Mumetologi Huruf Jawa (Hanacaraka)

Sabtu, 07 April 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Nguri uri kawruh jawa (Melestarikan Budaya Jawa)

Huruf/Aksara Jawa
Hari-hari tanpa tuntutan dead line akhir-akhir ini, ku gunakan browsing muter-muter cari refrensi, ditengah perburuan mengumpulkan informasi ada yang menarik perhatian, Mitologi (Mumetologi) huruf jawa yang lebih dikenal sebagai huruf Hanacaraka.

Ketika bicara tentang huruf Jawa/Hanacaraka, kita seringkali terpikir tentang legenda Ajisaka. Aku sudah mencoba muter-muter cari refrensi, namun kisah tentang Ajisaka lebih banyak aku temukan dalam hal cerita rakyat atau mumetologi saja. Literatur sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sulit ditemukan.

Padahal bila menilik awal pemakaian huruf Jawa yang bersamaan dengan berkuasanya Sultan Agung (Baca; Kesultanan Mataram) di Mataram, catatan tentang itu seharusnya ada. Sebelum Sultan Agung aksara yang dipakai adalah arab pegon, ketika jaman kerajaan Demak - Pajang. Di jaman Majapahit yang digunakan adalah aksara pallawa.
Kalau memang Ajisaka penemu hanacaraka tentunya orang Jawa tidak mengenal aksara pallawa dan devanagari. Nyatanya semua prasasti ditulis dalam huruf pallawa. Terlebih lagi tidak ada bentuk kakawin dalam aksara Jawa Kawi yang memuat kisah Hanacaraka. Bila pada saat itu memang Ajisaka sudah dikenal, paling tidak ada catatan sejarahnya. Kisah tentang Ajisaka hanya ditemukan dalam bahasa Jawa baru, artinya kisahnya ditulis pada jaman Kapujanggan (Mataram Kartasuran).

sebenarnya Bangsa Nusantara ini memiliki tradisi berupa tradisi lisan dan bukan tulisan. Maka dari itu banyak Candi memiliki relief berupa cerita mirip komik sehingga mudah dipahami oleh masyarakat. Ketika tingkat intelektualitas kalangan bangsawan dan cendekia merasa kurang praktis dengan bahasa gambar, mereka meminjam dan memodifikasi aksara India (pallawa dan devanagari) untuk dijadikan tulisan nusantara.

Kenapa kisah Ajisaka lebih aku sebut sebagai mitologi. Ini sesuai dengan budaya lisan bangsa kita yang lebih suka menyampaikan sesuatu tanpa dokumen tertulis, sehingga kiasan banyak dipergunakan. Apalagi cerita turun temurun itu kebanyakan bersifat istana sentris. Sehingga banyak hal yang dibiaskan dari makna sesungguhnya. Tak heran bila banyak sekali filosofi lama yang ketika dipertanyakan akan cukup dijawab dengan kata ora ilok atau pamali.

Filosofi yang akan diajarkan dari kisah ini bisa ditelusur dari penamaan tokoh-tokohnya. Tanah Jawa diceritakan dikuasai oleh Prabu Dewata Cengkar. Dewata berarti dewa, roh leluhur yang dianggap menguasai salah satu kodrat”. Cengkar artinya ”tempat yang luas; tidak subur; banyak batu padasnya. Ajisaka berasal dari dua kata. Aji berarti kekuatan yang cenderung bersifat spiritual. Saka berarti tiang atau penyangga. Jadi dari kemenangan Ajisaka atas Dewatacengkar bisa diartikan sebagai kebaikan yang mengalahkan keburukan. Ajisaka sebagai simbol kebajikan akhirnya bisa naik tahta menjadi raja Medang Kamulan.

Namun karena Ajisaka juga manusia, dia bisa khilaf dengan apa yang sudah menjadi ucapannya sendiri. Ungkapan sabda pandhita ratu yang menjadi panutan bawahannya menuai bencana. Dikisahkan ketika meninggalkan pulau Majethi di sebelah selatan Nusakambangan, kerisnya ditinggalkan disana dan abdinya bernama Sembada ditugaskan untuk menjaganya dengan pesan keris itu tak boleh diserahkan kepada siapaun selain Ajisaka sendiri yang mengambilnya. Setelah Ajisaka bertahta dia menyuruh abdinya yang lain bernama Dora untuk mengambil keris itu. Keduanya bersikukuh dalam pendirian masing-masing. Sembada merasa wajib menjaga keris sampai Ajisaka mengambilnya sendiri. Dora merasa wajib mengambil keris itu dan menyerahkannya kepada Ajisaka.

