#Nguri uri kawruh jawa (Melestarikan Budaya Jawa)
Huruf/Aksara Jawa |
Hari-hari tanpa
tuntutan dead line akhir-akhir ini, ku gunakan browsing muter-muter cari
refrensi, ditengah perburuan mengumpulkan informasi ada yang menarik perhatian,
Mitologi (Mumetologi) huruf jawa yang lebih dikenal sebagai huruf Hanacaraka.
Ketika bicara tentang
huruf Jawa/Hanacaraka, kita seringkali terpikir tentang legenda Ajisaka. Aku
sudah mencoba muter-muter cari refrensi, namun kisah tentang Ajisaka lebih
banyak aku temukan dalam hal cerita rakyat atau mumetologi saja. Literatur
sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sulit ditemukan.
Padahal bila menilik
awal pemakaian huruf Jawa yang bersamaan dengan berkuasanya Sultan Agung (Baca; Kesultanan Mataram) di
Mataram, catatan tentang itu seharusnya ada. Sebelum Sultan Agung aksara yang
dipakai adalah arab pegon, ketika jaman kerajaan Demak - Pajang. Di jaman Majapahit
yang digunakan adalah aksara pallawa.
Kalau memang Ajisaka
penemu hanacaraka tentunya orang Jawa tidak mengenal aksara pallawa dan
devanagari. Nyatanya semua prasasti ditulis dalam huruf pallawa. Terlebih lagi
tidak ada bentuk kakawin dalam aksara Jawa Kawi yang memuat kisah Hanacaraka. Bila
pada saat itu memang Ajisaka sudah dikenal, paling tidak ada catatan
sejarahnya. Kisah tentang Ajisaka hanya ditemukan dalam bahasa Jawa baru,
artinya kisahnya ditulis pada jaman Kapujanggan (Mataram Kartasuran).
sebenarnya Bangsa
Nusantara ini memiliki tradisi berupa tradisi lisan dan bukan tulisan. Maka
dari itu banyak Candi memiliki relief berupa cerita mirip komik sehingga mudah
dipahami oleh masyarakat. Ketika tingkat intelektualitas kalangan bangsawan dan
cendekia merasa kurang praktis dengan bahasa gambar, mereka meminjam dan
memodifikasi aksara India (pallawa dan devanagari) untuk dijadikan tulisan
nusantara.
Kenapa kisah Ajisaka
lebih aku sebut sebagai mitologi. Ini sesuai dengan budaya lisan bangsa kita
yang lebih suka menyampaikan sesuatu tanpa dokumen tertulis, sehingga kiasan
banyak dipergunakan. Apalagi cerita turun temurun itu kebanyakan bersifat
istana sentris. Sehingga banyak hal yang dibiaskan dari makna sesungguhnya. Tak
heran bila banyak sekali filosofi lama yang ketika dipertanyakan akan cukup
dijawab dengan kata ora ilok atau pamali.
Filosofi yang akan
diajarkan dari kisah ini bisa ditelusur dari penamaan tokoh-tokohnya. Tanah
Jawa diceritakan dikuasai oleh Prabu Dewata Cengkar. Dewata berarti dewa, roh
leluhur yang dianggap menguasai salah satu kodrat”. Cengkar artinya ”tempat
yang luas; tidak subur; banyak batu padasnya. Ajisaka berasal dari dua kata.
Aji berarti kekuatan yang cenderung bersifat spiritual. Saka berarti tiang atau
penyangga. Jadi dari kemenangan Ajisaka atas Dewatacengkar bisa diartikan
sebagai kebaikan yang mengalahkan keburukan. Ajisaka sebagai simbol kebajikan
akhirnya bisa naik tahta menjadi raja Medang Kamulan.
Namun karena Ajisaka
juga manusia, dia bisa khilaf dengan apa yang sudah menjadi ucapannya sendiri.
Ungkapan sabda pandhita ratu yang menjadi panutan bawahannya menuai bencana.
Dikisahkan ketika meninggalkan pulau Majethi di sebelah selatan Nusakambangan,
kerisnya ditinggalkan disana dan abdinya bernama Sembada ditugaskan untuk
menjaganya dengan pesan keris itu tak boleh diserahkan kepada siapaun selain
Ajisaka sendiri yang mengambilnya. Setelah Ajisaka bertahta dia menyuruh
abdinya yang lain bernama Dora untuk mengambil keris itu. Keduanya bersikukuh
dalam pendirian masing-masing. Sembada merasa wajib menjaga keris sampai
Ajisaka mengambilnya sendiri. Dora merasa wajib mengambil keris itu dan
menyerahkannya kepada Ajisaka.
