Tandak & Kaharingan di Katingan (Kaharingan Bag.I)

Jumat, 22 Juni 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

"Ajat Temuai Datai" Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu
Perjalanan menuju ujung utara kabupaten Katingan kemarin, bukan hanya rekreasi biasa atau sekedar hunting objek seperti masaku yang dulu masih berjibaku dengan lensa kamera resolusi tinggi. Perjalanan tersebut merupakan perjalanan sakral bagi seorang wartawan sepertiku, bagaimana tidak, dari sekian wartawan yang ada tak semuanya bisa bergabung bersama rombongan, bisa dibilang ini merupakan liputan eksklusif untuk sebuah acara penting bagi salah satu suku di negeri ini.

Meraka memberikan tajuk acara ini, "Festival Tandak Intan Kaharingan". Yang menjadikan acara ini sepesial adalah peserta yang ikut serta meramaikan perhelatan tersebut, dari semua kecamatan yang ada di kabupaten Katingan, kesemuanya mengirimkan kontingennya masing-masing. Dari sekilas info yang ku dapat, acara ini merupakan acara rutin yang digelar oleh Suku Dayak yang masih berpegang teguh dengan agama/kepercayaan Kaharingan.

Menyebut kata Dayak, kemungkian besar semua orang akan tahu. Namun bagaimana jika mendengar "Kaharingan", aku yakin istilah ini masih asing bagi kebanyakan orang, tak terkecuali bagiku yang belum lama menginjakkan kaki di tanah Tambun Bungai (Kalimantan Tengah) ini. Dari sekian penduduk lokal serta berbagai sumber yang ku dapat, ternyata Kaharingan merupakan agama/kepercayaan suku Dayak Ngaju di Kalteng dan suku Dayak lain di tanah Borneo.

Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terlupakan, terabaikan, terpinggirkan dan juga mengalami diskriminasi. Bagi sebagian orang,  Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo (agama lama),  Agama Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek-moyang), namun bagi sebagian orang lainnya, Kaharingan dianggap sebagai agama tidak jelas atau bahkan sesat. nah, bagian terakhir inilah yang bisa memicu konflik.

Acara bertandang bersama rombongan ini takkan ku lewatkan begitu saja, kebiasaan lama banyak bicara saat masih berorganisasi dikampus dulu, ku ubah menjadi banyak tanya dan mendengar penuturan seorang "Basir" atau pemuka adat setempat. Sekitar sejam aku ngobrol dengan pemilik nama Bede ini, namun segudang pengetahuan baru yang ku dapat darinya.

Ia menjelaskan jika agama Kaharingan itu percaya pada satu Tuhan yang disebut dengan nama Ranying Hattalla (Tuhan Yang Maha Esa). Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Orang Kaharingan menggunakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan untuk melakukan pertemuan atau semacam ibadah, ibadah rutin orang Kaharingan dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Baru-baru ini di kecamatan Marikit sendiri telah dibangun Balai Basarah yang dinamai "Penyambung Untung", diresmikan langsung oleh bupati Katingan, Duwel Rawing.

Untuk melakukan ritual, orang-orang Kaharingan menggunakan sejumlah kitab suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan, dari sekian kitab suci dan ritual orang Kaharingan diataranya; Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Buku Penyumpahan/Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan., dan Pemberkatan Perkawinan. Sedangakan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah.

Selain itu, orang Kaharingan menjadikan Pohon Batang Garing dan beberapa bagian yang terdapat didalamnya seperti Buah Batang Garing, Buah Garing, Burung Enggang dan Matahari sebagai filosofi, pohon ini berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.

Buah Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu.

Buah Garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Disinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.

Dengan demikian orang-orang Kaharingan diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lewu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.

Pada bagian puncak terdapat Burung Enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit (Tuhan YME) yang merupakan sumber segala kehidupan.

Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.

Dari penuturan pak Bede ini, otomatis menambahku makin respekdan menghargai kepercayaan lokal tersebut. Alasanku sederhana, yakni sikap dan ajarannya yang sangat berpihak dengan alam. Pelanggaran yang dilakukan akan mengakibatkan rusaknya keseimbangan alam beserta mahluk yang hidup di dalamnya juga secara langsung dan tidak langsung akan mengganggu kelompok masyarakat lainnya.

#Pengakuan dosa penulis

Sebelumnya penulis tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang budaya Dayak maupun ajaran Kaharingan. Jurnal ini sepenuhnya dibuat berdasarkan obrolan warung kopi dan beberapa sumber yang ada, kemudian dirangkai dengan bahasa dan pemahaman versi penulis sendiri.

Jurnal ini dipublikasikan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan mengenalkan keberagaman budaya Nusantara. Budaya,  kepercayaan ataupun agama lokal bisa jadi sudah punah, namun sejarah hendaknya jangan dilupakan. Bagi penulis, Mempelajari budaya lama bukan berarti kembali ke kehidupan primitif, tapi menghargai perjalanan hidup. Semoga bermanfaat.

Katingan; 21/6 2012.
Sambungan...
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger