Oleh; Fahruddin Fitriya*
Palangkaraya, 29 November 2011
Fahruddin Fitriya, SH |
Jika
kita menilik dari tahun-tahun sebelumnya, penolakan yang sama juga pernah
terjadi terhadap UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) No.9 Tahun 2009
yang berujung dengan Judicial review dan akhirnya UU tersebut dibatalkan oleh
MK (Mahkamah Konstitusi). MK melalui mahfud MD menyatakan bahwa UU BHP tidak
memiliki kejelasan maksud dan keselarasan dengan UU lain (Kompas, 31/3/2010).
Sejalan
dengan Prof. Tilaar dan Prof. Muhammadun, dalam RUU PT ada ketentuan reinternasionalisasi
Perguruan Tinggi, jika universitas tidak global maka tidak dapat melanjutkan
kuliah di luar negeri, padahal ilmu pengetahuan itu harus universal bahkan
sebelum diundangkannya RUU PT pun sudah banyak lulusan PT di bangsa ini yang
melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Bahkan beliau melihat bahwa RUU PT hanya
sebagai legalisasi terhadap bisnis jasa pendidikan di bangsa ini dan hanya
menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis.
Jika
dilihat dari kepentingan RUU PT ini hanya bentuk reaksi dari beberapa pihak
atas penolakan dan pembatalan UU BHP di MK beberapa waktu lalu. Secara subtansial
semangat liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan dari RUU PT masih ada. Dari
berbagai aspek RUU ini masih banyak kelemahan karena hanya sebagai perwujudan
baru dari UU BHP yang pada dasarnya isi dan rohnya sama.
Jika
kita kaji dari sisi kajian filosofis, sosiologis dan yuridis juga sangat lemah,
tidak adanya materi muatan dalm RUU PT yang diamanatkan oleh UUD 1945 dalam
pengaturannya melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun
2003. Di dalam Ayat 3 Pasal 31 UUD 45 menyebutkan “Pemerintah menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional dalam satu Undang-undang”, Undang-undnag yang
dimaksud adalah UU No.20/2003 tentang Sisdiknas yang didalamnya juga mengatur
tentang pendidikan tinggi.
Amanat
yang ada dalam UU Sisdiknas tersebut tidak untuk membuat UU baru melainkan
membuat peraturan pemerintah (PP) karena Pasal 53 ayat 4 yang mengamanatkan
pembentukan UU BHP sudah dibatalkan oleh MK. Serta dalam putusan MK paska
pembatalan UU BHP juga tidak mengamanatkan pembentukan RUU PT, jadi pembentukan
RUU PT tidak memiliki rujukan yang jelas.
Dari
aspek sosiologis juga sangat lemah, masyarakat tidak pernah mendesak adanya
legal formal sebagai dasar pembentukan RUU PT. Hanya ada desakan dari beberapa
Perguruan Tinggi yang sudah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) untuk
segera disahkan UU PT sebagai dasar BHMN agar tidak kehilangan otonominya serta
PT BHMN ini tidak harus mematuhi PP No. 66 tahun 2010 mengenai perubahan atas
PP No. 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Padahal
dalam PP tersebut ada banyak hal yang menguntungkan bagi masyarakat yang
memiliki keterbatasan ekonomi, karena PP ini mengamanatkan pemerintah atau
pemerintah daerah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang mempunyai
keterbatasan ekonomi tetapi memiliki kemampuan akademi yang memadai untuk ikut
serta menikmati pendidikan tinggi dengan biaya ringan bahkan gratis (diatur
secara rinci dalam pasal 53A PP 60/2010).
Selain
itu ada kekhawatiran lain tentang RUU tersebut, RUU ini masuk ke DPR demikian
cepat dan sudah jelas ini tidak prosedural, pembuatan RUU ini hanya melalui
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR yang hanya melibatkan kaum elit kampus
ternama, khususnya kampus yang selama 5-10 tahun terakhir merasakan nikmatnya
candu skema privatisasi pendidikan berlabel BHMN.
