Beberapa bulan terakhir terjadi
pemberhentian karyawan besar-besaran di perusahaan yang saat ini menjadi
tempatku cari makan, mulai dari staff, operator mesin cetak sampai wartawan
yang ada di pelosok rimba, dalam hati sempat berujar “Tinggal tunggu waktu nih
perusahaan gulung tikar,” tetapi yang terjadi sungguh berbanding terbalik,
perusahaan mampu membangun biro-biro baru di pelosok rimba dengan omset puluhan
juta, bahkan bos besar bilang bakal ada percetakan baru di daerah-daerah “Jadi
kedepan koran kita bisa terbit tiap pagi di daerah-daerah,” katanya. Ternyata
masih ada Bos yang kaya raya tetapi tidak pernah konsisten dalam pengelolaan
perusahaan, hanya satu kata untuk komentari hal ini “Gendeng.”
Beberapa waktu lalu seorang teman
pernah mengingatkanku, dalam hal apapun apalagi mengenai manajemen perusahaan
jangan terlalu idealis dan sok pintar, Dia juga menyarankan agar aku melakukan
pengamatan dan adaptasi dulu sebelum mengeluarkan segala kemampuan dan
idealismeku, aku masih ingat betul dengan kata-kata sahabatku itu “Ini
perusahaan keluarga dengan menggunakan manajemen kios, dimana Bos besar bebas
mengambil keputusan sepihak tanpa kompromi dengan pihak lain, pahitnya akan
muncul saat ada permasalahan.” Selain itu dia juga bilang “Jangan terlalu pede
karena kamu ditarik langsung oleh sang Bos”.
Setelah beberapa rangkaian
kejadian memilukan yang harus diterima oleh beberapa karyawan, aku sempat
bertanya, “Apakah di jaman ini masih ada konsistensi yang seutuhnya?”
Ternyata konsistensi hanya
sekedar slogan tanpa isi, karena kita memang terbiasa menggunakan standar ganda
dalam menjalani kehidupan, tak ada lagi yang namanya konsistensi bila kita
masih saja memperhitungkan untung dan rugi, kita saksikan saja para pejuang jalanan,
awalnya memang rajin berteriak tentang kesejahteraan rakyat, begitu punya
kesempatan duduk di kursi empuk, kebanyakan berubah menjadi anggota “hewan”
yang sesungguhnya, kita sendiri yang sering hanyut ikut teriak anti korupsi, di
kesempatan lain masih suka belajar korupsi kecil-kecilan, walau hanya mencuri
waktu, misalnya masih menyempatkan diri mampir ke kantor untuk ngopi-ngopi
sambil ngerokok kebal-kebul atau sekedar online komen sana sini di jejaring
sosial atau blog pribadi, akhirnya tugas utama berburu berita terabaikan.
Bahkan tak sedikit kuli tinta yang hanya bermodal notulensi hasil rapat untuk
dijadikannya berita.
Menjadi baik seringkali hanya
kepura-puraan belaka karena terbawa euforia sesaat, seperti saat bangsa ini
memperingati hari pahlawan, dari sekedar status sampai jurnal blog didominasi
kata-kata tentang cinta tanah air. Tapi baru saja mengetikan rasa nasionalisme
itu, tanpa merasa dosa kita buka google untuk mencari donlotan lagu dangdut
terbaru secara gratis, kalo memang benar kita nasionalis seperti yang baru kita
tulis, kenapa tidak beli kaset berstatus legal agar para pekerja seni kita bisa
lebih berkreasi. Konsistenkah itu..?
Beberapa waktu lalu aku berbalas
komen, waktu itu seorang teman menulis tentang kebenciannya kepada arogansi
Amerika, lalu ku ketik dibawahnya;
“kalo benci Amerika jangan pake
windows dong…” Bukannya ngerti malah ngeles, “tapi kan bajakan, bukan beli..” Lalu ku komen
lagi, “Laptop kamu pake komponen Amerika juga lho...” Jawabnya, “Suka-suka gua
dong. Duit-duit gua, emangnya laptop dapat nyolong..?” Nah lho…
Intinya buat aku pribadi, sangat
malas meneriakan kata konsisten karena dunia memang tidak mendukung. Kecuali
kalau kita memang sudah siap dianggap aneh oleh lingkungan sekitar, dunia selalu
berubah dengan cepat, dan memaksa kita harus se-fleksibel mungkin menjalaninya,
berusaha konsisten hanya akan membuat kita ditertawakan orang lain. Seperti
ketika aku ditanya ulang tahun ke berapa dan aku jawab 18, banyak teman yang
komplain, “Masa’ dari tahun ke tahun masih 18 juga” Kujawab, Pan konsisten,
bro…!!!
Posting Komentar