Ist |
Dari sekian film yang diperoduksi di negeri
ini, film Sang Pemimpi mungkin menjadi salah satu the
best-nya film Indonesia. Film yang diputar perdana sejak 2009 lalu ini sempat menjadikan
salah satu bahan inspirasiku mengarungi hidup. Meski begitu, dibanding memutar
filmnya aku jauh
lebih suka membaca novelnya. Terlampau banyak detail-detail yang terlupakan
dalam film itu termasuk detail karakter yang semuanya digambarkan apik dalam
novel. Tapi, ada hal menarik yang bikin aku kepincut. Aku
suka dengan
penggambaran yang realistis tentang Belitong, lengkap dengan gaya bertuturnya.
Para
pembuat film ini berusaha tetap membumi dalam menggambarkan Belitong. Tak hanya
pemilihan lokasi suting, mereka juga memilih para pemain lokal untuk memerankan
tokoh-tokoh di film itu. Bahkan gaya berbicara (logat) para pemain lokal ini
dipertahankan seasli mungkin, sebagaimana logat Belitong sesungguhnya. Inilah
yang menjadi kekuatan film ini dan hendak saya bahas dalam tulisan ini. Jika ada yang komentar tulisan ini basi itu terserah. Menurutku tape lebih
nikmat jika dibasikan dan wine lebih nikmat jika disimpan lebih lama begitupun
film dan novel, akan semakin kerasa keklasikannya jika masih ada yang bahas
meski sudah lama beredar.
Oke balik ke pembahasan, Film ini disajikan dengan
realistis dan tidak sok-sok Jakarta sebagaimana banyak film Indonesia yang
tengah tayang di bioskop. Film ini tidak malu-malu untuk nampak udik sebab
yang hendak disajikan adalah upaya mereka yang berumah di kampung untuk menggapai
mimpinya setinggi
langit demi menjangkau altar ilmu pengetahuan di Paris. Kalimat-kalimatnya inspiratif
sebagaimana yang dikatakan salah satu tokoh yakni Arai, ”Tak soal setinggi
apapun mimpimu, namun sejauh mana upaya kerasmu untuk meraih semua mimpi
tersebut.”
Dan
yang mencengangkan adalah
kalimat-kalimat inspiratif itu disampaikan dalam bahasa Melayu dengan aksen
Belitong. Dulu pernah kutanyakan pada seorang kawan kuliah yang intens mempelajari bahasa
melayu, aku baru nyadar, rupanya logat Melayu Belitong agak
berbeda dengan logat Melayu di daerah lainnya termasuk Palembang, Riau, Jambi,
bahkan Malaysia sekalipun. Logat Melayu Belitong lebih menyerupai logat Melayu
Aceh,
sebab dahulu Bangka dan Belitong mendapat pengaruh yang sangat kuat dari Aceh.
Saya
membayangkan betapa hebatnya Indonesia yang memiliki begitu banyak variasi
bahasa. Melalui film ini, kita diperkenalkan dengan variasi logat Belitong, dan
melalui logat tersebut kita sedang meneropong keindonesiaan. Film ini bukanlah
yang pertama. Sebelumnya, kita juga pernah menyaksikan film Denias, yang
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Papua atau
film Tanah Air Beta dengan logat Timor-nya. Melalui variasi logat bahasa tersebut, kita seakan
disadarkan bahwa Indonesia adalah sebuah rumah besar yang di dalamnya terdapat
begitu banyak bahasa setempat yang hidup dan saling berinteraksi.
Kita
disadarkan pula bahwa Indonesia bukanlah satu realitas Jakarta saja. Negeri ini
adalah sebuah bangunan besar yang dikonstruksi oleh berbagai macam kebudayaan
dan ribuan bahasa yang kesemuanya memberi pengertian pada kosa kata
keindonesiaan. Kita disadarkan bahwa Indonesia adalah sebuah konsep yang
maknanya terus diperkaya oleh manusia-manusia yang hidup dalam berbagai latar
kebudayaan termasuk Belitong.
Anak-anak
kecil dalam film Sang Pemimpi itu adalah salah satu kepingan yang membentuk keindonesiaan
hari ini. Mereka menunjukkan keragaman dan kekayaan bangsa ini yang
identitasnya terus tumbuh dan menjadi. Dan inilah kekuatan kita sebagai bangsa
yang majemuk. Semoga
film seperti ini terus diperbanyak. Dan membuat kita sesekali meneropong Indonesia
dari pinggiran, dari titik yang selama ini banyak diabaikan oleh mereka yang menguasai
arus wacana negeri ini. Dan yang jelas aku masih bermimpi ada
produser film yang mau ngangkat film soal Kalimantan.
Kasongan, 12/6 2012
Posting Komentar