#Perjalanan Gendeng, Bag. II
Di atas jembatan Sai Murui, Kabupaten Kapuas. Nampak aktivitas memindahkan Bahan Bakar Minyak untuk didistribusikan ke Industri. |
Setelah beberapa hari terakhir berjibaku
dengan kesibukan mengurus administrasi bermigrasi ke media baru, akhirnya
jurnal perjalanan bisa ku lanjutkan (Bag. I). Terakhir kami sampai ke jembatan “Sai
Murui” jembatan yang berada di kabupaten kapuas ini melintasi Daerah Aliran
Sungai (DAS) Sungai Murui yang cukup cantik dengan pasir yang mirip dengan
pantai di pulau lombok sana, didukung dengan perahu klotok yang bisa di sewa untuk
menyusuri sungai serta warung-warung makan dengan berbagai macam jajanan
kuliner.
Mengenai aktivitas pekerja yang memindahkan
Bahan Bakar Minyak (BBM) dari atas truck ke perahu-perahu yang ada di bawah
jembatan tersebut ternyata bukanlah aksi pelangsiran seperti yang ku dugakan
sebelumnya, BBM tersebut bukanlah BBM yang bersubsidi melainkan BBM industri
untuk suplai perusahaan-perusahaan yang di angkut menggunakan perahu-perahu kecil
karena tidak memungkinkan untuk diangkut melalui perjalanan darat. Hal ini
disampaikan oleh salah satu pekerja sekaligus menandaskan praduga ku tentang
aktivitas yang awalnya ku kira ilegal tersebut.
Ternyata dari sekian drum yang bertuliskan
“Pertamina” tidak semuanya berisi BBM, ada juga yang dikirim dalam kondisi
kosong yang nantinya akan difungsikan sebagai pelampung. Karena tak bisa
berlama-lama disini, kamipun tancap gas menuju ibukota Kalimantan Tengah
(Palangka Raya). Sejam kemudian kami terpaksa menepi karena waktu Sholat
Maghrib tiba, bukan untuk melakukan Sholat memang, tapi kata orang tua dulu ojo lelungan surup-surup, ora ilok (Bahasa
Jawa; Jangan melakukan perjalanan menjelang waktu Maghrib, pamali). Nurut
dengan saran orang tua, sekaligus menenggak segelas kopi apa salahnya, hehe.
Perasaan ngga
enak mulai berkecamuk, pertama karena jalanan gelap, kedua lampu motor yang
remang-remang selanjutnya lobang siap menanti. Kira-kira sejam perjalanan kami
berkendara, apa yang ku takutkan terjadi. Bruaaakkk…besssss,…
jalur yang kami lalui salah, sehingga lobang jalan yang dari awal memang tak
terlihat kami tabrak, angin yang selama perjalanan mengisi ban kamipun terbang
bebas mengudara. Namun untungnya aku yang waktu itu menjadi drivernya masih
mampu mengendalikan kuda besi yang tiba-tiba liar.
Apes tak bisa dihindari, untung tak bisa
diraih. Petaka makin lengkap ketika kami tersadar jika saat itu kami sedang
berada di tengah hutan, sejauh mata memandang tak ada satupun terlihat terang
lampu yang menandakan adanya kehidupan. Mau tidak mau kami mendorong sang kuda
besi secara bergantian, setelah kira-kira 1,5 KM semangat kami mulai tumbuh
kembali, terlihat beberapa buah lampu kecil yang berasal dari salah satu rumah
warga. Melihat pemandangan tersebut aku berujar pada si Logman, “Kalaupun di
depan itu bukan bengkel atau tambalan ban, aku mau kita nginap dulu semalam dan
kita lanjutkan perjalanan esoknya,” ujarku. “Kalau ngga gitu mau gimana lagi,” jawab si Logman.
Tiba dirumah tak bertetangga tersebut semangat
kami makin meninggi karena dimuka rumah terpasang ban bekas bertuliskan “Tambal
ban”. Tanpa komando akupun menanyakan si empunya rumah, “pak, bisa nambal ban
kah?” tanyaku, “bisa dek” jawabnya. Sembari menambal kaki si kuda besi kami,
pak tua yang ku ketahui hanya tinggal bersama istri tercintanya tersebut
bercerita, ditempat tersebut sering terjadi kecelakaan, katanya, bahkan tidak
sedikit memakan jiwa korbannya. Dari cerita pak tua tersebut kami baru sadar
jika kami sudah berada di Kabupaten Pulang Pisau, kabupaten pemekaran dari
kabupaten Kapuas sepeluh tahun silam.
Seusai menambal ban kamipun melanjutkan
perjalanan, dalam perjalanan aku selalu merisaukan kondisi kaki si kuda besi,
mungkin ini efek trauma karena kejadian yang baru saja kami alami. Setelah
kira-kira dua jam perjalanan terlihat beberapa kendaraan berhenti, pertama ku
kira tengah terjadi kecelakaan namun di luar dugaanku, jalur yang akan kami
lalui tergenang air setinggi betis orang dewasa. Karena kami tak mau bermalam
ditengah hutan, kamipun menerjang genangan air tersebut, lagi-lagi kesialan
menghampiri, diluar dugaanku, tiba-tiba si kuda besi yang kami kendarai klagepan dan mati. Sekali lagi kami
harus mendorongnya di tempat yang tak tergenang luapan air dari hutan rawa
tersebut.
Setelah utak atik bak montir profesional aku
starter kembali si kuda besi, cukup lama memang tapi akhirnya nyala juga.
Ternyata kesialan masih saja menyengsarakan kami, belum 200 M perjalanan hal
serupa menanti kami, teringat tehnik yang pernah diajarkan sewaktu jadi anak
klub dulu, dimana saat menerjang banjir gas harus tetap besar, kaki tetap menginjak
rem belakang untuk mengendalikan laju kuda besi dan ternyata tehnik ini
berhasil. Namun kendala lain masih saja urung usai karena tiba-tiba si Logman
memintaku untuk berhenti memeriksa si kuda besi, karena dirinya mendengar bunyi
aneh berasal dari bawah jok si kuda besi. Diluar dugaanku ternyata aki si kuda
besi lepas dan selip ke ban.
Untuk kesekian kalinya si montir amatir
kembali utak atik si kuda besi, karena mentok tak menemukan solusi akhirnya
kami letakkan saja aki tersebut di atas foot step (Pijakan Kaki) belakang, dan
saat jalan ku minta si Logman menginjaknya supaya tak jatuh, awalnya si Logman
masih ragu-ragu dengan alasan takut kena setrum aki, tapi setelah ku jelaskan
dan ku contohkan triknya ia pun nurut saja dengan ide konyol tersebut.
Perjalanan selanjutnya cukup lancar tanpa menemukan kendala berarti, kami tiba
di Ibukota (Palangkaraya) kira-kira pukul 23.00 waktu setempat. (Bersambung)
Posting Komentar