Kita
bersama ketahui jika penyusunan RUU harus didahului dengan kajian yang
mendalam. Beberapa hal yang harus RUU lalui, diantaranya kajian white paper
hingga legal drafting. Jadi sudah pasti RUU ini akan mengalami banyak penolakan
dari berbagai elemen masyarakat terkhusus para akademisi dan para praktisi
pendidikan di bangsa ini, yang kemudian ada judicial review dengan Cost yang
besar. Tapi kerugian yang lebih besar lagi akan dialami bangsa ini jika RUU PT
tetap disahkan.
Harapan
saya dalam pembentukan peraturan untuk Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk PP atau
UU mestinya sederhana saja, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan;
Pertama,
kita harus melihat sisi dan manfaat kemasyarakatan; bagaimana agar akses
masyarakat terhadap Perguruan Tinggi itu mudah, mudah disini bukan dipermudah
soal ujian masuknya tapi sistem dan mekanismenya. Bukan penerimaan yang
didasarkan pada kemampuan membayar.
Saya
rasa penerimaan mahasiswa baru pada masa lalu (Orde Baru “red) yang hanya
menggunakan dua model yaitu PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan, istilah
sekarang Jalur Undangan) dan Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru
istilah sekarang Seleksi Bersama) merupakan model penerimaan mahasiswa yang
ideal, karena calon mahasiswa dari kalangan miskin maupun kaya memiliki
kesamaan hak untuk dapat diterima di PTN.
Kedua,
dari sisi perguruan tinggi adalah bagaimana para pengelola Perguruan Tinggi
diberi otonomi dalam pengelolaan keuangan sehingga proses penganggaran dan
penggunaan dana di Perguruan Tinggi dapat lebih fleksibel, tidak seperti halnya
penggunaan dana APBN pada umumnya. Hal itu guna menjamin kelancaran proses
belajar mengajar di Perguruan Tinggi. Jangan sampai kegiatan praktikum terhambat
hanya karena pembelian bahannya belum ditenderkan. Perguruan Tinggi harus
memiliki fleksibelitas dalam menggunakan dana yang berasal dari APBN untuk
menunjang kegiatan belajar mengajarnya.
Ketiga,
PP Atau UU tersebut dapat memfasilitasi pengembangan PTS (Perguruan Tinggi
Swasta) dengan cara memberikan bantuan dan kemudahan birokrasi agar PTS yang
bersangkutan dapat berkembang dengan baik. Bukan sebaliknya, regulative
terhadap PTS tapi pelit untuk memberikan bantuan. Bahkan terkesan pemerintah lepas
tangan terhadap PTS, karena jika RUU ini diundangkan maka pemerintah hanya akan
memberikan bantuan/subsidi bagi Mahasiswa tidak mampu di PTN saja.
Keempat,
PP atau UU itu mestinya memberikan kejelasan tanggung jawab pemerintah terhadap
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Baik PTN maupun PTS. Sehingga bila ada maju
mundurnya Perguruan Tinggi, masyarakat dapat dengan mudah menunjuk kepada
pemerintah sebagai penanggung jawab.
Dari
harapan-harapan itu sama sekali tidak tertuang dalam RUU PT. Dalam pasal 63
ayat 1 yang mengatur mengenai penerimaan mahasiswa baru; dalam penjelasannya
masih membuka peluang jalur mandiri yang selama ini dikritik masyarakat karena
terlalu komersial serta memperjelas watak diskriminasinya terhadap mereka yang
mempunyai keterbatasan ekonomi. Ironisnya hal tersebut justru dikuatkan dalam
RUU PT ini.
Di
sisi lain tentang pengaturan dana tidak ada kejelasan, mulai pasal 51-56
mengenai otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi tidak memberikan fleksibilitas
penggunaan dana. Pasal 52 ayat 1 hanya membagi otonomi menjadi tiga tingkatan
(otonom, semi otonom dan otonom terbatas) tapi tidak dijelaskan secara khusus
mengenai tingkatan-tingakatan tersebut. Ini cukup menjelaskan bahwa RUU PT
hanya menegaskan tentang kastanisasi di PTN yang terbagi dalam PT BHMN, PT BLU
(Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum), dan PTN Reguler.
*Alumnus
FPBSI IKIP PGRI Semarang dan FH UNNES serta Penggiat Jaringan Diskusi dan
Kajian Ilmiah Pemuda Palangkaraya. (Paper ini disampaikan dalam Forum Diskusi Mahasiswa,
di Universitas Kristen Palangka Raya, 26/11)
Posting Komentar