Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Dengan HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu…
Oh mengapa...
Sepenggal lagu dari bang Iwan
tersebut saya rasa sangat tepat jika digunakan untuk menggambarkan sebagian
besar kondisi di wilayah Kabupaten Barito Timur (Bartim), apalagi mendengar
dongeng dari beberapa penduduk lokal, bahwa beberapa tahun lalu, daerah itu
masih merupakan rimba raya yang penuh dengan pohon-pohon raksasa.
Hal semacam ini ternyata sudah
tidak dirasakan aneh lagi bagi sebagian besar orang disini, kekayaan alam terus
menerus diangkut keluar dan hanya menyisakan masalah untuk warga setempat,
pohon-pohon besar dibabat habis dengan reboisasi seadanya, setelah penghuni
permukaan tanah diamputasi menjadi gundul tak menawan, gantian isi perutnya
dirobek untuk mengambil batu bara atau kandungan mineral lainnya, setelah habispun
reklamasi (usaha pemulihan hutan, red) lahan sering asal-asalan dan lebih
banyak diserahkan kepada alam untuk disemaikan lagi.
Penjarahan dan pemerkosaan sumberdaya alam tidak berhenti di situ saja, semak-semak yang baru saja mulai
bertunas sudah dibakar orang membuka lahan, untuk dijadikan ladang atau
perkebunan, ada yang benar-benar berladang, ada juga yang cuma berniat
menguasai lahan sebagai investasi, tujuannya tidak lain tidak bukan adalah
menunggu investor, misalnya pembukaan perkebunan sawit, mereka akan jual lahan
tersebut dan kembali membakar hutan untuk memiliki lahan baru lagi, karena
disini memang jarang masyarakat yang menggunakan legalisasi sesuai prosedur
yang sudah negara tetapkan bagi warga setempat untuk memiliki tanah hutan,
sebidang tanah secara adat akan dianggap milik seseorang atau keluarga hanya
dengan syarat dia atau leluhurnya pernah berladang di lahan hutan tersebut.
Saat negara dan warganya sudah tidak
mampu lagi menjaga kelestarian hutan, kadang saya berpikir untuk menyerahkannya
kepada setan, bukan soal tahayul, tapi melihat kenyataan disini, pohon yang
katanya angker biasanya akan disisakan untuk tidak ditebang, bukan sesuatu yang
aneh jika suatu saat kita melihat ada satu pohon tersisa di tengah lahan yang
gundul, sepertimya mereka lebih sayang setan daripada sayang anak cucu yang
tentunya ingin diwarisi hutan lestari.
Kisah Pohon angker mungkin sudah
tidak mudah lagi dijumpai, situasi sekarang mulai berubah, karena yang tersisa hanya
satu pohon untuk berlindung, sementara kuntilanak terus beranak-pinak, lama-lama
mereka tak betah dan mulai mengungsi jauh-jauh untuk cari perumnas yang layak bagi
anak cucunya, jadinya satu persatu pohon yang tersisa mulai ditebang juga,
karena sudah tidak angker lagi, karena saya merasa sayang bila monumen
sisa-sisa keperkasaan hutan di masa lalu harus dibabat juga, dalam perbincangan
dengan warga setempat, sempat terlantar pertanyaan, “Kenapa mesti ditebang?”
Dan ternyata jawaban beliau teramat sederhana, "Kalo dicabut susah,
pak…" Gubrak!!!
Posting Komentar