Kaharingan Masa Pendudukan
Nama Kaharingan sebagai nama agama mulai dipakai secara luas pada masa pendudukan Jepang. Tentu saja cukup menarik untuk dicatat bahwa justru pemerintahan asing lebih menaruh perhatian terhadap agama lokal. Kepedulian dan perhatian dari pemerintah pendudukan Jepang ini sepertinya disebabkan karena adanya kesamaan dengan kondisi di negara mereka sendiri yaitu memberikan tempat terhormat pada agama lokal. Tentu saja kepedulian mereka juga bisa jadi karena motif politik. Apapun sebab dan alasannya yang jelas keberadaan agama ini diakui secara resmi oleh pemererintahan saat itu.
Kaharingan Di Masa Sekarang
STAH-TP di Jl G. Obos Palangka Raya, Kalimantan Tengah |
Pada era Kemerdekaan, pemerintah hanya mengakui 5 agama sebagai agama resmi di Indonesia. Keberadaan agama lokal, praktis menjadi tersisihkan di negerinya sendiri. Diskriminasi dan berbagai kendala sepertinya terlalu banyak untuk ditulis. Contoh mudah adalah dalam pembuatan KTP, praktis tidak ada ruang yang tersisa untuk agama lokal.
Tahun 1980, para penganutnya berintegrasi dengan agama Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Integrasi spertinya dilakukan tidak lebih karena faktor “keterpaksaan” saja.
Menurut sejumlah catatan dan berita yang ada, dewasa ini penganut agama Kaharingan sepertinya semakin banyak dan meluas. Selain suku Dayak Ngaju, Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang, Dayak Meratus di Kalsel, Dayak Tunjung dan Benuaq di Kaltim juga menyebut agama mereka Kaharingan. Di Kalbar ada Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai, yang menggelar upacara Tiwah.
Badan Pusat Statistik Kalteng tahun 2007 mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan, memiliki 212 Balai Basarah (data tahun 2006). Mereka juga memiliki Organisasi Alim Ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Saat ini mereka telah memiliki sekolah tinggi agama yaitu STAHN-TP (Sekolah TInggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang) Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Pembinaan umat mulai dari desa hingga provinsi, mendidik guru agama, dan mencetak buku agama mulai dari SD hingga perguruan tinggi, mengadakan Festival Tandak, seperti Musabaqah Tilawatil Quran dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi), serta membangun kompleks pemakaman dan Sandung.
Diskriminasi:
Diskriminasi adalah hal yang umum dan biasa ditemukan pada agama lokal. Dengan berinterkasinya agama Kaharingan menjadi Hindu Kaharingan maka sebagian kecil dari kasus diskriminasi bisa diminimalkan. Namun tentu saja, integrasi ini sepertinya bukanlah pilihan yang ideal karena sesungguhnya antara Hindu dan Kaharingan adalah dua kepercayaan yang berbeda.
Sangat ironis tentu saja bahwa penghargaan justru mereka dapatkan dari pihak luar yaitu orang asing, peneliti atau kalangan antropologis yang mampu memberikan tulisan dan info lengkap tetang agama primitif ini. Para peneliti ini pada awalnya menggunakan istilah Agama Ngaju (Ngaju Religion) untuk agama lokal tersebut sebelum nama Kaharingan resmi digunakan. Kemudian pengakuan dan penghargaan terbesar didapatkan pada masa pemeritah pendudukan Jepang dengan memberikan pengakuan dan perlindungan resmi pada agama ini.
Sumber; Dongeng Budaya
+ komentar + 2 komentar
Tulisan aneh
mohon petunjuk dan pencerahanya pak,
Terimakasih atas kunjungannya dan salam kenal,...
Posting Komentar