May Day; Perjuangan dan Misi Suci Kaum Buruh

Selasa, 01 Mei 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Sejarah tak akan pernah sempat mencantumkan nama para buruh, meskipun karya mereka adalah Candi Borobudur. Sejarah hanya mengenal Syailendra hanya karena satu nama itulah yang berkuasa.

Ilustrasi
Dari para kaum buruh (pekerja), tragedi itu lahir dan hadir, perbudakan yang sudah seusia gunung, penindasan para tiran terhadap hamba sahaya, hingga ke penghisapan tenaga manusia di era kolonialisasi (kerja rodi dan rhomusa). Di periode paling dini, tenaga kerja bahkan tak mengenal stick or tarot (pukulan tongkat atau wortel untuk dimakan), punishment and reward (hukuman dan imbalan), melainkan buruh ini hanya dihargai sebagai sebuah perkakas yg sederajat dengan benda.

Meski telah berjilid-jilid cerita berlahiran, tetapi justru menjauhkan memori manusia terhadap satu kenyataan: bahwa pusat sejarah berada di tangan para buruh. Untuk apa para nabi lahir? Bagaimana para intelektual berpikir? Kepada siapa para pahlawan menemukan tempat perjuangan? Semuanya berpusat di situ, yaitu berjuta-juta manusia yang bergerak, berbuat, dan berproduksi. Namun sekaligus juga terhadap berjuta-juta manusia yang ternistakan atas jasa-jasa yang telah mereka perbuat.

Misi Suci
Setidaknya jika kitab suci jadi rujukan, maka benarlah bahwa buruh adalah pusat eksistensi pesan-pesan ke-Ilahian. Nabi Adam meski hidup jauh sebelum “zaman reproduksi” lahir, toh juga memulai sebuah misi untuk berkarya di dunia (khalifatullah fil ardh, dalam Islam). Menandai tahap paling awal dalam sejarah manusia, yaitu dari lokasi surga yang tak butuh kerja (karena semua serba ada), kepada tempat baru yang butuh ikhtiar untuk mendapatkan sesuatu. Di sini, bisa dikatakan bahwa manusia adalah mahluk pekerja, homo faber (mahluk yang berkarya).

Begitupun salah satu mission sacred (misi suci) Nabi Pamungkas (dalam silsilah kenabian di ajaran Islam), yaitu Nabi Muhammad SAW. Manusia Agung dari tanah Mekah ini, berkali-kali mengingatkan ummat untuk “memperhatikan” fakta-fakta sosial menyangkut tenaga kerja. Ia lebih dulu tahu, bahwa kapitalisme punya sisi akut, ketika menyampaikan risalah agar: harta kekayaan (kapital) tidak beredar di tangan orang-orang kaya saja.

Beliau juga memperkenalkan metode yang menegakkan kondisi imbang, jauh dari ketimpangan ekstrem, antara orang kaya dengan orang miskin. Melalui lembaga zakat, shodaqoh, infaq dan lain sebagainya. Semangat besar dari kewajiban-kewajjiban material itu adalah: membebaskan tirani modal dan ironi kemiskinan. Tak sulit mengurai aspek-aspek hubungan modal, sumber daya, dan tenaga kerja dalam institusi zakat, shodaqoh, dan infaq ini. Tinggal mencantumkan saja, siapa pemilik modal, siapa yang memperoleh akses sumber daya, dan siapa yang berposisi sebagai tenaga kerja (buruh). Kebatilanlah yang terjadi, jika masing-masing posisi itu justru saling menghisap dan meniadakan. Tambahan lain, bukankah ummat kenal dengan persis, sebuah anjuran yang mengingatkan dengan tegas, bahwa di dalam harta (kapital) kalian, terdapat hak-hak orang lain?

Ditarik lebih jauh, pengingatan inilah yang menjadi daya dorong perbaikan kondisi (hubungan) antara manusia pemilik harta dengan manusia pemilik tenaga. Orang harus ingat, tak ada barang produksi, jasa, ataupun berbagai fasilitas yang hadir otomatis. Melainkan melalui jenjang panjang: atas kerja keras para buruh, atas kerja cerdas para pemikir, atas ikhtiar pihak-pihak lain. Langsung atau tidak langsung, segala kenikmatan yang diperoleh pemilik modal, terdapat “pengorbanan” dari manusia lainnya. Menjadi wajar, jika kemudian klaim penuh atas kepemilikan tidak boleh diperlakukan ekstrem. Privasi dalam hal materi, ada batas-batasnya. Jika belum cukup, uraian singkat tentang ajaran Islam dalam konteks tenaga kerja dan buruh adalah petikan hadis, yang kurang lebih berkalimat: bayarlah upah buruhmu sebelum keringatnya mengering!

