#Bimbingan
orang tua, resiko ditanggung penumpang
Menepati
janji untuk melanjutkan jurnal sebelumnya (Baca; Di Kejar Si Ratu BelanjaSampai Palangkaraya), namun kali ini bukan membahas ramenya bersama sahabat
semasa kuliah dulu “Elisabeth Davina Resti”, bersamanya selama dua hari dua
malam tentu ribuan cerita tertorehkan, namun dari sekian banyak cerita aku
lebih tertarik dengan pembahasan tentang anak-anak didiknya yang menurutnya
sebagian besar ber-otak mesum alias omes.
Padahal
bila aku mengingat apa yang ada di keluargaku, seharusnya Beth tak perlu
ketakutan soal itu. Terus terang saja aku dibesarkan di keluarga yang sangat
terbuka walau orang tuaku termasuk tokoh agama dengan lingkungan agamis dalam
setiap sendi kehidupannya. Dalam banyak hal, orang tuaku lebih banyak
memposisikan diri sebagai teman daripada orang tua yang otoriter. Banyak hal
dengan mudah aku diskusikan dengan mereka, termasuk soal seks sejak aku masih
SMP (karena aku menolak masuk MTs di Islamic Center, yayasan milik Kakek buyut
kami).
Tak
pernah ada larangan untuk pacaran atau bergaul dengan banyak lawan jenis,
terbukti dengan seringnya kawan-kawan perempuanku datang kerumah tanpa harus
segan dan sungkan, itu tak lebih karena kami menciptakan rumah sebagai tempat
perlindungan, bukannya rumah angker penuh dengan aturan kolot masa lampau yang
menurut kami sudah tak lagi relevan dengan zaman.
Hal
semacam inilah yang membuat anak-anaknya jadi tak sungkan ketika membicarakan
habis ciuman dengan pacarnya misalnya. Karena pengungkapan itu berasal dari si
anak, orang tua akan lebih mudah untuk menjelaskan tentang ciuman dan akibatnya
bila sampai kebablasan. Mengenai kehamilan dan tanggungjawabnya juga
disampaikan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Di akhir
obrolan baru disampaikan soal aturan-aturan secara keagamaan.
Pelarangan
atau pengendalian secara ketat tanpa diberikan gambaran yang jelas dalam bahasa
yang dipahami, menurutku justru memancing rasa penasaran mereka. Ketika orang
tua tak bisa diajak bicara tentang itu, akhirnya mereka mencari jawaban di
luaran. Dan payahnya suka salah informasi dan menganggap seks itu sekedar soal
rekreasi. Bukannya sebagai sarana reproduksi yang bertanggungjawab untuk
meneruskan kelangsungan hidup manusia. Apalagi dengan adanya luberan informasi
katrok dari media masa seperti saat ini, bukannya mendidik menjadi benar. Tapi
justru memancing mereka untuk mencoba arah yang salah.
Penanaman
nilai agama secara ketat pun menurutku tidak menjamin. Terutama bila mengingat
media yang kurang mendukung secara penuh. Teramat banyak bukti di sekitar kita,
anak yang di rumah begitu penurut dan baik-baik saja, tapi begitu di luar rumah
bagai kuda lepas dari ikatan. Tak heran bila orang tua seringkali shock begitu
anaknya ketahuan penggemar narkoba atau hamil. Yang disalahkan selalu orang
lain yang dianggap mengajak berbuat tidak baik. Padahal kesalahan itu dominan
di orang tua yang tidak mampu komunikatif terhadap anak, termasuk hal-hal yang
sensitif. Dan itu teraplikasi pada diriku hingga kini. Buktinya, dari sekian
pacar yang pernah bersamaku, tak ada satupun yang sampai hamil,hehe.
Padahal
seharusnya kita menyadari bahwa manusia selalu memiliki rasa penasaran terhadap
hal-hal yang belum kita ketahui. Seperti halnya aku dulu suka cewek pakai
jilbab, bukan karena masalah agamanya. Melainkan karena rasa penasaran itu.
Ketika melihat cewek pakai bikini, aku akan cuek bebek orang dah kelihatan
wujud aslinnya begitu. Tapi ketika ada cewek yang tertutup rapat, imajinasiku akan
liar membayangkan kayak apa sih dalemannya. Rambutnya panjang atau gundul.
Kulitnya mulus atau panuan. Dan sebagainya. Maaf bukan sara. Hanya sebagai
contoh tentang rasa penasaran.
Jadi
kesimpulannya, tak perlulah pusing-pusing blokir ini itu selama orang tua masih
bisa menjadi teman bicara anak. Jadilah pendengar pertama ketika anak mulai
memikirkan sesuatu yang berubah tentang dirinya. Kuncinya ngga sulit kok. Mau
terbuka dan tidak kagetan ketika mendengar cerita yang dianggap tak pantas.
Rame-rame jaman semono; Me, Beth, dkk... |
Menurutku,
keterbukaan itu bisa mulai dipelajari bersama pasangan sejak awal menikah.
Sehingga bila punya anak nanti, kita tak akan kesulitan untuk memulainya.
Intinya, Hal yang tabu mending dipelajari di rumah dalam pengawasan. Daripada
dilakukan di luar rumah entah dengan siapa. Itu saja, cukup sekian dan
terimakasih. Wassalam.
Kasongan,
26/8 2012.
Posting Komentar