Transaksi terselubung "Mafia Politik"
Ilustrasi; Jual beli sapi di Sumatera Barat/ist |
Meski
harga daging sapi belakangan ini membumbung tinggi, namun bukan pembahasan itu
yang ingin saya (kata “aku” yang biasa digunakan di blog ini diganti “saya” aja
ya sob) bahas, sama sekali bukan dan sama sekali tidak ada kaitanya. Bahkan juga
sama sekali bukan dunia per-sapi-an yang ingin saya ulas.
Kembali
pada judul diatas, “Politik Dagang Sapi” jika ada pertanyaan kenapa saya
tertarik dengan istilah lama di dunia perpolitikan ini, sepertinya tidaklah
sulit untuk menjawabnya, yakni karena isu terkait sapi masih seksi (baca; Harga
Daging Sapi), dan barang tentu karena pembahasan ini akan memiliki kaitan yang
erat dengan perhelatan demokrasi yang tidak lama lagi akan digelar serentak di
seluruh kabupaten pemekaran di Kalimantan Tengah ini.
Saya
yakin bagi sebagian aktivis, politisi senior sampai kelas nasi pecel dan
sebagian masyarakat kita tidak asing lagi mendengar istilah Politik Dagang
Sapi, tapi barangkali ada diantara kita tidak mengetahui pasti apa sebenarnya
makna yang terkandung pada istilah tersebut? Dan mengapa sampai perdagangan
hewan (Sapi) bisa dikaitkan dengan urusan politik? Kenapa juga tidak ada
istilah politik dagang kucing, atau politik dagang ikan?
Kalau
kita pernah mengamati atau bahkan pernah menjual-belikan sapi khususnya di
daerah Sumatera Barat, tentu kita akan mengetahui bahwa ada hal yang unik pada
saat dua orang bertransaksi dalam memperjual belikan sapi. Kedua orang tersebut
melakukan proses tawar-menawar hanya dengan bersalaman, sambil menutup tangan
mereka dengan menggunakan kain sarung, tanpa berkata-kata. Hanya sesekali
mereka menggelengkan kepala atau mengangguk sebagai sebuah tanda setuju atau
tidak setuju dengan penawaran yang diberikan. Sebenarnya pihak pembeli dan
penjual sapi yang tengah bertransaksi sedang melakukan negosiasi, namun hal ini
mereka lakukan hanya dengan isyarat tangan mereka yang ditutupi oleh kain
sarung tersebut, sehingga tidak ada satu orang pun disekeliling mereka yang tau
apa yang sedang mereka lakukan dalam proses transaksi itu.
Lain
lagi ketika kita melihat proses perdagangan sapi yang dilakukan di sebuah
daerah di Australia, Rockhampton. Di sana ada arena yang dijadikan tempat
lelang untuk penjualan sapi. Uniknya, bahkan sapi yang dilelang tersebut bukan
hanya sapi yang bisa kita lihat wujudnya, melainkan janin sapi yang masih ada
di dalam perut induknya yang tengah hamil pun menjadi hal yang ditawarkan untuk
dilelang. Ini disebabkan karena kondisi induk yang tengah mengandung tersebut
adalah jenis bibit unggul.
Jika
proses perdagangan sapi ini kita kaitkan dengan masalah politik, tentu saja
istilah “Politik Dagang Sapi” ini bisa artikan sebagai menjalin sebuah
kesepakatan antar pelaku politik yang tidak diketahui oleh orang lain di luar
kelompok tersebut. Dan tentunya hal ini sangat bertentangan dengan prinsip
keterbukaan dan transparansi, khususnya dalam kancah politik kenegaraan.
Bayangkan,
bagaimana bisa sebuah kesepakatan yang mungkin dapat mempengaruhi hajat hidup
orang banyak, dilakukan secara diam-diam dan hanya untuk memberikan keuntungan
antar sesama kelompok yang terkait? Padahal kelompok tersebut sangat
bertanggung jawab pada kesejahteraan masyarakat di negri ini.
Kita
semua berharap, politik dagang sapi ini tidak terjadi lagi dalam perundingan
antar kelompok-kelompok partai yang sedang menjalani proses pemilu. Atau bahkan
terjadi dalam tubuh institusi Negara seperti DPR-RI/DPRD yang mestinya terbuka
dalam memperjuangkan kesejahteraan kita sebagai rakyat Indonesia. Bagaimana
dengan Katingan?
Kasongan,
2/12 2012.
Disclaimer;
Tulisan ini dirangkai dari sebuah forum diskusi online, bertujuan semata-mata
untuk pendidikan dan pecerahan. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar