Mitta & Fitriya |
Lanjutan jurnal sebelumnya,... Meskipun aku belum pernah menjalani bahtera rumah tangga dan lika liku kehidupan rumah tangga, namun aku adalah salah satu personal yang tak pernah mau mentolerir sebuah penghianatan/perselingkuhan. Saat pacaran dulu (Sepertinya dulu banget, hehe), aku dan pacarku punya trik untuk meminimalisir perbuatan menyimpang tersebut. Misalnya soal kebebasan; karena aku tak bisa hidup dalam kekangan. Makanya kita membuat komitmen sejak awal merajut jalinan kasih. Ada dua kepentingan disitu. Kepentinganku, dan pacarku tentunya. Kepentingan dan privasi pacarku aku tak mau tahu, sejauh tidak mengganggu kepentinganku dan kepentingan bersama. Begitu juga sebaliknya. Kepentingan bersama tetap menjadi prioritas nomor satu ketika ada gesekan.
Contoh sepelenya adalah soal ngenet dan ngegame. Sampai saat ini aku masih keranjingan dengan game online maupun offline, apalagi kalau lagi ngeblog aku sering lupa waktu. Agar dia tidak hanya menjadi kambing congek, aku tidak pernah bawa laptop apalagi dekstop saat ngapel atau jalan bareng. Makanya jika tiba-tiba ada inspirasi aku buru-buru ke wc untuk membuat note di komunikatorku, sampai-sampai diteriakin sama temen kostnya, "woi, lu buang aer apa molor di wc?"
Aku juga tak pernah mau buka-buka hape pacarku untuk sekedar melihat log telepon atau sms-smsnya. Paling-paling cuma ngecek pulsanya masih ada apa engga. Begitu sebaliknya, ia tak pernah mau membuka atau mengangkat telepon di hapeku walau berbunyi terus menerus. Kecuali aku sudah bilang tolong diangkatin, baru dia mau.
Ketika aku berada di base camp, atau kongkow dengan kawan-kawan seperjuangan (komunitas sarjana pura-pura masih mahasiswa) pacarku tak pernah mau mengganggu selama tidak ada urusan yang teramat penting. Aku baru menjadi miliknya seutuhnya setelah berada disampingnya. Akupun sama, pacarku pergi kemana, jalan dengan siapa aku tak pernah bertanya-tanya apalagi sampai sewa mata-mata.
Apakah dengan kebebasan seperti itu, peluang selingkuh jadi terbuka lebar..? Nyatanya tidak. Karena aku tahu pacarku percaya kepadaku, aku jadi begitu ingin terus menjaga kepercayaannya. Aku tak pernah menghapus sms di hape, bukan karena aku yakin pacarku tak akan buka. Melainkan karena aku selalu ingin menunjukan ke dia bila ada sms yang aneh-aneh. Aku pun selalu saling bercerita tentang apa yang ditemukan sepanjang hari, termasuk yang paling tidak enak sekalipun. Walau jujur itu kadang menyakitkan, tapi niatku bukan untuk menyakitinya. Melainkan aku ingin dia tahu cerita yang tidak enak dari mulutku sendiri dan bukan gosip orang lain. Jangankan cuman makan dengan model-model lain yang seksi, saat ada model ngajak hang out ke Bandunganpun aku cerita ke pacarku.
Aku sangat bangga dengan pacarku. Dia pernah bilang tentang pekerjaanku yang di kelilingi mahluk-mahluk indah. Tentang teman-teman mayaku yang begitu banyak. Menurutnya, tak mungkin dia bisa memaksa begitu banyak orang untuk tidak berbuat aneh-aneh. Jadi cukup aku saja yang dijaga hatinya agar tak berpaling. Dan menjagaku katanya tak begitu sulit. Cukup diberi kebebasan dan tak perlu diawasi setiap waktu. Oleh karena itu, setiap waktu aku bisa berbuat apa saja sesuai keinginanku. Sepanjang tidak merampas apa yang menjadi haknya sebagai pacarku. Jadi bukan berarti aku bisa seperti salah seorang kawan sekampusku dulu. Yang mengartikan kebebasan sebagai hak untuk berbuat apa saja, asalkan setelah itu kembali ke pangkuan sang pacar. Atau menurut peribahasanya, "biarlah isinya berceceran, asal botolnya kembali utuh..."
Begitulah secuil ceritaku dengan pacarku yang saat ini tak lagi bersetatus sebagai kekasihku. Karena alasan yang belum siap aku share dimari dia terpaksa minta breake, yang jelas bukan karena penghianatan dan perselingkuhan. Tapi putusnya jalinan kasih kami membuatku harus terdampar di wilayah yang sama sekali belum aku kenal, dengan pekerjaan baru yang sudah lama aku geluti semasa kuliah dulu. Dia begitu luar biasa, dan dialah perempuan kedua setelah Ibuku yang selalu membuatku rindu.
Aku sepakat dengan tulisan salah satu kawan di jurnalnya;
"Aku bukannya tidak tahu bahwa kalau kita terlalu mengekang orang yang kita sayang dan cintai, dia justru akan merasa risih, jengah, dan tertekan, lalu akhirnya perasaan cintanya kepada kita akan memudar. Aku sangat tahu itu. Aku bahkan tahu perumpamaan seperti itu diibaratkan "pasir dalam genggaman tangan". Apabila tangan kita terlalu erat menggenggam pasir, maka pasir itu sedikit demi sedikit akan tumpah dan akhirnya habis sama sekali. Dan, aku tidak ingin perasaan orang yang aku sayang dan cintai padaku habis sama sekali seperti pasir itu."
+ komentar + 2 komentar
sangat menarik bro...hee
Yups thanx,...
sering2 lah maen kemari, hehehe...
Posting Komentar