Sebuah Klotok saat melintas di sungai Katingan |
Jurnal sebelumnya...Setelah berbincang kesana-kemari, akhirnya dua abdi negara tersebut
melukiskan seperti apa sih mahluk bernama klotok itu. Klotok, alat transportasi
sungai yang biasa digunakan masyarakat Kalimantan dan juga warga Katingan,
terbuat dari bahan kayu keras seperti ulin (Eusideroxylon swageri), digerakkan
menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar. Alat transportasi berupa perahu dengan
dominasi bahan kayu tersebut memiliki kapasitas penumpang bervariasi, mulai
klotok berukuran kecil yang berisi 5 penumpang (biasanya untuk transportasi
dalam satu desa dan tidak memiliki atap), dan klotok berukuran besar
berkapasitas 15 – 30 orang untuk melayani
rute yang menghubungkan antar kecamatan.
Perahu
klotok besar dilengkapi dengan stir seperti kendaraan roda empat dan
dikemudikan oleh seorang motoris, sementara satu orang di belakang bertugas
mengarahkan baling-baling dan membuang air sungai yang masuk ke dalam perahu.
Para penumpang biasanya duduk di deretan depan dan tengah perahu, sementara itu
barang-barang bawaan atau belanjaan diletakkan di bagian belakang.
CARI KAPOLSEK - Menggunakan Klotok Wakil Bupati Katingan, H Surya (baju&celana Hitam, bertopi dan pakai kacamata), Bersama Tim SAR Gabungan. |
Karena
menempuh perjalanan jauh dan untuk mengurangi sengatan matahari, perahu klotok
berukuran besar ini memiliki atap yang terbuat dari terpal plastik yang
diikatkan pada kerangka besi yang dibuat melengkung dan melintang dari sisi
kiri – kanan perahu. Dan untuk para penumpang, jangan lupa membawa bekal
minuman dan makanan ringan secukupnya, karena hempasan angin dan deru suara mesin
perahu di sepanjang perjalanan membuat
perut cepat lapar. Klotok seperti ini biasanya digunakan masyarakat yang
bepergian menyusuri sungai dari daerah hulu ke hilir dan sebaliknya yang
rutenya belum tersedia transportasi darat.
Bang
Sumantri yang ternyata putra asli Bukit Raya ini menuturkan sekilas
pengalamannya bepergian ke Palangkaraya melalui transportasi sungai, dia harus
berangkat dari rumah jam 4 pagi untuk mendapatkan perahu klotok reguler dari
Tumbang Kejamei (Ibukota Kecamatan Bukit Raya) menuju Tumbang Senamang (Ibukota
kecamatan Katingan Hulu) dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Kalau terlambat,
resiko carter dengan biaya lebih mahal pun siap menanti dibandingkan dengan
tarif reguler sebesar Rp 100.000 per orang.
Tiba
di Tumbang Senamang, ada dua pilihan rute yang tersedia. Pilihan pertama,
perjalanan dilanjutkan ke Tumbang Hiran (Tempatku berada saat ini) selama
sekitar 3 jam menggunakan perahu klotok yang berbeda. Pilihan kedua dari
Tumbang Senamang langsung ke Tumbang Samba (Ibukota Kecamatan Katingan Tengah).
Rute Tumbang Senamang – Tumbang Hiran sering menjadi pilihan, karena tersedia
jalan tanah melewati perusahaan HPH (Logging) dari Tumbang Hiran menuju Tumbang
Samba. Selain itu, jika memilih langsung ke Tumbang Samba berarti siap-siap
menguji nyali karena harus melewati Riam Mengkikit, riam yang sangat terkenal
di jalur sungai Katingan.
Jika
tetap harus melewati riam ini, bagi penumpang yang tidak mau bertaruh nyawa
disarankan turun dari perahu klotok dan berjalan kaki sekitar 600 meter, sambil
sesekali melihat perjuangan motoris mengemudikan perahu klotok berusaha lolos
dari pusaran arus air yang deras. Tapi bagi yang punya hobi arung jeram,
tantangan Riam Mengkikit tampaknya boleh dicoba, namun sekali lagi resiko
ditanggung penumpang, karena dalam tiket perjalanan tak akan pernah dijumpai
logo Jasa Raharja.
Warga setempat masih menjadikan Klotok sebagai ujung tombak transportasi |
Tiba
di Tumbang Samba, tersedia banyak pilihan kendaraan roda empat menuju Kasongan
(ibukota Kabupaten Katingan) dengan waktu tempuh 1,5 jam. Dari Kasongan,
perjalanan melewati jalan aspal mulus dan relatif lurus menuju Palangkaraya
selama 1,5 jam, seperti mengobati rasa lelah perjalanan menyusuri sungai,
hingga akhirnya tiba di Palangkaraya sekitar jam 7 malam.
Dari
sekian celotehnya, dalam hati hanya mampu berujar “luar biasa”, betapa tidak,
untuk menempuh perjalanan dari ibu kota kecamatan hingga tiba di ibukota
propinsi, sang teman dan para penumpang lainnya harus memerlukan waktu tempuh
lebih dari 12 jam. Kalau di pulau Jawa, waktu tempuh itu setara dengan
perjalanan dari Banten menuju Semarang melewati beberapa propinsi menggunakan ular
besi atau mobil.
Marikit, 20/6 2012.
Posting Komentar