OSPEK dengan berbagai metamorfosanya ternyata masih
menjadi ajang perploncoan bagi yunior oleh seniornya. Ajang balas dendam!!!
Kekerasan psikis - Apapun bentuknya, kekerasan tak dibenarkan |
Kemarin baru saja saya memenuhi undangan untuk
memberi materi pada acara ‘Kreasi’ atau dijaman saya kuliah dulu ospek-nya
jurusan/program studi. Pertama memasuki ruangan dan menyaksikan peserta kreasi,
saya sudah di sambut dengan nyanyian atau yel-yel yang sudah disiapkan untuk
menyambut para pemateri.
Sedikit aneh memang, kok budaya seperti ini masih ada. Padahal saat saya menjadi panitia OSPEK, hal semacam ini sudah kami hapuskan, selain hanya akan menyuburkan
budaya feodal, juga memperlebar jurang pemisah antara senior-yunior. Memang,
pemahaman kami waktu itu 'jangan ada senioritas diantara kita'.
Meski saya harus tetap konsentrasi dan fokus dengan
materi yang akan saya sampaikan, pandangan mata tak pernah lepas dari para
peserta yang mengenakan atribut-atribut aneh, ada semacam puluhan kuncir di
rambut, gincu di pipi dan tentunya barang-barang yang dibawa peserta ini tidak
masuk akal. Pasalnya, menurut saya barang-barang bawaan ini tak ada hubungannya
dengan yang namanya pengenalan kampus.
Seperti yang kita ketahui, OSPEK atau apapun namanya
kini, telah menjadi suatu tradisi yang melembaga sejak dahulu pada institusi
pendidikan di Indonesia seperti SMA dan Perguruan Tinggi terutama pada masa
penerimaan pelajar/mahasiswa baru. Pada dasarnya kegiatan OSPEK memiliki tujuan
mulia yakni, mempersiapkan pelajar/mahasiswa baru untuk memasuki lingkungan
pendidikan yang baru.
Lalu, Sudah
Tepatkah OSPEK Kita?
Penugasan yang tak masuk akal juga keluar konteks OSPEK |
Sejak tahun 1995an, kasus OSPEK mulai muncul di
media publik seiring dengan banyaknya korban yang terus berjatuhan. Lalu OSPEK
pun berganti-ganti baju untuk memperhalus dan memulihkan citranya sebagai ajang
penggojlokan dan perploncoan anak-anak baru.
Jika memang begini adanya, saya rasa OSPEK dan
berbagai bajunya saat ini adalah budaya ‘PEMBODOHAN’ yang terus dilestarikan
untuk memenuhi kepuasan nafsu kekuasaan dan ekspresi agresifitas sekelompok
orang semata dalam lingkungan pendidikan. Sejak dulu saya selalu menjadi bagian
kelompok orang yang bisa dikatakan paling lantang dan terus konsisten
menyuarakan penghapusan OSPEK semacam ini.
Tentu saja penentangan saya terhadap kekerasaan dan
perploncoan di dunia pendidikan ini sangat mendasar. Karena, hingga kini, OSPEK hanya
melestarikan budaya feodal dengan mewajibkan para peserta untuk ‘menghormati paksa’ senior dan
menuruti segala kehendak senior. Selain kegiatan sampah semata,
hal ini hanya terkesan memuaskan para senior yang ‘sok gila kuasa’ dan
menganggap rendah status mahasiswa baru tak lebih sebagai budaknya.
Selain itu, Pelaksanaan OSPEK selama ini yang bermaksud
menanamkan kedisiplinan dengan hukuman dan bentakan hanyalah sebuah bentuk
militerisasi dalam kampus. Ini adalah bentuk ‘KEMUNAFIKAN’ mahasiswa yang
katanya anti militerisme dalam kampus, tetapi malah melestarikan militerisme
dari waktu ke waktu.
Intermezo - Untung aja masih ada yang nampak 'bening' |
Selain penanaman nilai-nilai baru dalam waktu yang singkat
dan dalam tekanan adalah sangat ‘TIDAK EFEKTIF’ ditinjau dari
faktor psikologi. Mahasiswa yang tidak tidur ataupun kelelahan karena
mengerjakan setumpuk tugas tidak memiliki kesiapan maksimal untuk menerima
informasi baru. Bukankan ini sudah jauh melenceng dari tujuan awal,
dimana OSPEK bertujuan untuk memperkenalkan seperti apa dunia kampus.
