Perahu Klotok; Ujung Tombak Transportasi Sungai Katingan

Kamis, 21 Juni 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Sebuah Klotok saat melintas di sungai Katingan
Jurnal sebelumnya...Setelah berbincang kesana-kemari, akhirnya dua abdi negara tersebut melukiskan seperti apa sih mahluk bernama klotok itu. Klotok, alat transportasi sungai yang biasa digunakan masyarakat Kalimantan dan juga warga Katingan, terbuat dari bahan kayu keras seperti ulin (Eusideroxylon swageri), digerakkan menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar. Alat transportasi berupa perahu dengan dominasi bahan kayu tersebut memiliki kapasitas penumpang bervariasi, mulai klotok berukuran kecil yang berisi 5 penumpang (biasanya untuk transportasi dalam satu desa dan tidak memiliki atap), dan klotok berukuran besar berkapasitas 15 – 30 orang  untuk melayani rute yang menghubungkan antar kecamatan.

Perahu klotok besar dilengkapi dengan stir seperti kendaraan roda empat dan dikemudikan oleh seorang motoris, sementara satu orang di belakang bertugas mengarahkan baling-baling dan membuang air sungai yang masuk ke dalam perahu. Para penumpang biasanya duduk di deretan depan dan tengah perahu, sementara itu barang-barang bawaan atau belanjaan diletakkan di bagian belakang.
CARI KAPOLSEK - Menggunakan Klotok Wakil Bupati Katingan, H Surya (baju&celana Hitam, bertopi dan pakai kacamata), Bersama Tim SAR Gabungan.
Karena menempuh perjalanan jauh dan untuk mengurangi sengatan matahari, perahu klotok berukuran besar ini memiliki atap yang terbuat dari terpal plastik yang diikatkan pada kerangka besi yang dibuat melengkung dan melintang dari sisi kiri – kanan perahu. Dan untuk para penumpang, jangan lupa membawa bekal minuman dan makanan ringan secukupnya, karena hempasan angin dan deru suara mesin perahu di sepanjang perjalanan  membuat perut cepat lapar. Klotok seperti ini biasanya digunakan masyarakat yang bepergian menyusuri sungai dari daerah hulu ke hilir dan sebaliknya yang rutenya belum tersedia transportasi darat.

Bang Sumantri yang ternyata putra asli Bukit Raya ini menuturkan sekilas pengalamannya bepergian ke Palangkaraya melalui transportasi sungai, dia harus berangkat dari rumah jam 4 pagi untuk mendapatkan perahu klotok reguler dari Tumbang Kejamei (Ibukota Kecamatan Bukit Raya) menuju Tumbang Senamang (Ibukota kecamatan Katingan Hulu) dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Kalau terlambat, resiko carter dengan biaya lebih mahal pun siap menanti dibandingkan dengan tarif reguler sebesar Rp 100.000 per orang.

Tiba di Tumbang Senamang, ada dua pilihan rute yang tersedia. Pilihan pertama, perjalanan dilanjutkan ke Tumbang Hiran (Tempatku berada saat ini) selama sekitar 3 jam menggunakan perahu klotok yang berbeda. Pilihan kedua dari Tumbang Senamang langsung ke Tumbang Samba (Ibukota Kecamatan Katingan Tengah). Rute Tumbang Senamang – Tumbang Hiran sering menjadi pilihan, karena tersedia jalan tanah melewati perusahaan HPH (Logging) dari Tumbang Hiran menuju Tumbang Samba. Selain itu, jika memilih langsung ke Tumbang Samba berarti siap-siap menguji nyali karena harus melewati Riam Mengkikit, riam yang sangat terkenal di jalur sungai Katingan.

Jika tetap harus melewati riam ini, bagi penumpang yang tidak mau bertaruh nyawa disarankan turun dari perahu klotok dan berjalan kaki sekitar 600 meter, sambil sesekali melihat perjuangan motoris mengemudikan perahu klotok berusaha lolos dari pusaran arus air yang deras. Tapi bagi yang punya hobi arung jeram, tantangan Riam Mengkikit tampaknya boleh dicoba, namun sekali lagi resiko ditanggung penumpang, karena dalam tiket perjalanan tak akan pernah dijumpai logo Jasa Raharja.

Warga setempat masih menjadikan Klotok sebagai ujung tombak transportasi
Tiba di Tumbang Samba, tersedia banyak pilihan kendaraan roda empat menuju Kasongan (ibukota Kabupaten Katingan) dengan waktu tempuh 1,5 jam. Dari Kasongan, perjalanan melewati jalan aspal mulus dan relatif lurus menuju Palangkaraya selama 1,5 jam, seperti mengobati rasa lelah perjalanan menyusuri sungai, hingga akhirnya tiba di Palangkaraya sekitar jam 7 malam.

Dari sekian celotehnya, dalam hati hanya mampu berujar “luar biasa”, betapa tidak, untuk menempuh perjalanan dari ibu kota kecamatan hingga tiba di ibukota propinsi, sang teman dan para penumpang lainnya harus memerlukan waktu tempuh lebih dari 12 jam. Kalau di pulau Jawa, waktu tempuh itu setara dengan perjalanan dari Banten menuju Semarang melewati beberapa propinsi menggunakan ular besi atau mobil.

Marikit, 20/6 2012.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger