Do not judge a book by the cover, artinya; buku jangan dimasukin koper, dibaca dong!!!
Membaca; Ir soekarno |
Mungkin sebagian besar diantara kita tak menyadari jika 17 Mei nanti adalah "Hari Buku Nasional" yang dicanangkan sejak tahun 1980, tepatnya 32 tahun silam, bertepatan dengan peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta. (Wikipedia; Daftar hari penting di Indonesia)
Peran buku bagi perkembangan masyarakat?
Secara klasik konvesional, buku berperan sebagai pintu ilmu; jendela dunia. Membaca buku sama dengan membuka tirai dunia, membawa dunia lebih dekat dengan kita, bahkan serasa di tangan kita, dalam lembaran kertas berisi tulisan bermakna, kalimatnya tertata dengan struktur tertentu yang bervariasi.
Jika kaum klasik konvesional memaknai buku sebagai pintu ilmu dan jendela dunia, aku lebih sreg memaknai buku sebagai gudang pengetahuan dan ladang ilmu. Ladang tempat menyemaikan benih. Benih yang unggul akan bagus hasilnya. Benih buruk, buruklah buahnya dan buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya. Nungguin buah durian jatuh bolehlah, tapi jagan pernah nungguin semangka jatuh, bisa digebukin pemiliknya ente.
Kekuatan buku
Dengan buku kita menjadi makin tahu. Orang yang belum pernah ke Alaska menjadi tahu kondisi di sana lewat buku. Buku-buku tentang kedigjayaan bangsa dan budaya Mesopotamia di Irak zaman dahulu bisa kita ketahui lewat buku juga. Yang belum pernah mendaki Himalaya di India menjadi tahu cerita tentang makhluk Yeti yang misterius itu, juga dari buku. Tentang jagat raya atau makrokosmos seperti planet, bintang-gemintang, asteroid, komet, matahari hingga galaksi, alam renik semisal bakteri-kuman, juga bisa didapat di buku. Sejarah tentang kertas atau papirus dan riwayat mesin cetak Gutenberg juga dapat ditelusuri di buku-buku.
Pendeknya, semua ilmu dan teknologi mulai dari ajaran agama, sekte kepercayaan, teknologi lama dan baru, sejarah dan situs purbakala hingga Zaman Dinosaurus bisa diretas lewat buku. Tak berlebihan jika buku disebut penyambung lidah sejarah. Ia meniti dan melintasi zaman sambil mendata pernak-pernik adat dan budaya di setiap daerah. Sebagai penyambung kebudayaan, buku begitu penting bagi masyarakat beradab yang selalu berpikir maju. Catatan ilmu dan teknologi dari sejumlah buku dipelajari oleh ilmuwan dan teknolog, lalu diuji coba di laboratorium kemudian hasilnya dituangkan di dalam buku juga. Bagaimanapun, buku adalah salah satu alat komunikasi antarilmuwan lintas agama, lintas budaya, lintas negara, dan..., ini yang penting: lintas masa.
Itulah kekuatan buku. Banyak yang percaya pada kemampuan buku untuk menyebarkan sainstek di tengah perkembangan radio, televisi, komputer, internet (Blog, Facebook, Twitter) atau apa saja pada masa depan. Bahkan kehadiran ponsel dengan SMS-nya justru makin membiasakan orang menulis catatan singkat. Ini bisa menjadi cikal-bakal munculnya penulis-penulis buku di kalangan remaja, terlepas dari SMS itu yang—kata pakar bahasa—merusak bahasa kita. Facebook (Fb) juga sama, dapat membiasakan para Pebukers menulis apa saja, meskipun sekadar satu-dua kata, baik dianggap penting maupun tidak oleh
Pebukers lainnya. Yang penting...., menulis.
Yang pasti, baik SMS, e-mail, Fb, Twitter, maupun surat biasa lewat pos adalah sarana pembiasaan menulis dan mengemukakan pendapat secara tertulis yang tertata. Pasti ada sisi positifnya, sekecil apapun ia. Untuk tahap awal, amat prematur kalau kita langsung bicara soal mutu tulisan. Semua orang silakan saja menulis: mau menulis cerita fakta, silakan. Mau fiksi, boleh-boleh saja. Mau novel pop, novel picisan, atau novel sastra, semuanya sah-sah saja. Nanti masyarakat yang menilai. Pokoknya.., tulis!
Kembali ke soal buku. Buku nyaman dijinjing ke mana saja. Praktis dan mudah diakses. Kapan mau dibuka, saat itu juga bisa dilakukan. Tak perlu listrik, tanpa baterei, dan ringan. Sambil santai di kursi, sembari berbaring atau lesehan, waktu berjemur di pantai, mudah dilakoni.
Flash back; awal aku mencintai buku
Sekitar 15 tahun lalu, ayah pernah menasihatiku. "Gemarlah membaca buku, Fit. Ketahuilah bahwa membaca buku akan membuka matamu." Lalu aku bertanya kepada beliau, "kenapa kita harus banyak membaca buku? Bukankah aksara tak pernah mengenyangkan perut? Apa lagi kalau disusun terlalu banyak tak berurut. Aku tak mau nanti perutku lapar dan dahiku berkerut-kerut.”
Setelah selesai bertanya, ayah menatapku penuh iba (mungkin karena kedangkalan logika saat itu) dan berkata, "supaya perutmu kenyang kamu harus tahu. Kamu mesti bisa membaca dimana ada makanan untuk perutmu, apa saja yang layak kamu makan. Semuanya itu diberitahu oleh buku. Mas Fitriya sayag, Janganlah lupa mengisi kepalamu dengan ilmu.”
Aku terdiam, terpaku. Semenjak itulah di hatiku yang terdalam telah terpatri untuk mencintai buku, supaya nantinya tak kelaparan dan menggigit jari kuku karena tak berilmu. Terimakasih Ayah.
Palangkaraya, 16 Mei 2012.
Posting Komentar