Beberapa waktu lalu saat selesai
liputan ke daerah saya menyempatkan diri mampir ke warung setempat untuk
sekedar melepas dahaga dalam waktu bersamaan masuk juga seorang bocah kira-kira
umur 9-an tahun selain jajan dia juga berdendang ria, “no gadis no gadis bos
yuk…”
Entah kenapa dari penggalan lirik
tersebut memaksaku untuk cari tahu apa yang bocah ini maksud, lalu saya tanya
aja sama tuh bocah, “Apaan no gadis..?” bukannya jawab baik-baik tuh anak malah
nyolot pake aksen Dayak Maanyan, “hahahaha rapuiii… gaul dong om…” lalu dia
sambung lagi, “Nobody tau… Bukan no gadis…” Lalu saya tanya aja lagi sama tuh
bocah, “Hepi amat, lu..? abis ketiban duren
ya..?” lalu ia jawab “Ya seneng lah, aku baru jadian om,” lalu ku potong,
“Hah..? Tuyul jadi-jadian maksud lu…?” lalu dia jelaskan, “Yaelah, jadian sama
cewek kelas 3 om…”
Dari sinilah saya mulai berfikir,
anak yang baru duduk di kelas 4 SD saja sudah mulai tahu kata “hamen hanyu” dan
berdendang lagu-lagu yang membuat orang lain bingung yang dia sendiri juga
tidak paham apa yang didendangkannya, ketika saya tanyaiin lagu anak-anak malah
diketawain, dikatakan “ngga gaul”.
Tetapi terlepas dari itu semua,
kesalahan persepsi yang selama ini medera dalam otak saya sedikit demi sedikit
terkikis, dulu pernah berfikir jika warga dengan akses keluar yang sulit serta
daerah-daerah yang kesannya terisolir karena pengelolaan negara yang memang
tidak adil sehingga membuat mereka terasing dari dunia luar malah membuat
mereka menjadi punya nilai lebih dibandingkan warga pulau jawa yang segalanya
tersedia.
Saya yang lama hidup di jawa saja
mana pernah nonton siaran televisi macam HBO, CNN atau MTV kecuali ketika ada
teman ngajak kongkow di Corner Indomaret (Salah satu swalayan waralaba di jawa.
Red) karena dirumah cukup pakai antena Ultra High Frequency (UHF), ditengah
hutan kalimantan tepatnya di wilayah Kabupaten Barito Timur (Bartim) yang
namanya televisi satelit sudah jadi barang umum, tidak perlu heran jika ada
rumah kategori sangat sederhana sudah terpasang parabola berbayar dan genset,
dimana hal ini masih dianggap barang mewah oleh sebagian besar penduduk Jawa.
Kalau di Jawa, Ibu-Ibu ngumpul
paling banter ngobrolin sinetron, disini sudah menjadi hal umum anak SD cerita
tentang film asing yang masih newrilis (Baru. Red) dan belum pernah di putar di
televisi lokal, selain tiu pergaulan abege sudah tidak kalah dengan mereka yang
ada di kota ,
bedanya disini masih banyak norma-norma yang berlaku sehingga tidak terlalu
terbuka dipamerkan didepan umum.
Beberapa kasus kesalahan persepsi
ini juga sering terjadi dengan sebagian orang luar Kalimantan yang sering
mengganggap orang Dayak sebagai sosok yang menyeramkan, kejam dan sadis walau
gadisnya cantik-cantik, padahal kenyataannya jauh berbeda, orang Dayak sama
saja dengan orang dari suku-suku lainnya dimana selalu ada orang baik dan ada
juga yang jahat, soal mereka kelihatan dominan, itu bukan masalah kesukuan atau
pribadinya semata, melainkan karena budaya yang punya kawasan, merasa yang
punya wilayah, wajar kalo kadang ada yang sedikit arogan terhadap pendatang,
hal semacam ini juga berlaku di seluruh penjuru dunia, jangankan berbeda etnis,
masih satu suku saja, kalau misalkan ada cowok yang ngapelin cewek ke kompleks
lain, cowok-cowok setempat suka malakin yang ngapel,
Terlepas orang Dayak suka
dianggap kasar, saya pikir hanya karena masalah kebiasaan bicara saja, namanya
di hutan mana bisa bicara sambil bisik-bisik seperti priyayi kraton Solo, jadi
intinya kita tidak bisa mengatakan seseorang menakutkan hanya karena gaya
bicara tanpa melihat isi hatinya, “Do not judge a book by the cover, artinya;
buku jangan dimasukin koper, dibaca dong...”
Posting Komentar