Bila keduanya akhirnya bertempur sampai mati mempertahankan perintah plinplan itu, siapa yang salah..? Cuma herannya kenapa abdi itu diberi nama Dora dan Sembada. Dora itu artinya bohong dan Sembada artinya kuat atau teguh. Apakah Dora berbohong kepada Sembada dan pura-pura ditugaskan mengambil keris..? Rasanya tak mungkin pemilihan nama tokoh ini tidak memiliki arti ke filosofi yang akan nasehatkan leluhur kepada kita. Masa sih itu cuma kebetulan hanya untuk mengejar ending cerita agar sesuai dengan kaidah amar makruf nahi munkar saja.

Atau itu cuma untuk mengkiaskan bahwa benar atau salah, orang kecil selalu menjadi korban kekhilafan penguasa...? Rakyat harus menuruti semua perintah penguasa dan mempertahankan perintah itu sampai titik darah penghabisan. Sementara penguasa tetap tak tersentuh dan cukup membuat prasasti peringatan saja. Mbuh lah, belum nemu literatur lebih lengkap neh...

Memang dari kisah perang sampyuh itu kemudian diciptakan huruf Jawa ini dengan arti :
Hana caraka : Ada utusan
Data Sawala : Mereka bertengkar
Padha Jayanya : Sama-sama kuat
Maga Bathanga : Sama-sama mati

Kiasan dari kisah itupun sampai sekarang pun tetap eksis. Selalu ada 2 kekuatan yang selalu saling serang. Misalnya antara kelompok religius yang mengandalkan kitab - kitab suci dan keimanan sebagai dasar. Dan yang kedua adalah kelompok sekuler yang mengandalkan logika dan akal sebagai dasar. Kedua Kelompok ini selalu bertikai dan saling membunuh. Bukti nyata ada di Indonesia, bagaimana kelompok religius memasang bom di sebuah kafe, dan kelompok sekuler balik menghancurkan ekonomi indonesia sebagai balasan. Keduanya sama-sama remuk sedangkan konseptornya tetap damai tak tersentuh. Paling banter tepuk tangan membayangkan keuntungan di depan mata. Ke pihak pertama dia bisa jual senjata dan ke pihak kedua dia jual jasa.

Bila kita melihat kebiasaan bangsa kita membuat candra sengkala, susunan hanacaraka pun kayaknya layak kita baca dengan cara itu. Ada sebuah konsep spiritual yang teramat tinggi bisa dijabarkan dengan cara baca terbalik.

Maga mbathang
Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi. Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim" atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Jadi maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini.

Padha jayanya
Kekuatan luar dan dalam diri manusia telah menyatu padu. Dalam konsep China biasa disebut, Yin dan Yang telah menyatu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya.

Dhata sawala
Tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam. Tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan.

Hana caraka
Munculah caraka atau lahirlah pesan atau kreasi.
Jadi lahirnya alam semesta ini karena adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip. Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini juga karena adanya manusia-manusia yang menjalani proses Hanacaraka. Selama kita tidak mau menjalankan proses "mbathang" atau mematikan ego, maka selamanya tak akan ada kreasi.

Mumet yah..?
Sama deh kalo gitu.

Biar lebih ringan, aku coba buat filosofi sendiri tentang awal mula kehidupan dengan hanacaraka. Tentu saja keterbatasan otakku yang terlalu sederhana. Kira-kira begini :
Hana caraka : Bapak mendatangi Ibuku
Data sawala : Bapak dan Ibu adu mulut
Pada jayanya : Bapak dan Ibuku sama-sama kuat
Maga bathanga : dan mereka sama-sama terkapar
Ternyata awal mula kehidupan bisa sesederhana itu ya..?
(Filosofi yang ini, tanggung jawab ditanggung penumpang,hehe)

Trus soal Ajisaka gimana..?
Ya mungkin itu cuma kiasan dari kekuatan (aji) dari sebuah tiang/tongkat (saka) yang bisa melahirkan kehidupan baru. Lain-lainnya tolong dibantu cari refrensi deh...

Tamiang Layang, 7/4 2012
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger