Sumber; Ist |
Ada beberapa kawan kompasioner (Baca; Budaya Mundur Budaya Terhormat) dan juga tak sedikit para penulis di republik ini menulis tentang Budaya Mundur. Tetapi kenyataannya tulisan mereka kalah banyak dengan pemimpin yang ”muka
gedek” alias ”muka tembok”. Meskipun banyak pejabat yang gagal dalam
kerja kinerjanya, mereka tidak mau mundur, bahkan berusaha melanggengkan
jabatan dan kekuasaan. Apakah budaya mundur itu jelek? Justru budaya
mundur itu memberikan refleksi suatu keyakinan dan karakter seorang
pemimpin.
Misalnya: Bung Hatta mundur dari Wakil Presiden karena tidak serasi
dengan Bung Karno. Bung Hatta memilih mundur, itulah karakter yang
dipahami dan disegani oleh rakyat. Karena Bung Hatta mundur justru
memberi peluang untuk tidak menciptakan konflik dengan Presiden (Bung
Karno).
Diluar negeri banyak pemimpin yang mundur dari jabatannya. Di Inggris
misalnya, beberapa Menteri mundur karena tidak sanggup atau gagal
melaksanakan kerja dan kinerjanya. Di Jepang, di Korea Selatan, di
Belanda bahkan di Amerika Serikat demikian juga. Dan baru-baru ini
Gubernur dan Wakil Gubernur di RRC mengundurkan diri karena tidak mampu
menyelesaikan masalah sosial di wilayahnya. Mereka mundur tidak sampai
pada proses hukum di pengadilan. Karena mundur adalah budaya yang
menyangkut karakter dan akhlak seorang pemimpin. Itu sebabnya tidak
perlu takut lagi dengan budaya mundur.
Sumber; Ist |
Menjelang reformasi Tahun 1998, 14 Menteri menyampaikan mundur dari
Kabinet Pak Harto. Bahkan sebelumnya dimulai dari Menteri Abdul Latief
mundur, dan akhirnya Presiden Soeharto pun juga mundur. Ini menunjukkan
bahwa budaya mundur tidak perlu ditakutkan. Setelah reformasi justru
banyak pemimpin yang enggan mundur. Secara hukum memang memerlukan
proses.
Bukan masalah hukum saja, tetapi menyangkut masalah karakter dan
sanksi sosial. Memiliki watak keberanian. Perlu budaya mundur,
lebih-lebih banyak pemimpin yang terlibat dalam masalah korupsi dan
pemimpin-pemimpin yang tidak becus menyelesaikan kerja dan kinerjanya
dan tak dipercaya lagi oleh rakyat. Banyak pemimpin yang harus mundur
jika dilihat dari kerja dan kinerjanya dan masalah perilakunya. Meskipun
masih menunggu proses hukum, tetapi sanksi sosial lebih berat lagi.
Contoh: Setiap hari kita melihat di mass media, pemimpin-pemimpin
kita yang kerja dan kinerjanya ditanggapi oleh rakyat dengan berbagai
pandangan. Bahkan pandangan yang paling berani adalah rakyat ”meminta
mundur beberapa pejabat yang ada di Pemerintahan sekarang”.
Siapa takut, dikatakan pemimpin mundur. Menteri mundur toh dalam
masyarakat akan dikenang sebagai: Menteri yang mundur. Jika ada
singkatan Meneg (Menteri Negara), maka justru Menteri yang mundur bisa
disingkat sebagai Menmun (Menteri Mundur). Bisa disingkat juga sebagai
Mendur (Menteri Mundur). Tetapi penulis lebih cocok disingkat Menmun.
Karena kata Menmun adalah merupakan nama tokoh Wartawan IPPHOS yang
mengabadikan perjuangan zaman kemerdekaan hingga proklamasi. Yang cocok
adalah Menmun, sehingga bisa disingkat ”mantan Meneg yang Menmun”.
Sumber; Ist |
Rakyat malu memiliki pemimpin-pemimpin yang tidak berkarakter.
Seharusnya Menteri yang bersangkutan jangan malu terhadap dirinya
sendiri. Menteri mana yang mau mundur? Silahkan! Tidak perlu takut,
karena ”budaya mundur” adalah merupakan keyakinan dari seorang pemimpin.
Kapan mereka merasa malu dan mundur?
Palangkaraya, 25/8 2012
Posting Komentar