Fajar Perubahan
Lalu fajar sejarah beralih kepada “nabi akademik”, yaitu para intelektual, pemikir, dan kaum cerdik cendekia. Sorotan utama, baiklah, kita tatap kepada sosok yang begitu detil, fasih dan (sangat ideologis) dalam merumuskan “metode perubahan kaum buruh”, kita sebut Karl Marx. Penjelajahan intelektual —melalui bacaan teks-teks ekonomi dan sejarah— menggiringnya pada asumsi bahwa perubahan sosial manusia bukan digerakkan oleh motif apapun, kecuali oleh motivasi ekonomi, tepatnya kepada model reproduksi yang dilakukan oleh manusia (mode of reproductions). Aktivitas ekonomilah, dan bukan aktivitas yang lainnya, yang membuat dunia terus bergerak. Di wilayah ini, tentu saja, faktor tenaga kerja, modal, dan hubungan-hubungan industri dan reproduksi menjadi sangat jelas. Lagi-lagi, posisi tenaga kerja atau buruh menjadi teramat sangat vital.

Kiblat lain, yang menjadi kerangka perspektif untuk menguatkan dalil bahwa pusat sejarah manusia berada di tangan buruh, adalah ini: etos kepahlawanan di segala pelosok jagat. Di segala waktu. Spirit para hero, tak jauh-jauh dari kobar semangat anti penindasan, perlawanan terhadap kekuatan yang memeras-menindas. Mereka mendedikasikan diri untuk perubahan atas kondisi yang menelikung nasib kaumnya komunitas para ksatria itu berada. Boleh jadi, para pejuang ini bukan lahir dari Ibu Kandung buruh, tenaga kerja, atau hamba sahaya, melainkan muncul dari istana. Tetapi fakta-fakta sosial seputar ketertindasanlah yang membuat mereka memilih jalan berbeda (tidak larut dalam gemerlap keberlimpahan).

Untuk itu, mulai dari hikayat para pahlawan era klasik, era kolonial, hingga zaman teknologisasi saat ini, para pahlawan pro buruh bermunculan. Hanya metode, alat perjuangan, hingga instrumen pendukungnya sajalah yang berbeda. Kini orang butuh ideologi sebagai sumber keyakinan untuk melawan. Para pejuang mengorganisir kekuatan. Memanfaatkan fasilitas informasi. Dan membutuhkan topangan jaringan guna bergerak bersama. Tetapi saripati dan daya dorong utama, tetaplah sama: kegelisahan atas fenomena buruk yang dialami kaum pekerja. Paparan dari semua itu, seolah menyamakan posisi manusia keseluruhan dengan posisi manusia sebagai pekerja.

Sama sekali tidak. Karena tidak semua manusia memiliki hak untuk dibela oleh nabi, intelektual, ataupun para pahlawan. Di titik lain, ada pula manusia yang patut dibela penuh, tetapi sulit diharapkan masuk barisan untuk bergerak (karena cacat, oleh sebab lumpuh, dan tidak berdaya sama sekali). Beda dengan pekerja atau buruh. Mereka adalah entitas produktif. Wujud yang bergerak. Bisa berkarya. Menjadi akar tunjang dan penopang “eksistensi” bagi para nabi, intelektual dan hero. Di sinilah faktor istimewa keberadaan para buruh dan tenaga kerja. Mereka memang kurang beruntung, tetapi tidak duduk mencangkung.

Catatan Akhir
Kekuatan perubahan inilah yang disadari oleh para pemikir dan penggerak revolusi di mana-mana. Awal abad 18, Karl Marx sudah membuat action alert (seruan aksi), melalui teriakan yang bergema di Eropa: para buruh bersatulah! Wajah sosial politik pun, pada akhirnya, berubah drastis sejak peristiwa itu, yang oleh Marx sendiri disebut ada hantu di mana-mana, yaitu hantu komunisme (sebuah ideologi pemikiran dan gerakkan, yang berhasil membuat sistematisasi perubahan dengan bertumpu pada kekuatan buruh). Satu aspek yang bisa kita lihat dari sini, bahwa pembuktian bahwa sejarah bertumpu pada buruh, adalah faktual adanya.

Walhasil, suntikan keyakinan seperti inilah yang perlu. Jangan sampai hingar-bingar pergerakkan kaum buruh jatuh kepada program populis belaka. Teramat sangat tak cukup, andai agenda dan isu perburuhan melulu berkutat pada pusaran politik, organisasi, isu atau kampanye global, dan klaim-klaim ideologi nan terbatas. Meski memang perlu karena hakikat dasar perjuangan buruh adalah pemenuhan atas tuntutan minimal (dari faktor upah, jam kerja, hak berorganisasi, hingga urusan cuti hamil). Namun juga penting adalah memompa harga diri. Tak ada buruh, tak ada kehidupan.

Virus kesadaran ini, jika telah menyebar, akan segera memotong pola lama dalam agenda perjuangan buruh, yaitu seperti umat beragama yang menunggu mesiah hadir kembali. Sebab para buruh itulah yang menjadi nabi atas diri mereka sendiri, menjadi intelektual yang memahami kondisinya sendiri, dan menjadi pahlawan untuk perubahan diri sendiri. Wallahu’alam…

NB; Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Blog Detik dengan judul sebelumnya "May Day: Misi Suci Kaum Buruh!", saya muat ulang untuk tujuan Pendidikan dan peringatan hari buruh sedunia; May Day 2012.

Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger