Kuda Besi Ngadat

Jumat, 06 April 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

#Perjalanan Gendeng, Bag. II

Di atas jembatan Sai Murui, Kabupaten Kapuas.
Nampak aktivitas memindahkan Bahan Bakar Minyak
untuk didistribusikan ke Industri.
Setelah beberapa hari terakhir berjibaku dengan kesibukan mengurus administrasi bermigrasi ke media baru, akhirnya jurnal perjalanan bisa ku lanjutkan (Bag. I). Terakhir kami sampai ke jembatan “Sai Murui” jembatan yang berada di kabupaten kapuas ini melintasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Murui yang cukup cantik dengan pasir yang mirip dengan pantai di pulau lombok sana, didukung dengan perahu klotok yang bisa di sewa untuk menyusuri sungai serta warung-warung makan dengan berbagai macam jajanan kuliner.

Mengenai aktivitas pekerja yang memindahkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari atas truck ke perahu-perahu yang ada di bawah jembatan tersebut ternyata bukanlah aksi pelangsiran seperti yang ku dugakan sebelumnya, BBM tersebut bukanlah BBM yang bersubsidi melainkan BBM industri untuk suplai perusahaan-perusahaan yang di angkut menggunakan perahu-perahu kecil karena tidak memungkinkan untuk diangkut melalui perjalanan darat. Hal ini disampaikan oleh salah satu pekerja sekaligus menandaskan praduga ku tentang aktivitas yang awalnya ku kira ilegal tersebut.

Ternyata dari sekian drum yang bertuliskan “Pertamina” tidak semuanya berisi BBM, ada juga yang dikirim dalam kondisi kosong yang nantinya akan difungsikan sebagai pelampung. Karena tak bisa berlama-lama disini, kamipun tancap gas menuju ibukota Kalimantan Tengah (Palangka Raya). Sejam kemudian kami terpaksa menepi karena waktu Sholat Maghrib tiba, bukan untuk melakukan Sholat memang, tapi kata orang tua dulu ojo lelungan surup-surup, ora ilok (Bahasa Jawa; Jangan melakukan perjalanan menjelang waktu Maghrib, pamali). Nurut dengan saran orang tua, sekaligus menenggak segelas kopi apa salahnya, hehe.

Perasaan ngga enak mulai berkecamuk, pertama karena jalanan gelap, kedua lampu motor yang remang-remang selanjutnya lobang siap menanti. Kira-kira sejam perjalanan kami berkendara, apa yang ku takutkan terjadi. Bruaaakkk…besssss,… jalur yang kami lalui salah, sehingga lobang jalan yang dari awal memang tak terlihat kami tabrak, angin yang selama perjalanan mengisi ban kamipun terbang bebas mengudara. Namun untungnya aku yang waktu itu menjadi drivernya masih mampu mengendalikan kuda besi yang tiba-tiba liar.

Apes tak bisa dihindari, untung tak bisa diraih. Petaka makin lengkap ketika kami tersadar jika saat itu kami sedang berada di tengah hutan, sejauh mata memandang tak ada satupun terlihat terang lampu yang menandakan adanya kehidupan. Mau tidak mau kami mendorong sang kuda besi secara bergantian, setelah kira-kira 1,5 KM semangat kami mulai tumbuh kembali, terlihat beberapa buah lampu kecil yang berasal dari salah satu rumah warga. Melihat pemandangan tersebut aku berujar pada si Logman, “Kalaupun di depan itu bukan bengkel atau tambalan ban, aku mau kita nginap dulu semalam dan kita lanjutkan perjalanan esoknya,” ujarku. “Kalau ngga gitu mau gimana lagi,” jawab si Logman.

Tiba dirumah tak bertetangga tersebut semangat kami makin meninggi karena dimuka rumah terpasang ban bekas bertuliskan “Tambal ban”. Tanpa komando akupun menanyakan si empunya rumah, “pak, bisa nambal ban kah?” tanyaku, “bisa dek” jawabnya. Sembari menambal kaki si kuda besi kami, pak tua yang ku ketahui hanya tinggal bersama istri tercintanya tersebut bercerita, ditempat tersebut sering terjadi kecelakaan, katanya, bahkan tidak sedikit memakan jiwa korbannya. Dari cerita pak tua tersebut kami baru sadar jika kami sudah berada di Kabupaten Pulang Pisau, kabupaten pemekaran dari kabupaten Kapuas sepeluh tahun silam.

Seusai menambal ban kamipun melanjutkan perjalanan, dalam perjalanan aku selalu merisaukan kondisi kaki si kuda besi, mungkin ini efek trauma karena kejadian yang baru saja kami alami. Setelah kira-kira dua jam perjalanan terlihat beberapa kendaraan berhenti, pertama ku kira tengah terjadi kecelakaan namun di luar dugaanku, jalur yang akan kami lalui tergenang air setinggi betis orang dewasa. Karena kami tak mau bermalam ditengah hutan, kamipun menerjang genangan air tersebut, lagi-lagi kesialan menghampiri, diluar dugaanku, tiba-tiba si kuda besi yang kami kendarai klagepan dan mati. Sekali lagi kami harus mendorongnya di tempat yang tak tergenang luapan air dari hutan rawa tersebut.

Setelah utak atik bak montir profesional aku starter kembali si kuda besi, cukup lama memang tapi akhirnya nyala juga. Ternyata kesialan masih saja menyengsarakan kami, belum 200 M perjalanan hal serupa menanti kami, teringat tehnik yang pernah diajarkan sewaktu jadi anak klub dulu, dimana saat menerjang banjir gas harus tetap besar, kaki tetap menginjak rem belakang untuk mengendalikan laju kuda besi dan ternyata tehnik ini berhasil. Namun kendala lain masih saja urung usai karena tiba-tiba si Logman memintaku untuk berhenti memeriksa si kuda besi, karena dirinya mendengar bunyi aneh berasal dari bawah jok si kuda besi. Diluar dugaanku ternyata aki si kuda besi lepas dan selip ke ban.

Untuk kesekian kalinya si montir amatir kembali utak atik si kuda besi, karena mentok tak menemukan solusi akhirnya kami letakkan saja aki tersebut di atas foot step (Pijakan Kaki) belakang, dan saat jalan ku minta si Logman menginjaknya supaya tak jatuh, awalnya si Logman masih ragu-ragu dengan alasan takut kena setrum aki, tapi setelah ku jelaskan dan ku contohkan triknya ia pun nurut saja dengan ide konyol tersebut. Perjalanan selanjutnya cukup lancar tanpa menemukan kendala berarti, kami tiba di Ibukota (Palangkaraya) kira-kira pukul 23.00 waktu setempat. (Bersambung)

Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger