Beginilah jalan di negeriku,...Hujan reda pengendara sengsara |
Dua puluh tahun lalu... Aku akan berteriak kegirangan, buka baju lalu melompat keluar rumah. Sambil tak lupa menyanyikan lagu kebangsaan, "Uruk-uruk udan gede ana lele mlebu bale..."
Sepuluh tahun lalu... Aku akan tersenyum bahagia, apalagi saat pulang sekolah, karena ada kesempatan bonceng pacar lebih lama dan mengharap hujan tak segera reda. lalu berucap pelan, "beib...berteduh yuk, hujan turun makin kenceng."
Sekarang... Hujan tak lagi mampu membuatku atau orang-orang di sekitarku berbisik. Bukan karena tidak ada niat atau kesempatan, namun karena berteriak pun seolah sia-sia saja tak pernah sampai ke telinga para penguasa negeri ini. Di bumi Kalimantan yang kaya akan energi, namun listrik dan BBM merupakan barang langka. Saat musim hujan tiba, listrik padam berhari-hari sudah tak perlu dipertanyakan lagi.
Mereka yang hidupnya sudah tergantung pada listrik, mau tak mau harus menyiapkan genset. Padahal BBM susah sekali didapat. SPBU Pertamina satu kabupaten cuma ada satu. Untuk beli bensin 20 liter saja harus antri berjam-jam. Kalaupun ada di pertamini, harga ecerannya antara 8 sampai 10 ribu perak perliter.
Disini perumahan yang memelihara genset, rata-rata butuh bensin atau solar 10 liter perhari. Itu artinya pengeluaran satu hari hanya untuk listrik sekitar 80 - 100 ribu. Padahal tiap hari ribuan ton batubara Kalimantan dikeruk dan dikirim ke Jawa untuk menyuplai PLTU. Makanya aku setuju dengan demo para gubernur Kalimantan beberapa waktu lalu yang melarang tongkang batubara beroperasi selama kuota BBM untuk Kalimantan tidak ditambah.
Selain masalah listrik, hujan juga menyusahkan prasarana transportasi. Jalanan antar kota yang sebagian besar masih jalan tanah, hancur berantakan saat diguyur hujan. Efeknya sudah jelas. Semua bidang kehidupan disini jadi berbiaya tinggi. Saudara-saudara kita di Jawa, melihat jalur pantura yang sedikit berlubang-lubang saja sudah sedemikian ngomelnya. Bagaimana kalo mereka menemukan jalan seperti di Kalimantan sini..?
Sebuh ironi yang menyakitkan... Di saat pemerataan pembangunan tidak seimbang dengan penjarahan sumber daya alamnya, kita masih saja dituntut untuk mempertahankan nasionalisme. Tidakkah mereka pikirkan bahwa di daerah perbatasan, kehidupan masyarakatnya lebih banyak bergantung ke negara tetangga. Apa artinya pemerintah membagikan tabung gas 3 kg secara gratis, bila isi ulangnya susah didapat karena kesulitan transportasi.
Jangan salahkan masyarakat yang akhirnya memilih nyebrang perbatasan untuk membeli elpiji petronas. Tidakkah penguasa melihat betapa sakit hatinya kita melihat semua ketimpangan itu, sementara di sebrang patok perbatasan kelihatan jalan-jalan mulus dan kota yang rapi milik Malaysia.
Sudahlah... Tak akan ada habisnya membicarakan penguasa negeri ini, mungkin benar apa kata Katon di dalam salah satu syairnya,...
...Hujan basah diluar sana
Termanggu aku dalam renjana
Oh, semoga reda ‘kan menjelang
...perih seharusnya
rindu sebenarnya
andai kita mampu bertahan
dengan mengerti tanpa alasan semua ini
takkan terjadi dan kini sesalku meraja
terciptalah doa...
Begitulah... Telah luntur kecintaanku pada hujan dan wangi tanah basahnya, Dan sejujurnya sejak resmi putus sama sang kekasih tahun lalu pun aku sudah mulai tak menyukai hujan Saat hujan turun.
Sebelumnya... Saat bertandang ke kostnya dulu, aku suka berbisik mesra, "hujan turun lagi, beib..." Kadang doi balas menatap lembut sambil mendesah, "hmmmm..." Tapi kayaknya lebih sering doi melompat dari tempat duduk, "hadeuh jemuran, beib... bantuin angkatin dong..."
Posting Komentar