Otak Mesum Anak Zaman Sekarang

Minggu, 26 Agustus 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Bimbingan orang tua, resiko ditanggung penumpang

Menepati janji untuk melanjutkan jurnal sebelumnya (Baca; Di Kejar Si Ratu BelanjaSampai Palangkaraya), namun kali ini bukan membahas ramenya bersama sahabat semasa kuliah dulu “Elisabeth Davina Resti”, bersamanya selama dua hari dua malam tentu ribuan cerita tertorehkan, namun dari sekian banyak cerita aku lebih tertarik dengan pembahasan tentang anak-anak didiknya yang menurutnya sebagian besar ber-otak mesum alias omes.

Padahal bila aku mengingat apa yang ada di keluargaku, seharusnya Beth tak perlu ketakutan soal itu. Terus terang saja aku dibesarkan di keluarga yang sangat terbuka walau orang tuaku termasuk tokoh agama dengan lingkungan agamis dalam setiap sendi kehidupannya. Dalam banyak hal, orang tuaku lebih banyak memposisikan diri sebagai teman daripada orang tua yang otoriter. Banyak hal dengan mudah aku diskusikan dengan mereka, termasuk soal seks sejak aku masih SMP (karena aku menolak masuk MTs di Islamic Center, yayasan milik Kakek buyut kami).

Tak pernah ada larangan untuk pacaran atau bergaul dengan banyak lawan jenis, terbukti dengan seringnya kawan-kawan perempuanku datang kerumah tanpa harus segan dan sungkan, itu tak lebih karena kami menciptakan rumah sebagai tempat perlindungan, bukannya rumah angker penuh dengan aturan kolot masa lampau yang menurut kami sudah tak lagi relevan dengan zaman.

Hal semacam inilah yang membuat anak-anaknya jadi tak sungkan ketika membicarakan habis ciuman dengan pacarnya misalnya. Karena pengungkapan itu berasal dari si anak, orang tua akan lebih mudah untuk menjelaskan tentang ciuman dan akibatnya bila sampai kebablasan. Mengenai kehamilan dan tanggungjawabnya juga disampaikan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Di akhir obrolan baru disampaikan soal aturan-aturan secara keagamaan.

Pelarangan atau pengendalian secara ketat tanpa diberikan gambaran yang jelas dalam bahasa yang dipahami, menurutku justru memancing rasa penasaran mereka. Ketika orang tua tak bisa diajak bicara tentang itu, akhirnya mereka mencari jawaban di luaran. Dan payahnya suka salah informasi dan menganggap seks itu sekedar soal rekreasi. Bukannya sebagai sarana reproduksi yang bertanggungjawab untuk meneruskan kelangsungan hidup manusia. Apalagi dengan adanya luberan informasi katrok dari media masa seperti saat ini, bukannya mendidik menjadi benar. Tapi justru memancing mereka untuk mencoba arah yang salah.

Penanaman nilai agama secara ketat pun menurutku tidak menjamin. Terutama bila mengingat media yang kurang mendukung secara penuh. Teramat banyak bukti di sekitar kita, anak yang di rumah begitu penurut dan baik-baik saja, tapi begitu di luar rumah bagai kuda lepas dari ikatan. Tak heran bila orang tua seringkali shock begitu anaknya ketahuan penggemar narkoba atau hamil. Yang disalahkan selalu orang lain yang dianggap mengajak berbuat tidak baik. Padahal kesalahan itu dominan di orang tua yang tidak mampu komunikatif terhadap anak, termasuk hal-hal yang sensitif. Dan itu teraplikasi pada diriku hingga kini. Buktinya, dari sekian pacar yang pernah bersamaku, tak ada satupun yang sampai hamil,hehe.

Padahal seharusnya kita menyadari bahwa manusia selalu memiliki rasa penasaran terhadap hal-hal yang belum kita ketahui. Seperti halnya aku dulu suka cewek pakai jilbab, bukan karena masalah agamanya. Melainkan karena rasa penasaran itu. Ketika melihat cewek pakai bikini, aku akan cuek bebek orang dah kelihatan wujud aslinnya begitu. Tapi ketika ada cewek yang tertutup rapat, imajinasiku akan liar membayangkan kayak apa sih dalemannya. Rambutnya panjang atau gundul. Kulitnya mulus atau panuan. Dan sebagainya. Maaf bukan sara. Hanya sebagai contoh tentang rasa penasaran.

Jadi kesimpulannya, tak perlulah pusing-pusing blokir ini itu selama orang tua masih bisa menjadi teman bicara anak. Jadilah pendengar pertama ketika anak mulai memikirkan sesuatu yang berubah tentang dirinya. Kuncinya ngga sulit kok. Mau terbuka dan tidak kagetan ketika mendengar cerita yang dianggap tak pantas.
Rame-rame jaman semono; Me, Beth, dkk...

Menurutku, keterbukaan itu bisa mulai dipelajari bersama pasangan sejak awal menikah. Sehingga bila punya anak nanti, kita tak akan kesulitan untuk memulainya. Intinya, Hal yang tabu mending dipelajari di rumah dalam pengawasan. Daripada dilakukan di luar rumah entah dengan siapa. Itu saja, cukup sekian dan terimakasih. Wassalam.

Kasongan, 26/8 2012.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger