-Pers-
Bahasa gagahnya adalah, sebagai salah satu pilar demokrasi, pers dituntut untuk
bisa memberitakan, memberikan dan menyampaikan informasi, dengan tegas, jelas
dan sejujurnya. Di bangku kuliah [khususnya yang mengambil komunikasi], hal itu
menjadi jargon idealis untuk calon wartawan atau yang memutuskan menjadi
wartawan.
Menarik
mencermati perkembangan dunia pers sekarang ini, khususnya wartawan-wartawan
baru atau calon wartawan yang masih belajar bagaimana mengembangkan diri
sebagai seorang jurnalis yang baik dan benar [karena tataran ideal itu
sebenarnya nisbi]. Ada
banyak teori yang dikembangkan dan dipelajari ketika kita kuliah. Tentang
bagaimana seorang jurnalis itu tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang
“istimewa” sebenarnya. Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya, jurnalis
sekarang tak banyak yang mau belajar mengembangkan diri dan melconcat ke depan
dengan tingkat pemahaman yang lebih baik.
Ini
pengalaman dan pengamatan riil di lapangan. Menoleh ke masa ketika saya masih
menjadi calon jurnalis, beberapa tahun silam. Ada pelatihan yang buat saya
ketika itu, seperti -kamp konsentrasi- karena kita tidak boleh keluar, hanya
belajar dan belajar bagaimana menulis, menembus narasumber dan menuangkannya
dalam sebuah laporan yang menarik. Tulisan bolak-balik direvisi adalah hal
biasa, karena memang menyanmpaikan informasi penting tidak boleh gegabah. Cek
dan ricek amatlah penting. Saya “disekap” dalam pelatihan yang benar-benar
membuat saya seperti dicuci otak, bagaimana susah dan bangganya menjadi
jurnalis.
Ketika
ditugaskan di lapangan pun, saya tidak dibekali identitas apapun, tapi diminta
meyakinkan narasumber, bahwa saya –dan
kami ketika itu— adalah benar-benar jurnalis dari media yang kredibel. Bukan bodreks,
atau wartawan “tempo” tempo-tempo terbit, tempo-tempo mati apalagi wartawan CNN
(Cuma Nanya Nanya). Dan itulah kenikmatan melakukan sebuah peliputan. Ketika
saya dinyatakan “lulus” dari pelatihan, hal itu menjadi sangat berguna dan
membantu melihat situasi lapangan. Kita dilatih untuk kritis, tajam, cepat
menganalisa. Saya belajar tentang bagaimana melakukan investigasi.
Ketika
euphoria kebebasan pers mengucur, apa yang saya bayangkan tentang pelatihan itu
berantakan. Bagaimana tidak, semua orang bisa dengan mudahnya menjadi wartawan,
menenteng kartu pers dan kemudian meliput dengan semena-mena. Jangan tanya soal
kredibilitas dan kemampuan jurnalistik yang mumpuni, itu urutan kesekian.
Salah
satu hal “fatal” dan paling menonjol dari wartawan sekarang adalah “ketakutan”
bertanya dan mengkritisi sebuah masalah. Cukup mengandalkan press release sedikit
wawancara dengan narasumber yang kerapkali hanya menyodorkan recorder, biarkan
wartawan lain yang bertanya. Mengutip dari pertanyaan wartawan lain,
dikombinasi dengan cloning informasi dari berbagai sumber. Ada
beberapa hal yang bisa saya tangkap dari model-model wartawan seperti itu. Ini tidak ada di buku, tapi benang merah dari
pengalaman dan obrolan tidak resmi dengan jurnalis muda.
