#Sejarah
Perjuangan Bangsa
Mungkin
akan sedikit terdengar jumawa, tetapi ku rasa sangat tidak berlebihan jika aku
bilang pada kalian, “jangan lagi kau tanyakan jiwa Nasionalismeku,” (lihat
sedikit ulahku semasa kuliah dulu; Aku Rindu Menara Gading Itu).
Tetapi
entah kenapa beberapa hari terakhir ini aku merasa kangen untuk menonton
kisah-kisah heroik yang banyak di putar di tipi-tipi
(EYD; TV) jadul menjelang peringatan-peringatan khusus republik ini. Sebagai
obat penawar romantisme masa perjuangan, iseng-iseng saja aku berselancar
menggunakan searching engine ter-ganal (Bahasa
dayak bos, artinya besar) di jagat maya.
Seusai
memenuhi kewajiban pada redaksi, dua jam bersama mbah google aku ubek-ubek kisah-kisah perjuangan bangsa. Salah satu
hasil googling yang menarik buatku adalah film Kereta Api Terakhir, yang dulu tak pernah absen muncul di layar
kaca TVRI dan TPI (sekarang MNC TV), entah sekarang? Karena sering merasa
dikibulin tipi, malas rasanya berlama-lama nongkrong di depannya.
Waktu
masih jaya-jayanya TVRI dan TPI yang rutin memutar film perjuangan, film
produksi PPFN bareng PJKA ini merupakan salah satu favoritku. Pandir Kelana sebagai penulis novel yang
diangkat ke film ini memang sudah tak diragukan lagi kualitasnya. Beliau yang
punya nama asli RM Slamet Danusudirjo ternyata pensiunan prajurit pejuang
dengan pangkat terakhir Mayor Jendral.
Pengalaman
Slamet sebagai pejuang kemerdekaan dikolaborasikan dengan kapasitasnya sebagai
rektor Institut Kesenian Jakarta gimana ngga
dahsyat penghayatannya, ketika divisualisasi ke layar lebar, penyutradaraannya
diserahkan Moechtar Soemodimedjo. Wajar bila hasilnya mampu mengaduk-aduk
perasaan. (hayo, siapa yang pernah nangis menontonnya?).
Saat
nonton ulang di yutub (di eja dari; Youtube) kemarin pun, rasanya dalam dada
masih sama seperti 15 tahun lalu. Bahkan lebih berasa nendang. Waktu aku kecil
dulu, cuma ada rasa semangat dan terpingkal-pingkal saja. Baru sekarang aku
bisa merasakan sisi romansanya antara Letnan Firman dan Retno yang ternyata
salah orang. Dulu mana kepikiran dengan potongan cerita dewasa itu. Pengennya
acara ngobrol dipotong disisakan pertempurannya saja.
Ada
yang mak sreset (nah, yang ini susah
nyari padanan katanya) dalam hati mendengar lagu-lagu yang menjadi soundtrack
filmnya. Pas bener Gito Rollies membawakannya dengan suara serak-serak mendayu.
Apalagi pada lagu Rindu Lukisan.
Anjrittt
(duh, klo udah kebawa emosi kaya gini
entar-entar ajalah revisi bahasanya.
Itu mah kalo inget,hehe…sementara pake ketik miring dulu. Yang penting ku lanjut dulu nulisnya, yang mau tetep
ngebaca,…sumonggo mawon), beneran melayang angan terhanyut suasana cinta di
masa perang.
Alur
kisah yang berlatarbelakang pelanggaran Perjanjian Linggarjati oleh Belanda itu
sebenarnya teramat sederhana. Cuma cerita tentang perjalanan kereta api
terakhir dari 5 kereta yang akan diselamatkan ke Jogja dari stasiun Purwokerto.
Nasib kereta api terakhir itu tak sebaik 4 kereta yang diberangkatkan terlebih
dulu. Karena kesiangan, kereta tersebut selalu dihalang-halangi Belanda dengan
serangan pesawat mustang atau lebih dikenal dengan nama cocor merah.
Di
masa itu kereta api merupakan tulang punggung transportasi darat. Sehingga
wajar bila Belanda ingin merebutnya. Berkali-kali rel dibom agar kereta tak
bisa mencapai Jogja. Dengan gigih pejuang kereta api memperbaikinya walau terus
dihujani peluru. Terasa mengharu biru saat Mandor Sastro tertembak dan minta
dikuburkan di bawah rel supaya melihat setiap kereta yang lewat.
Bolak-balik
pula aku nyengir, seperti waktu Sersan Tobing dikasih hadiah gitar oleh Kolonel
Gatot Subroto. Sersan Batak yang lihai nyanyi keroncong terbengong-bengong
disuruh nyanyiin Gudril, musik tradisional Banyumasan yang biasanya diiringi
gamelan atau calung. Atau waktu adegan pasar Kroya dibom. Pedagang nasi yang
diperankan Mak Wok mencari-cari suaminya yang ngumpet. Ternyata bukan
bersembunyi, melainkan lagi cukur rambut. Baru dapat separo tukang cukurnya
kabur takut kena bom.
Ngakak
parah di scene Stasiun Sumpiuh. Dapat berita dari Stasiun Kroya kalo gerbong
terakhir bakal kebakar, pasukan pemadam disiapkan. Padahal gerbong yang
terbakar sudah dilepas sebelum meledak. Lucunya dimana, simak saja potongan
clip dibawah. Tapi maaf, buat yang kurang paham bahasa Jawa mungkin kurang najong.
Selanjutnya…bersambung
(wajarlah, koneksi gratisan di pedalaman)
Posting Komentar