Aku Rindu Pagiku Yang Itu

Sabtu, 09 Juni 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Aku, Kandang, Sigaret, dan Kenanganku
Bangun pagi kembali teringkari, karena tiba tiba saja pagi berubah merah dan marah. Sejak kali pertama ku injakkan kaki ke tanah ini, aku mulai membangun pagi baru penuh imaji. Membangun pagi yang menyerupai kandang, kandang yang dinyamankan. Siapa pula yang menyebut kandang namaya?

Kebanyakan orang mungkin beranggapan kendang indentik dengan binatang, namun akan ku patahkan keidentikkan itu. Kandangku bukan untuk binatang saja, kandangku juga untuk siapa dan apa saja. Baik manusia seutuhnya, separuhnya, apalagi seperempatnya manusia. Bisa benda nyata, maya, menjelang maya ataupun menjelang nyata.

Bangun pagi kembali teringkari, kerena tiba tiba saja pagi berubah dingin tak seperti biasa. sepertinya pagi ini makin bersahabat dengan kipas yang menua namun tetap konstan berusaha berputar menambah dingin ruangan. Pagi ini aku kembali berusaha membuka lembaran biru, lembaran baru berwarna biru, biru memar tertampar oleh waktu yang kian lama berpadu dengan hati yang tetap ungu.

Dua warna yang tak pernah padu ku aduk ke dalam segelas kopi. Kopi itu yang menyelimuti pagiku. Kopi yang semakin gelap berusaha membangunkan orang yang bangun. Kopi ku selalu membuat pagi mereka menjadi biru, biru memar. Memar sekali, namun pagiku tetap hitam lalu berubah menjadi putih. Benar saja, karena aku selalu ingin menjadikan pagiku hitam putih.

Aku bangun? Lalu terbangun, aku bangun lalu membangun, dengan catatan-catatan kecil yang menyerupai asap sigaret yang dibakar. Ia perlahan bergabung dan menghilang. Pergi kemana? Entah biarlah dimana? Catatan itu kembali menyamar dengan sebatang lebih sebatang, aku lagi kamu. Catatan yang membangunkanku, membangunkannya. Dari bangunnya.

Benar saja, pagi ini pagi yang biasa, dengan kebiasaan yang tidak biasa. Aku melangkah dengan catatan yang tersisa, dengan segelas kopi berikutnya dan berbatang batang sigaret selajutnya. Siapa kira, pula siapa duga, aku melangkah dan berlari sana sini. Mereka tertawa. Langkahku tertawa. Langkahku menertawakanku. Aku pun tertawa. Menertawakan langkahku. Namun mereka memilih diam. Mereka menghujam pagiku, dengan sosok yang lembut, mereka perlahan mengeluarkan bisikan yang keras, sosok lembut itu berbisik berisik.

Dengan catatan dan air yang mengalir tertib. Aku kembali merindukan pagi itu. Di kandang yang itu juga, dengan langkah yang itu pula. Serta Langit Yang Akbar.

Mengenang pagi dan luka, Kasongan 9/6, 2012.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger