Masih Bangga Meminta-Minta

Senin, 19 November 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

#Budaya Kita

Pengemis jalanan
Lama meninggalkan kampung halaman, banyak hal yang aku rindukan saat ini, selain keluarga dan sahabat tentunya juga hobi yang kini tak mungkin bisa ku realisasikan disini. Selain sarana juga infrastruktur yang kurang memadahi, apalagi fasilitas, sepertinya ngga aja deh.

Terbiasa menjadi seniman aspal (touring) tentunya banyak hal yang bisa ku share di blog tercintaku ini, salah satunya kenangan Jogja-Purwokerto atau sebaliknya. Beberapa belas tahun yang lalu, jika kita melintasi jalan ini (perkebunan karet Karumput-Banyumas) kita akan disuguhkan hutan sepi dan cenderung angker. 

Namun, ternyata kondisi ini jauh berbeda dengan yang ku jumpai beberapa waktu lalu. Belakangan, banyak orang yang duduk-duduk di tepi jalan. Awalnya aku kurang tahu mereka lagi apa. Baru-baru ini saja aku mulai ngeh kalau mereka ternyata meminta-minta ke orang yang melintas di jalan tersebut.

Aku jadi ingat perilaku sopir bila melewati daerah yang katanya wingit (angker). Ada yang cukup kasih klakson, ada pula yang suka melemparkan uang recehan agar perjalanan mereka tidak diganggu makhluk halus. Mungkin karena banyak recehan bertebaran di tepi hutan, lama-lama ada yang sengaja datang untuk memunguti.

Payahnya, itu jadi kebiasaan akut dan mereka tidak lagi sekedar memungut. Melainkan sengaja stand by dan mengacungkan tangan meminta belas kasihan orang lewat. Benar-benar sebuah kekeliruan kultural yang tidak mendidik masyarakat untuk belajar produktif.

Masih mending kalau orang tua yang mungkin sudah tak mampu kerja berat lagi. Anak-anak muda yang sebenarnya masuk golongan produktif juga tega melepas kemaluan untuk jadi pengemis dengan berbagai kedok misalnya ngamen. Cuma genjrang-genjreng tak jelas atau modal icik-icik lalu nyadong (Jawa; menadahkan tangan). Sambil mabok lagi...

Kalau pengamen yang beneran jual suara sih ngga masalah. Saat nongkrong di alun-alun bersama keluarga, aku malah suka nanggap mereka kasih 10 ribu borongan beberapa lagu. Beneran menghibur suasana plus all in one murah meriah. Paling suka sama yang menguasai banyak lagu, sehingga setiap orang bisa request sesuai selera.

Efek negatif dari budaya semacam ini sudah merembet kemana-mana. Lihat saja kalau ada jalan longsor atau lagi perbaikan. Para pekerja proyeknya tak jarang ikut-ikutan memungut retribusi ilegal dari pengguna jalan. Sampe-sampe yang kerja hanya dua tiga orang, yang minta duit bisa sampai lima atau enam orang.

Jujur saja untuk ini aku juga malas ngasih. Bukan soal pelit dengan recehan. Aku cuma tak setuju bila budaya meminta itu makin berkembang pesat, bila semua orang hanya mikir belas kasihan tanpa mikir pendidikan moralnya.

Apalagi yang membawa-bawa anak-anak atau balita ke jalanan. Aku lebih tidak suka lagi. Buatku, jalanan bukan tempat untuk anak-anak walau ekonomi yang jadi alasan. Bagaimanapun juga aku pernah jadi gelandangan di emperan Stasiun Tawang dan hidup bersama mereka. Aku bisa tahu bahwa mereka hanya dijadikan korban pelengkap penderita sementara yang mengambil hasil terbesarnya justru orang tua atau preman terorganisasi.

Bukan aku tak mau tahu dengan mereka yang kebetulan kesulitan rejeki. Tapi aku lebih suka membantu orang miskin yang tak mau meminta-minta. Misalnya beli koran di jalan tanpa meminta kembalian.
Selalu aku katakan tidak untuk peminta-minta, kecuali sama banci.
Suer ini bukan diskriminasi sosial atau genderisasi
Tapi aku ngeri dan trauma berat dengan mereka
Gara-gara ada yang ngamen nyanyinya gini
"Kalo gak ngasih, ane sentil biji agan... huwooo.. huwooo.."

Amit-amit dah...
Udah ya gitu aja, selanjutnya terserah anda,...
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger