Sarasehan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2009
Sarasehan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiwa UNNES |
Salah
satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping
fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial.
Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua
pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini
munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang
bersifat netral dan tidak memihak .
Pelaksanaan
hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat.
Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai
hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi
setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik,
seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Seiring
dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh
hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu.
Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya
penyerobotan tanah di beberapa daerah persengketaan tanah, konflik perburuhan yang
mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya.
Pengembalian
kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik
dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh
karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung
menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Permasalahan Hukum
Permasalahan
hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya,
perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang
sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan
hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan
masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain
(tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering
pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut
tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi
penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang
berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat
berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan
lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta)
tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan
begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang
dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan
penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh
peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas
kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam
bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya
rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang
hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan
masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.
Beberapa Kasus Inkonsistensi
Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus-kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis
mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat
awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.
1. Tingkat Kekayaan
Seseorang
Salah
satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus
korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan
PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan. PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua
tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status
tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena
untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan
yang
sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses
pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan
kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan
kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan
dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan
negara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali
tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang
menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa
pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan,
hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.
Kita
bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya
sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik
tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga
bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena
terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa
percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya
dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta
lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan
Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha,
Istana
Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang
mengalahkan dirinya.
2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus
Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan
Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D.
Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber
keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2
milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar
rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai
tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala
Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam
kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak
dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding
tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat
mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan
masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan.
Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini
sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai
komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat,
janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.
3. Nepotisme
Terdakwa
Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral
(TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun
penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke
kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis
mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan
vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan
atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga
memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
Tommy
Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena
kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara
sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan
dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan
grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat
melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar
melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy
Soeharto masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya
diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.
4. Tekanan Internasional
Kasus
Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang
menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan
cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada
Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut,
permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia,
desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo
oleh Amerika Serikat.
Tekanan
internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera
melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota
milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.
Apabila
dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di
Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus
yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat.
Dalam
enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil
dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian
internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang
terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat
tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum
dalam mengatasi kasus kekerasan.
Beberapa Akibat
Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Inkonsistensi
penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun.
Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in
the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan
satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang
terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun
bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka
memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut
ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
1. Ketidakpercayaan
Masyarakat pada Hukum
Masyarakat
meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin
dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah
jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar
tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal
pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur
pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan
hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia,
bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
Pendapat
umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di
Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai
penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak
cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil
penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan
mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan
penyidikan
dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat
maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya
mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak
berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas
persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan
disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa
kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut
pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini.
Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.
2. Penyelesaian Konflik
dengan Kekerasan
Penyelesaian
konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di
Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat
hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses
pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok,
penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh.
Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan
(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan
rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu,
melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang
menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan
juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan
tindakan pelanggaran yang sama.
Pada
beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus
Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar,
sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya.
Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi
karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan
melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut
sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam
menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut
versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si
terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera
divonis menurut aturan kelompok tersebut.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi
Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam
beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus
korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam
suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara
antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya
berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa, berubah menjadi pencari
kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya.
Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya
kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang
seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan
kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya
bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
Dengan
skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari
kebenaran dan penyelesaian masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur
untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah
yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang
miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih
tinggi.
4. Penggunaan Tekanan Asing
dalam Proses Peradilan
Campur
tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat
membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan
penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif
melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus
pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.
Namun
di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi
masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan,
gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang
menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap
pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan
mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut
dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan
politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka
dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Prioritas Penegakan Hukum
Inkonsistensi
penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah
hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk
bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan
hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai
hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik
dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi
masyarakat itu sendiri.
Pemanfaatan
inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya
sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang
setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di
masyarakat Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Melihat
penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan
harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah
(eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan
kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme
akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Selain
perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus
diperbaiki. Kasus tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa
kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya undang-undang
yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif
untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih
sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik
melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum
secara konsisten.
Daftar Pustaka:
Ali, Achmad., Pengadilan dan
Masyarakat, Hasanudin University Press, Ujung Pandang, 1999.
Doyle, Paul Johnson, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
Soemardi, Dedi, Pengantar
Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997.
Posting Komentar