Aksi Jurnalis Indonesia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta 1 Mei 2011. "Jurnalis juga Buruh" |
Ini adalah kali pertama aku lewatkan "May Day" tak bersama mereka. Merasa lain dan berbeda itu pasti, namun kondisi berbeda dalam peringatan hari buruh ini selalu aku alami semenjak mengenal peringatan hari buruh sedunia. Empat tahun silam lalu aku peringati hari buruh ini bersama kawan-kawan Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Semarang, tahun berikutnya bersama kawan-kawan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jogja, dan terakhir (Tahun lalu) bersama kawan-kawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta, dengan tema yang cukup nyentrik "Jurnalis adalah Buruh."
Belum lama ini seorang kawan menelpon dan memberitahuku jika tahun ini peringatan May Day jauh lebih meriah ketimbang tahun sebelumnya, akan ada ini, itu dan banyak lagi. Dari penjelasannya yang panjang lebar tersebut aku hanya berujar "Wah mantab dah." lalu bertanya padanya "Bagaimana peningkatan kesejahteraan para buruh yang kita perjuangkan?" Dan jawabnya ternyata seperti yang kuperkirakan "11-12 seperti tahun-tahun sebelumnya bro."
Lain halnya dengan kami yang dengan jumawa menyatakan sebagai aktivis buruh, pejuang buruh dan embel-embel lain yang dengan paksa di labelkan, Titik (Bukan nama sebenarnya) tak mengenal May Day dan hari Kartini, Ia hanya mengenal Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, sebagai hari kemenangan. Di hari raya tersebut, ia melihat warna-warni kehidupan setelah berpuasa Ramadhan dan penyembelihan kurban. Di dua momen tersebut ia dapat menikmati kue-kue, daging, minuman berwarna dan berasa, melepaskan rutinitas yang tak berujung, dan bertemu serta bercengkerama dengan sanak saudara.
Hari itu, menjelang Hari Kartini. Satu hari yang diperingati oleh sejumlah warga Indonesia dengan berbagai cara. Soekarno menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional dan hari kelahirannya, 21 April dijadikan sebagai Hari Kartini. Anak bangsawan yang disimbolkan kemajuan dan kebebasan ini, disematkan gelar “putri sejati”, dalam lagunya. Titik tidak mengenal Hari Kartini. Apalagi merayakannya dengan kegiatan “kewanitaan”, seperti lazim dilakukan oleh sejumlah kalangan pejabat.
Titik tahu betul tidak ada perubahan di dalam dirinya, kecuali beban hidup yang terus bertambah. Dua belas tahun lalu ia ditinggal suaminya, dengan menanggung tujuh orang anak. Tapi ia bangga karena mampu menyekolahkan anak-anaknya dengan jerih payah. Bukan dari kebaikhatian negara. Anaknya yang keenam menamatkan sekolah menengah atas. Sementara anak yang paling kecil masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sisanya menyelesaikan sekolah dasar. Dirinya sadar bahwa negara berpangku tangan, sehingga ia harus membanting tulang untuk menyekolahkan anaknya.
Di tangannya, jarum jam bergerak tetap. Perusahaan menetapkan jam kerjanya dari pukul 7 pagi sampai pukul 2 siang. Tapi Dia mengerjakannya lebih awal dan pulang paling akhir; pukul 6.30 atau pulang pukul 3 sore. Terus berulang: Senin sampai Minggu. Tanpa beristirahat. Waktu hanya dibedakan dengan siang hari dan malam hari. Di siang hari ia berhadapan dengan terik matahari atau hujan. Di malam hari ia melepas lelah dan memulihkan tenaga. Pukul 4 pagi ia telah terjaga. Satu jam ia habiskan untuk wudhu, shalat, menyiapkan makanan dan mengisi perut ala kadarnya. Pukul 5 berjalan kaki menuju tempat kerja. Jika dihitung dari jam bangun atau jam keberangkatan ke tempat kerja, Dia menghabiskan sepuluh atau sembilan jam. Bagi pendulang untung dari tenaga kerja orang lain, penghitungan waktu tersebut tidak masuk akal. Makanya, jam kerja hanya dihitung pada saat orang bekerja.
Dia menjalani tujuh jam sehari atau 40 jam seminggu dalam bekerja. Dari jam tujuh pagi sampai jam 2 siang. Tentu saja Dia tidak memaknai waktu kerja itu sebagai buah dari perjuangan panjang kalangan buruh di Barat sana, pada abad 19 lalu. Kini aturan jam kerja tersebut telah menjadi aturan Organisasi Buruh Internasional dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Harus dicatat, bahwa perjuangan kondisi kerja itu dilakukan dengan mengorbankan darah dan air mata kalangan buruh. Bukan dengan ongkang-ongkang kaki. Hasil perjuangan tersebut sering disebut sebagai May Day atau Hari Buruh Sedunia.