Bila keduanya akhirnya
bertempur sampai mati mempertahankan perintah plinplan itu, siapa yang salah..?
Cuma herannya kenapa abdi itu diberi nama Dora dan Sembada. Dora itu artinya
bohong dan Sembada artinya kuat atau teguh. Apakah Dora berbohong kepada
Sembada dan pura-pura ditugaskan mengambil keris..? Rasanya tak mungkin
pemilihan nama tokoh ini tidak memiliki arti ke filosofi yang akan nasehatkan
leluhur kepada kita. Masa sih itu cuma kebetulan hanya untuk mengejar ending
cerita agar sesuai dengan kaidah amar makruf nahi munkar saja.
Atau itu cuma untuk
mengkiaskan bahwa benar atau salah, orang kecil selalu menjadi korban
kekhilafan penguasa...? Rakyat harus menuruti semua perintah penguasa dan
mempertahankan perintah itu sampai titik darah penghabisan. Sementara penguasa
tetap tak tersentuh dan cukup membuat prasasti peringatan saja. Mbuh lah, belum
nemu literatur lebih lengkap neh...
Memang dari kisah
perang sampyuh itu kemudian diciptakan huruf Jawa ini dengan arti :
Hana caraka : Ada
utusan
Data Sawala : Mereka
bertengkar
Padha Jayanya :
Sama-sama kuat
Maga Bathanga :
Sama-sama mati
Kiasan dari kisah
itupun sampai sekarang pun tetap eksis. Selalu ada 2 kekuatan yang selalu
saling serang. Misalnya antara kelompok religius yang mengandalkan kitab -
kitab suci dan keimanan sebagai dasar. Dan yang kedua adalah kelompok sekuler
yang mengandalkan logika dan akal sebagai dasar. Kedua Kelompok ini selalu
bertikai dan saling membunuh. Bukti nyata ada di Indonesia, bagaimana kelompok
religius memasang bom di sebuah kafe, dan kelompok sekuler balik menghancurkan
ekonomi indonesia sebagai balasan. Keduanya sama-sama remuk sedangkan
konseptornya tetap damai tak tersentuh. Paling banter tepuk tangan membayangkan
keuntungan di depan mata. Ke pihak pertama dia bisa jual senjata dan ke pihak
kedua dia jual jasa.
Bila kita melihat
kebiasaan bangsa kita membuat candra sengkala, susunan hanacaraka pun kayaknya
layak kita baca dengan cara itu. Ada sebuah konsep spiritual yang teramat
tinggi bisa dijabarkan dengan cara baca terbalik.
Maga mbathang
Menempuh jalan kematian
(nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam
hukum biologi. Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa
Kuna yang berarti "musim" atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari
- 11 Februari). Jadi maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani
hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan
"dualitas" dalam persepsi kehidupan ini.
Padha jayanya
Kekuatan luar dan dalam
diri manusia telah menyatu padu. Dalam konsep China biasa disebut, Yin dan Yang
telah menyatu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya.
Dhata sawala
Tiada lagi pertentangan
antara unsur luar dan dalam. Tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Perlu
diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang
maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala"
bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan.
Hana caraka
Munculah caraka atau
lahirlah pesan atau kreasi.
Jadi lahirnya alam
semesta ini karena adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip.
Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini juga karena adanya manusia-manusia yang
menjalani proses Hanacaraka. Selama kita tidak mau menjalankan proses
"mbathang" atau mematikan ego, maka selamanya tak akan ada kreasi.
Mumet yah..?
Sama deh kalo gitu.
Biar lebih ringan, aku
coba buat filosofi sendiri tentang awal mula kehidupan dengan hanacaraka. Tentu
saja keterbatasan otakku yang terlalu sederhana. Kira-kira begini :
Hana caraka : Bapak mendatangi Ibuku
Data sawala : Bapak dan Ibu adu mulut
Pada jayanya : Bapak dan Ibuku sama-sama kuat
Maga bathanga : dan mereka sama-sama terkapar
Ternyata awal mula kehidupan bisa sesederhana itu ya..?
(Filosofi yang ini, tanggung jawab ditanggung penumpang,hehe)
Trus soal Ajisaka
gimana..?
Ya mungkin itu cuma
kiasan dari kekuatan (aji) dari sebuah tiang/tongkat (saka) yang bisa
melahirkan kehidupan baru. Lain-lainnya tolong dibantu cari refrensi deh...
Tamiang Layang, 7/4 2012
Posting Komentar