Bakar
lahan, masyarakat juga butuh makan. Jangan hanya melarang, tapi berikan
solusi.
Kabut asap di Kasongan, Ibu Kota Kabupaten Katingan |
Kabut
asap bak agenda tahunan di Kalimantan Tengah, tak terkecuali di Kabupaten
Katingan. Kondisi ini berdampak langsung pada aktifitas masyarakat, jarak
pandang berkurang, penerbangan terganggu, masyarakat menderita Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA), dan lain-lain.
Kondisi
semacam ini merupakan permasalahan yang selalu dialami Kabupaten berjuluk Penyang Hinje Simpei dan secara umum
Kalimantan Tengah ketika musim kemarau tiba. Meski beberapa hari terakhir
Kasongan sebagai ibu kota Kabupaten Katingan diguyur hujan, tetap saja kabut
asap tak sepenuhnya hilang. Tentu saja problem kabut asap itu butuh solusi.
Dapat
dipastikan, kabut asap yang melanda wilayah Katingan dan sekitarnya diakibatkan
kebakaran lahan. Kebakaran lahan tersebut terjadi karena dua sebab, sengaja
dibakar untuk membuka lahan tempat bercocok tanam demi mengepulkan asap dapur.
Sebab lainnya diduga beberapa lokasi memang terbakar sendiri karena panasnya
suhu udara.
“Beberapa
hari terakhir memang ada beberapa warga di Tumbang Senamang yang membuka
lahannya dengan cara membakar,” ungkap Drs Bakti Gunawan, Camat Katingan Hulu
Di
lain sisi, pemerintah terkait dikabarkan telah berkali-kali mengimbau
masyarakat agar tidak membakar lahan ketika akan membuka bidang untuk bercocok
tanam. Mengingat dampak dari kabut asap itu cukup komplek, bahkan persoalan ini
sudah menjadi perhatian Nasional dan dunia Internasional.
Hanya
saja, masyarakat peladang tidak mau dijadikan kambing hitam atas masalah
tersebut. Menurut mereka, masalah tersebut tak sepenuhnya salah masyarakat.
Intinya, jika tak bercocok tanam, masyarakat mau makan apa?
Warga
Katingan hulu dan sebagian besar warga Kabupaten Katingan mengatakan pemerintah
tidak hanya cukup memberikan imbauan untuk tidak membakar lahan saja.
Pemerintah juga harus memberikan solusi nyata, karena pembakaran lahan itu
bertujuan untuk melakukan cocok tanam.
“Jangan
cuma melarang kami untuk membakar lahan saja, tapi berikan juga jalan keluar
dari masalah kami itu. Jika kami tidak membakar lahan, harus dengan cara
apalagi kami membuka lahan untuk bercocok tanam,” kata Suli di ladangnya
beberapa waktu lalu.
Selain
bertani karet, masyarakat Katingan juga membuka ladang untuk bercocok tanam.
Sejak dulu, jika musim kemarau datang banyak masyarakat yang memanfaatkan
membuka lahan yang mereka miliki untuk persiapan bercocok tanam saat musim
hujan datang.
Biasanya
mereka membuka lahan dengan cara menebasnya terlebih dahulu, baru kemudian
dibakar. Namun ada juga yang langsung membakar tanpa menebasnya terlebih
dahulu. Ini dilakukan karena hanya dengan cara ini mereka bisa membuka lahan
untuk digunakan bercocok tanam. Upaya land
clearing (pembukaan lahan) dengan membakar masih menjadi pilihan selain
murah dan cepat.
Sebenarnya
masyarakat tahu membuka lahan dengan membakar tidak baik karena menyebabkan
kabut asap.
Ungkapan
senada diungkapkan Lino, “jika membakar tidak diperbolehkan, maka dengan cara
apa lagi kami untuk bisa membuka lahan kami. Tidak mungkin kami hanya
menebasnya saja. Jika hanya ditebas, hasil tebasannya itu mau dikemanakan kalau
tidak dibakar,” tuturnya.
Oleh karena itu ia
dan beberapa rekannya berharap pemerintah mencari jalan keluar atas itu. Selain
itu, pihaknya juga berharap agar masyarakat peladang tidak disebut-sebut
menjadi sumber penyebab kabut asap yang terjadi di Katingan. “Kami butuh solusi
yang nyata, bukan cuma imbauan saja,” tutupnya seraya mengayunkan pacul.
Kasongan, 14/10 2012
Posting Komentar