Di berbagai negara, Hari Buruh Sedunia diperingati tiap tanggal 1 Mei. Zaman Soekarno, Hari Buruh Sedunia dijadikan sebagai hari libur nasional. Konon, peringatannya meriah. Sekolah diliburkan. Pelajar, pemuda, perempuan, kaum tani dan kaum buruh turut turun ke jalan di hari tersebut. Di zaman Soeharto, hari buruh sepi. Soeharto mengajukan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Indonesia. Tapi kurang laku. Entah dapat ilham dari mana, rezim Soeharto menyebut Hari Buruh Sedunia bukan tradisi Indonesia. Setiap pihak yang berupaya memeringati hari buruh disebutnya tidak pancasilais. Pada 1995 hari buruh mulai diperingati oleh segelintir aktivis buruh. Kini, hari buruh diperingati dengan ramai. Meskipun belum menjadi hari libur nasional.
Dari tahun ke tahun peringatan hari buruh ini selalu diperingati dengan beragam. Ada yang menggelar aksi dan mengajukan tuntutan. Ada pula yang menyambutnya dengan sunatan massal dan penanaman pohon. Seperti apa yang seorang kawan kabarkan padaku, sepertinya tahun ini pun, hari buruh akan meriah. Namun sekali lagi Titik tidak mengenal hari buruh, apalagi turut merayakannya sebagai hari kemenangan. Baginya, hidup ini terlalu sulit. Jika ia meninggalkan pekerjaan, upahnya pasti dipotong. Umurnya telah setengah abad lebih delapan tahun. Kesehatannya menurun. Ia berkeyakinan bahwa anak dan cucunya jangan menapaki hidup seperti dirinya yang payah. Makanya ia berkeras untuk bekerja.
Dia harus berjuang untuk hidup. Jika tidak demikian, zaman akan melindasnya. Ia bekerja di sebuah perusahaan milik orang asing, yang berdiri sejak 1990-an. Perusahaan tersebut terkenal dengan ketaatannya untuk tidak merekrut tenaga kerja kontrak. Kenyataan yang dialaminya membalikkan keadaan itu. Sejak 12 tahun lalu ia bekerja sebagai buruh harian lepas. Upahnya hanya Rp 450 ribu, seperempat saja masih kurang dari ketetapan upah minimum di Kabupaten Bekasi, sebesar Rp 1.491.866.
Sebagian orang mungkin akan berkelit, jika pekerjaan Titik bukan inti produksi atau tidak berhubungan dengan proses produksi secara langsung. Karenanya boleh dikontrakkan. Peraturan ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pun menegaskan demikian. Pekerjaan Titik setara dengan tukang jaga keamanan (Security) dan tukang penyedia makanan (Katering). Jika logikanya dibalik maka pemaknaan kerja di dalam aturan tersebut bermakna begini: seseorang hanya dapat dinilai bekerja jika menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan urusan perusahaan. Memang ada nuansa licik, picik, dan tidak menghargai nilai tenaga kerja. Diam-diam pemaknaan tersebut diamini oleh sejumlah peneliti dan aktivis perburuhan: yang penting di bagian inti produksi tidak mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Buktinya, sedikit sekali organisasi buruh yang berupaya mengajak berorganisasi status pekerjaan seperti Titik tersebut.
Demikianlah. Aturan tersebut telah berlaku, sejak 2003 lalu. Bahkan, titik menjalaninya jauh sebelum peraturan tersebut keluar. Di luar sana, pekerjaan seperti yang di kerjakan Titik berjumlah ribuan.
Ilustrasi |
Karena pekerjaan sebagai tukang sapu, Titik mengajak anaknya untuk berjualan permen, minuman dan rokok di sekitar perusahaan. Rupanya, Dia telah mendorong kesempatan kerja, yang mestinya dilakukan oleh negara. Baginya, fungsi negara tidak pernah hadir. Titik tidak sendirian. Di pinggiran kota dan di pedesaan, sifat pekerjaan seperti ini diremehkan dan tidak dihargai sama sekali. Sampai kapan?
Bekasi, 1/5 2011. Ditulis ulang di Tamiang Layang, 30/4 2012.
Bekasi, 1/5 2011. Ditulis ulang di Tamiang Layang, 30/4 2012.
+ komentar + 1 komentar
Posting Komentar