Kabupaten Kobar.
Kemudian, pasangan Sugianto Sabran-Eko
Sumarno (SUKSES) menggugat SK Mendagri tersebut ke PTUN DKI Jakarta, hasilnya
PTUN DKI Jakarta mengabulkan serta memenangkan gugatan kubu SUKSES. tiga poin penting Dalam sidang pembacaan
putusan tanggal 21 Maret 2012 tersebut, diantaranya;
Pertama, Mendagri (Gamawan Fauzi)
telah melanggar azas-azas pemerintahan umum yang baik sebagaimana yang
dijadikan tolak ukur PTUN.
Kedua, menyatakan, Surat Keputusan
(SK) Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011
tertanggal 8 Agustus 2011 tentang Pengesahan Pengangkatan Bupati Kobar Ujang
Iskandar dan Bambang Purwanto, cacat hukum dan tidak sah.
Dan ketiga, memerintahkan kepada
Mendagri agar segera mencabut dan menarik SK Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun
2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011 tersebut
dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan perkara ini memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Dari apa yang pernah saya pelajari,
menggugat Mendagri dan pasangan terpilih dalam Pemilu Kada Kabupaten Kobar
dapat saya tafsirkan sebagai ungkapan kekecewaan salah satu kubu yang telah
didiskualifikasi oleh MK. Sehingga, menuntut pembatalan SK Mendagri itu sama
artinya minta membatalkan Putusan MK. Sebab Mendagri mendasarkan SK-nya pada
Putusan MK.
Dengan adanya putusan PTUN DKI
Jakarta tersebut, maka, Pemilukada Kabupaten Kobar telah diperiksa dan diputus
pada dua badan peradilan yang berbeda, yaitu di MK dan di PTUN. Bedanya putusan
MK sudah berkekuatan hukum tetap, final dan mengikat. Sedangkan Putusan PTUN
DKI Jakarta masih berbentuk “kertas kosong” karena belum berkekuatan hukum
tetap, belum final dan belum mengikat, sehingga tidak dapat dieksekusi (non
eksekutabel).
Padahal, sesuai ketentuan Pasal 24C
UUD 1945, MK telah diberi kewenangan atau kompetensi absolut untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan sengketa Pemilukada. Putusan lembaga ini juga bersifat
final dan mengikat. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf d UU No.24/2003 tentang MK dan Pasal 12 ayat (1) huruf d UU No.4/2004
tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 236C UU No.12/2008 yang merupakan
perubahan kedua atas UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan MK yang bersifat mengikat,
dalam arti negatif berarti hakim lain tidak boleh memutus perkara yang pernah
diputus sebelumnya di antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara
yang sama. “Ada dua istilah universal terkait larangan ini, yaitu: “ne bis in
idem” yang berarti suatu perkara tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dan
asas “litis finiri oportet” yang berarti: apa yang pada suatu waktu suatu
sengketa telah diselesaikan oleh hakim, tidak boleh diajukan lagi kepada hakim
lain.
Peradilan di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia, bahwa suatu putusan pengadilan, dalam hal ini MK yang sudah
bersifat final dan mengikat, tidak dapat lagi diadili di lingkungan peradilan
lain, dalam hal ini PTUN. Hal ini dapat dimengerti sebab bisa dibayangkan
kerumitan hukum jika PTUN masih dibolehkan menilai, apalagi membatalkan putusan
MK yang sudah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde).
Apalagi Putusan MK bersifat “erga
omnes” yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara.
Selain itu putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum seperti
banding, kasasi dan lainnya. Sifat putusan ini juga sesuai dengan Penjelasan
Pasal 10 UU MK yang menegaskan bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan
MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh.
Posting Komentar