- Tidak Ada Pelatihan Jurnalistik
Sebenarnya
ini tidak mengherankan. Banyak media yang menggenjot berita dengan menampung
banyak wartawan yang mau dibayar murah, tapi bisa “ditindas” untuk mencari
berita. Jangankan bicara soal pelatihan jurnalistik, teknik menulis yang baik
dan benar pun, belum tentu mereka kuasai. Alhasil, kalau kemudian muncul banyak
somasi, complain, atau ralat, menjadi hal yang “diwajarkan”. Masih mending kalau wartawan itu mau belajar
sendiri untuk pengembangan karirnya, kalau tidak, yang terjadi adalah munculnya
“pemburu berita” semata, bukan “pengolah berita” yang merupakan hasil refleksi,
permenungan, dan pengumpulan data primer di lapangan.
- Tidak Menguasai Materi, Tapi Tak Mau Belajar
Banyak
wartawan yang bukan belajar secara khusus tentang jurnalistik. Di media-media
terkemuka, banyak jurnalis yang secara jurusan sebenarnya “agak menyimpang”
dari pakem. Bayangkan, latar belakang nuklir, tapi menulis ekonomi. Latar
belakang kimia, tapi menulis budaya. Latar belakang kehutanan, tapi menulis hiburan.
Bagus kalau mereka mau belajar dan mengenal dunia baru yang mereka masuki,
kalau tidak, jadilah -kambing conngek- yang toleh kanan kiri, bengong nggak ngerti apa-apa.
- Takut Dibilang Sok Tahu, Cari Muka, Cari Perhatian, Sok Kritis
Wartawan
memang harus kritis. Wartawan memang harus sok tahu, tapi didukung dengan
argumen kuat dan data akurat. Tidak asal njeplak. Seolah kritis, tapi kosong juga banyak.
Bertanya tapi sebenarnya tidak tahu materi yag ditanyakannya, juga tidak
sedikit. Ketika datang ke sebuah acara, seharusnya kita sudah tahu apa yang
akan dibahas. Kemudian kita bisa mencari informasi apapun tentang bahasan itu
dengan mengolah dari berbagai sumber. Jadi, ketika kita mengritisi, bertanya
dengan tajam, kemudian mencari informasi sedetil mungkin, ada banyak hal yag
bisa kita gali. Abaikan tudingan mencari muka, cari perhatian atau sok kritis.
- Harusnya Mau Terus Belajar
Belajar
itu bisa formal dan non formal. Sekarang, secara akademis wartawan adalah
sarjana. Kalau sudah sarjana tapi puas dengan kesarjanaannya saja, dia akan
berhenti, tidak ada pengembangan diri sama sekali. Belajar itu bisa darimana
saja. Belajar dari buku, lingkungan, pelatihan, kursus atau workshop. Keinginan
itu harus tumbuh dan membesar. Karena ‘orang besar itu diciptakan oleh dirinya
sendiri’ bukan oleh orang lain. Artinya, niat dan kemauan memegang peranan
besar.
- Berani Bertanya
Bertanya
itu belajar! Pameo itu harus ditanamkan matang-matang dalam otak. Jangan pernah
takut bertanya, karena ketika bertanya, kamu sedang belajar banyak hal. Belajar punya keberanian menyampaikan opini
atau data atau fakta. Belajar untuk mempelajari materi dengan cepat. Belajar
menguasai hal-hal yang sebelumnya kita tidak tahu. Pepatah yang mengatakan,
‘malu bertanya sesat di jalan’ itu benar. Kalau kalian malu bertanya, tidak
hanya sesat, mungkin juga terperosok.
---Disclaimer---
Bukan
berarti semua wartawan harus demikian. Tapi kalau semua wartawan bisa seperti
itu, pasti banyak informasi hebat yang bisa kita sampaikan kepada masyarakat.
Sebagai profesi paling “kaya”, wartawan harus rela dan mau berbagi “kekayaan”
itu dengan masyarakat. Kalau wartawan hanya untuk dirinya sendiri, mendingan
jadi pertapa saja di gua.
“Wartawan luar biasa, menulis berita biasa
menjadi berita luar biasa”
Posting Komentar