Kenangan Itu Bersama Kereta Api

Minggu, 09 September 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Sejarah Perjuangan Bangsa

Mungkin akan sedikit terdengar jumawa, tetapi ku rasa sangat tidak berlebihan jika aku bilang pada kalian, “jangan lagi kau tanyakan jiwa Nasionalismeku,” (lihat sedikit ulahku semasa kuliah dulu; Aku Rindu Menara Gading Itu).

Tetapi entah kenapa beberapa hari terakhir ini aku merasa kangen untuk menonton kisah-kisah heroik yang banyak di putar di tipi-tipi (EYD; TV) jadul menjelang peringatan-peringatan khusus republik ini. Sebagai obat penawar romantisme masa perjuangan, iseng-iseng saja aku berselancar menggunakan searching engine ter-ganal (Bahasa dayak bos, artinya besar) di jagat maya.

Seusai memenuhi kewajiban pada redaksi, dua jam bersama mbah google aku ubek-ubek kisah-kisah perjuangan bangsa. Salah satu hasil googling yang menarik buatku adalah film Kereta Api Terakhir, yang dulu tak pernah absen muncul di layar kaca TVRI dan TPI (sekarang MNC TV), entah sekarang? Karena sering merasa dikibulin tipi, malas rasanya berlama-lama nongkrong di depannya.

Waktu masih jaya-jayanya TVRI dan TPI yang rutin memutar film perjuangan, film produksi PPFN bareng PJKA ini merupakan salah satu favoritku. Pandir Kelana sebagai penulis novel yang diangkat ke film ini memang sudah tak diragukan lagi kualitasnya. Beliau yang punya nama asli RM Slamet Danusudirjo ternyata pensiunan prajurit pejuang dengan pangkat terakhir Mayor Jendral.

Pengalaman Slamet sebagai pejuang kemerdekaan dikolaborasikan dengan kapasitasnya sebagai rektor Institut Kesenian Jakarta gimana ngga dahsyat penghayatannya, ketika divisualisasi ke layar lebar, penyutradaraannya diserahkan Moechtar Soemodimedjo. Wajar bila hasilnya mampu mengaduk-aduk perasaan. (hayo, siapa yang pernah nangis menontonnya?).

Saat nonton ulang di yutub (di eja dari; Youtube) kemarin pun, rasanya dalam dada masih sama seperti 15 tahun lalu. Bahkan lebih berasa nendang. Waktu aku kecil dulu, cuma ada rasa semangat dan terpingkal-pingkal saja. Baru sekarang aku bisa merasakan sisi romansanya antara Letnan Firman dan Retno yang ternyata salah orang. Dulu mana kepikiran dengan potongan cerita dewasa itu. Pengennya acara ngobrol dipotong disisakan pertempurannya saja.

Ada yang mak sreset (nah, yang ini susah nyari padanan katanya) dalam hati mendengar lagu-lagu yang menjadi soundtrack filmnya. Pas bener Gito Rollies membawakannya dengan suara serak-serak mendayu. Apalagi pada lagu Rindu Lukisan.

Anjrittt (duh, klo udah kebawa emosi kaya gini entar-entar ajalah revisi bahasanya. Itu mah kalo inget,hehe…sementara pake ketik miring dulu. Yang penting ku lanjut dulu nulisnya, yang mau tetep ngebaca,…sumonggo mawon), beneran melayang angan terhanyut suasana cinta di masa perang.


Alur kisah yang berlatarbelakang pelanggaran Perjanjian Linggarjati oleh Belanda itu sebenarnya teramat sederhana. Cuma cerita tentang perjalanan kereta api terakhir dari 5 kereta yang akan diselamatkan ke Jogja dari stasiun Purwokerto. Nasib kereta api terakhir itu tak sebaik 4 kereta yang diberangkatkan terlebih dulu. Karena kesiangan, kereta tersebut selalu dihalang-halangi Belanda dengan serangan pesawat mustang atau lebih dikenal dengan nama cocor merah.

Di masa itu kereta api merupakan tulang punggung transportasi darat. Sehingga wajar bila Belanda ingin merebutnya. Berkali-kali rel dibom agar kereta tak bisa mencapai Jogja. Dengan gigih pejuang kereta api memperbaikinya walau terus dihujani peluru. Terasa mengharu biru saat Mandor Sastro tertembak dan minta dikuburkan di bawah rel supaya melihat setiap kereta yang lewat.

Bolak-balik pula aku nyengir, seperti waktu Sersan Tobing dikasih hadiah gitar oleh Kolonel Gatot Subroto. Sersan Batak yang lihai nyanyi keroncong terbengong-bengong disuruh nyanyiin Gudril, musik tradisional Banyumasan yang biasanya diiringi gamelan atau calung. Atau waktu adegan pasar Kroya dibom. Pedagang nasi yang diperankan Mak Wok mencari-cari suaminya yang ngumpet. Ternyata bukan bersembunyi, melainkan lagi cukur rambut. Baru dapat separo tukang cukurnya kabur takut kena bom.

Ngakak parah di scene Stasiun Sumpiuh. Dapat berita dari Stasiun Kroya kalo gerbong terakhir bakal kebakar, pasukan pemadam disiapkan. Padahal gerbong yang terbakar sudah dilepas sebelum meledak. Lucunya dimana, simak saja potongan clip dibawah. Tapi maaf, buat yang kurang paham bahasa Jawa mungkin kurang najong.

Selanjutnya…bersambung (wajarlah, koneksi gratisan di pedalaman)
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger