Budi daya ikan keramba sungai Katingan |
Keberadaan Sungai Katingan benar-benar sangat
bermanfaat bagi warga sekitar Kasongan, terkecuali bagi para pemilik keramba
yang membudidayakan jenis ikan di pinggiran Sungai itu. Namun akibat maraknya
aktivitas penambng liar di beberapa desa di Katingan, membuat air Sungai
menjadi tercemar. Akibatnya, selain air tidak layak dikonsumsi, keadaan itu
membuat para pemilik keramba harus merugi akibat banyaknya ikan yang mati. Hal
iu terjadi akibat air sungai yang sudah dicemari zat kimia berbahaya yakni methyl
mercury alias air raksa yang
digunakan untuk mencuci tambang emas oleh para penambang.
Tak
dipungkiri meski sepanjang tahun jumlah penambang illegal melakukan
aktivitasnya secara terang-terangan, aparat setempat seolah-olah tutup mata
untuk menindak tegas para penambang. Pahadal, selain telah merusak lingkungan
dengan tidak terendalinya jumlah penambang emas, populasi jenis ikan yang hidup
di perairan itu bisa saja terancam punah. Para pengusaha pun terlihat berlomba-lomba
untuk menjual perlengkapan tambang (mesin sedot) yang terus bertambah di
Kawasan Desa Kereng Pangi. Hingga masyarakat begitu mudahnya untuk membeli baik
tunai maupun kredit.
Sesuai
data dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Katingan pun jumlah penambang emas
illegat baik yang ada di tepian sungai dan di daratan berkisar ribuan
penambang. Jumlah itu pun dipastikan bakal terus bertambah seiring dengan
manjanya para penambang yang dengan leluasa melancarkan aksinya untuk mengambil
emas murni di dasar sungai dan di dalam perut bumi tanpa adanya aturan yang
mengatur baik dari segi amdal dan dampak negatif lainnya. Dan tidak dipungkiri
pula, mngkin dari beberapa Kabupaten lainnya yang ada di Kalimantan Tengah
(Kalteng) katinganlah terbanyak jumlah
penambang silumannya.
Hasil
uji kalaikkan air pun, BLH mengaskan bahwa pencamaran air Sungai Katingan sudah
diambang batas. Artinya, jangankan untuk mengkonsumsi air itu secara langsung,
mengkonsumsi ikan di air itu pun bisa menibulkan penyakit bagi manusia.
“Dari
hasil pengujian Air sungai Katingan, pencemarannya sudah di ambang batas,”
ungkap kepala BLHD Katingan, Drs Yurbend, pekan lalu.
Menurut
dia, pencemaran akan berdampak buruk pada ekosistem sungai. Ikan-ikan bisa
mengandung logam berat. Bukan hanya itu, pencemaran bisa membahayakan kesehatan
masyarakat yang mengkonsumsi air sungai.
“Jangankan
meminum airnya, memakan ikan dari sungai Katingan saja berbahaya,” cetus
Yurbend.
Jika
hal itu dibiarkan berlanjut, ia memastikan, akan banyak masyarakat yang akan
terkena penyakit. Pasalnya, sungai Katingan itu merupakan tempat bagi warga
Katingan untuk menangkap ikan. Selain itu, Sungai Katingan juga digunakan
sebagai tempat pengembangbiakan keramba untuk ikan patin dan emas, jika sampai
dikonsumsi manusia, jelas akan berpengaruh buruk bagi kesehatan.
Dengan
semakin banyak sedimen dalam air sungai dan keruh, oksigen akan berkurang.
Ditambah lagi dengan terus masuknya logam berat akibat aktivitas penambang.
Jika kondisi pencemaran di aliran sungai Katingan semakin parah, tak tertutup
kemungkinan terjadi seperti Tragedi Minamata di Jepang pada tahun 1950 silam.
Sekitar 3 ribu warga menjadi korban dan mengalami berbagai penyakit aneh yang
kemudian disebut sebagai penyakit Minamata.
Nah,
saat ketika dibincangi sejumlah pemilik keramba mengaku apa yang diutarakan
oleh BLH itu memang benar. Mereka menyatakan sejauh ini sudah banyak benih ikan
yang mati. Jumlah yang mati pun tidak sedikit, yakni hanya 40 persen ikan yang
bisa dipanen selama kurun waktu empat bulan. Artinya, 60 persen ikan tidak
sanggup bertahan akibat zat yang larut dalam kadar air Sungai itu.
Mereka
mengaku, keadaan beberapa tahun ini jelas berbeda dengan lima hingga enam tahun
lalu. Dimana para pemilik keramba benar-benar mendapatkan untung besar akibat
hasil panen yang meilmpah.
Ketika
itu, mereka mengaku sempat membudidaya beberapa jenis ikan seperti ikan patin,
emas dan jenis ikan nila. Keadaan yang dirasakan sekarang jauh berbeda. Dari
tiga jenis ikan itu, hanya jenis patin dan nila yang mampu bertahan hidup.
“Sekarang
ikan emas sudah tidak bisa bertahan mas. Kalau dibudidaya pasti beberapa hari
saja sudah menjadi bangkai. Kami hanya memelihara ikan jenis nila,” terang
Parian.
Pria
pemilik 10 buah keramba ini mengungkapkan, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
ikan bagi warga Katingan. Tiap empat
bulan ia mendatangkan 10 ribu bibit ikan nila untuk dibudidayakan di 10 keramba
yang ia miliki.
“Bibit
nila kami datangkan dari darah Banjarmasin, kalau usianya sudah empat bulan
baru bisa panen,” tuturnya. Namun jika masa panen mulai tiba dirinya menyatakan
sudah memperhitungkan jauh-jauh hari bahwa jumlah ikan yang dipanen pasti jauh
menurun dari jumlah bibit saat ia datangkan.
Ya,
dari 10 ribu bibit yang ia pelihara selama empat bulan lamanya, hanya 3 hingga
4 ribu yang mampu bertahan hidup. Kemanakah 60 ribu ikan itu,,?. Jawabannya
mudah, yakni mati.
Meski
mengaku masih mendapatkan untung. Namun para pemilik keramba jelas lebih untung
lagi jika jumlah ikan yang ada lebih banyak yang mampu bertahan hidup.
Bayangkan, untuk satu keramba saja keuntungan kotor yang diterima Parlan
sebesar Rp. 5 juta. Jika hanya 10 hingga 15 persen jumlah ikan yang mati, jelas
keuntungan yang didapat dua kali lipat dari jumlah itu dan pemilik keramba pun
dipastikan makmur hidupnya.
Dengan
minimnya pasokan ikan di Katingan sangat berpengaruh terhadap harga jual di
Pasar. Sejauh ini, hanya beberapa jenis ikan yang dijual disatu-satunya pasar
di Kasongan. Dan selain daging ayam, jenis nila lah paling banyak dijumpai.
Berkaca
masalah yang ada, mungkin paparan di atas hanya sebagian kecil dari dampak
negatif yang ditimbulkan oleh para penambang illegal itu. Entah sampai kapankah
adanya upaya pemerintah daerah guna mengatasi permasalahan yang sudah tumbuh
subur sepanjang tahun itu. Namun yang jelas, jika memang keberadaan penambang
emas itu bertentangan dengan hukum alias illegal, aparat penegak hukumlah yang
lebih bertanggungjawab atas itu. Selamat berjuang pak Kapolres Katingan,
pemilik keramba menunggu tindakan nyatamu…
Palangkaraya,
10/3 2013
Posting Komentar