Dari Jurnalis
Kampus Menjadi Pimpinan Redaksi
Sururi Alfaruq; Wartawan jangan cengeng//Key notter dalam acara bertajuk, “Antara jurnalisme dan idealisme jurnalis muda Indonesia”
Sururi Alfaruq; Wartawan jangan cengeng//Key notter dalam acara bertajuk, “Antara jurnalisme dan idealisme jurnalis muda Indonesia”
Sururi Alfaruq |
Dalam
sebuah catatan biografi singkatnya, pimpinan redaksi Seputar Indonesia Sururi
Alfaruq menceritakan kisah singkatnya sewaktu masih menjadi wartawan. Mungkin
bagi sebagian orang ini bukanlah sesuatu yang hebat, namun berbeda bagiku, kisah
ini sungguh luar biasa dimataku saat ini.
Ternyata
menjadi seorang wartawan tidaklah semulus yang sebagian orang alami, dalam
perjalannya beragam cacian dan makian selama merasakan kerasnya kehidupan
sebagai wartawan. Bagi pemimpin redaksi muda itu, semuanya adalah bagian dari
penempaan karakter menjadi jurnalis agar tidak cengeng dan memiliki ketahanan
mental.
Kedua
poin itu, bagi Faruq -demikian dia biasa disapa oleh para Blogger Indonesia-
adalah modal utama yang harus dimiliki mereka yang ingin menekuni dunia
jurnalistik. Sementara itu, keterampilan menulis dan pengetahuan
kejurnalistikan, menurutnya, dapat dipelajari seiring waktu. Selain itu,
biasanya perusahaan media pun memberikan pelatihan kepada para calon reporter
mereka.
Kenyataan
yang terungkap, ternyata orang yang piawai merangkai kata demi kata dalam
bahasa jurnalistik apik ini bukanlah lulusan ilmu jurnalistik. Dirinya menempuh
studi di Fakultas Tarbiyah (pendidikan) di Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS), Solo.
Awal
mula keterlibatan Faruq pada dunia jurnalistik adalah ketika dia memutuskan
bergabung dengan majalah kampus di UMS. Begitu lulus, dia kemudian bergabung
menjadi reporter junior di grup Jawa Pos pada 1992. Tiga belas tahun dia
habiskan di salah satu grup media besar di Tanah Air ini hingga menempati
posisi managing editor (redaktur pelaksana) sebagai jabatan terakhir.
Ketika
memutuskan berhenti dari Jawa Pos, Faruq berkeinginan berhenti juga dari dunia
jurnalistik. Sebab baginya, menjadi jurnalis sangatlah melelahkan. Apalagi, dia
mengenang, selama berkarier di Jawa Pos dia bekerja begitu giat hingga tidak
pernah mengambil libur ataupun cuti. Kesempatan berliburnya adalah ketika dia
ditugaskan ke luar kota.
Faruq
ingat, keinginannya menjauh dari dunia jurnalistik tidaklah semulus yang
dibayangkannya. Betapa tidak, lepas dari Jawa Pos, justru banyak tawaran untuk
mengampu media yang datang padanya, baik itu media cetak lagi, televisi, maupun
radio. Semua tawaran tersebut dia tolak. Namun ketika grup Kompas melamarnya,
Faruq gamang. Alasannya, selama ini dia
berkarier di Jawa Pos, sebuah grup media besar. Jika dia ingin terus berkarier
di media massa, maka perusahaan itu setidaknya haruslah sama besar. Dan Kompas
memenuhi kriteria tersebut.
Meski
demikian, Faruq tidak serta merta menerima tawaran Kompas. Pasalnya, waktu itu
Faruq ditawari bergabung dengan TV 7. Tawaran ini ditolak Faruq karena merasa
tidak memiliki latar belakang televisi. Lalu tawaran itu dialihkan untuk
memegang Surya, koran milik Kompas berbasis di Surabaya. Faruq kembali menolak
tawaran ini karena jika memegang Surya, maka dia harus berhadapan dengan Jawa
Pos lagi, yang berarti kompetitor.
Tawaran
Kompas berikutnya adalah memegang Warta Kota yang saat itu kondisinya sangat
buruk. Faruq kemudian meminta waktu dua hari untuk mempelajari Warta Kota.
Tawaran inilah yang diterima Faruq. Melalui tangan dinginnya, Warta Kota
kembali bernafas dan bergeliat di jagat jurnalisme Indonesia.
Selanjutnya, bersama tim Hary
Tanoesoedibjo, Pria kelahiran Demak, 1
November 1965 ini memilih membangun Koran baru Seputar Indonesia. Dari yang ia
share di forum Blogger Indonesia, Faruq mengungkapkan jika Koran milik MNC
group ini dibangunnya dengan sistem kilat, hanya satu bulan. Faruq merinci,
selama dua minggu dia merekrut sendiri semua orang yang dibutuhkan. Satu minggu
berikutnya dihabiskan untuk melatih mereka,
yakni reporter dan redaktur. Dan pada minggu terakhir Faruq melakukan
trial penerbitan. Koran Seputar Indonesia edisi perdana pun terbit pada 30 Juni
2005. (Bersambung, "Terkadang Juga Galau")
Palangkaraya, 10/3 2013.
Posting Komentar