Begitupun dengan pembuatan aneka atribut yang
aneh-aneh merupakan suatu pemborosan uang dan waktu semata, tak sebanding dengan
nilai-nilai yang ditanamkan dalam serangkaian aneka atribut tersebut. Dengan
kata lain, mubadzir dan sama sekali tidak tepat sasaran.
Terkait hukuman para senior terhadap para yuniornya,
Thorndike, seorang
ahli psikologi pembelajaran menyatakan bahwa hukuman tidak efektif untuk
meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan hukuman dan sanksi
pada OSPEK tidak akan efektif membuat seorang mahasiswa untuk menghilangkan
perilaku-perilaku buruknya.
Disadari ataupun tidak, para senior telah melakukan
kekerasan secara psikis kepada yuniornya, ini nampak pada rentetan kejadian
diatas, apalagi jika diluar sepengetahuan saya terjadi kekerasan fisik, jika
iya, sungguh tidak dibenarkan dengan alasan apapun, terlebih ini terjadi di
dunia pendidikan yang seharusnya humanis.
Tak dapat dipungkiri bahwa terkadang OSPEK merupakan
sarana balas dendam bagi senior atas perlakuan kakak kelas yang mereka alami
pada waktu dulu. Rasa dendam akan selalu muncul dalam segala perlakuan yang
menyakitkan, namun berhubung OSPEK adalah sesuatu yang dilegalkan sehingga
kesempatan membalas hanya mungkin dilakukan pada OSPEK tahun berikutnya.
Setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang
berbeda-beda, ini yang harus kita pahami, sehingga hukuman yang
serampangan ataupun perlakuan yang menekan mental pada OSPEK dapat menimbulkan
suatu ‘TRAUMA PSIKOLOGIS’ tersendiri bagi beberapa
orang. Trauma ini pada akhirnya akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan
seseorang.
Memang kenangan dalam OSPEK hanya menciptakan romantisme
tertentu ketika diceritakan beberapa waktu setelah OSPEK, namun tentunya setiap
orang tidak ingin mengalami OSPEK untuk beberapa kali lagi. Ini merupakan bukti
bahwa setiap orang tidak menginginkan OSPEK terjadi lagi dalam hidup mereka.
*Coba tanyakan juga pada mahasiswa baru tentang kesan OSPEK.
Dari sekian alasan, saya rasa ini cukup dijadikan dasar untuk
menghapuskan OSPEK dari sistem pendidikan di republik ini.
Bukankah lebih bermanfaat dan tepat sasaran jika OSPEK yang penuh kekerasan
secara fisik dan psikis ini diganti dengan pemberian informasi mengenai
lingkungan kampus dan sekitarnya, misalnya, dilakukan dalam
satu matakuliah umum dalam beberapa kali pertemuan.
Kemudian, ditindaklanjuti dengan
kegiatan-kegiatan dalam kelompok yang dipandu dan difasilitator oleh mahasiswa
yang lebih senior. Dinamika kelompok kecil akan lebih terasa dibandingkan
kelompok besar, sehingga keakraban antar mahasiswa dalam kelompok maupun antar
kelompok pun akan semakin terjalin dengan baik.
Penanaman nilai-nilai dan informasi baru sangat
efektif dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dalam rupa
permainan-permainan ringan tanpa hukuman. Hadiah atau rewards telah terbukti
efektif dalam membentuk dan mempertahankan suatu perilaku baru.
Bukankah seperti ini lebih menyenangkan dan mendidik |
Sistem Kredit Poin per Materi dapat juga digunakan
sebagai rewards. Misalnya 1 poin untuk datang tepat waktu, 1 poin
untuk kerapian, 1 poin untuk mengenal denah gedung kuliah. Jika mahasiswa tidak
memperoleh standar poin tertentu, mahasiswa harus mengulang kegiatan tersebut di
tahun depan ataupun pengurangan jumlah sks yang diambil. Secara garis besar, hal yang menyenangkan akan selalu diingat sebagai
kenangan yang menyenangkan pula, dan tidak menimbulkan trauma.
OSPEK jaman lampau atau kegiatan yang menggunakan
kedisiplinan semi-militer baik mental maupun fisik lebih baik diterapkan pada
organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti Pecinta Alam, Pramuka, dan MENWA
bukan pada lembaga pendidikan umum seperti sekolah dan perguruan tinggi.
Yuk, bersama benahi sistem pendidikan kita...
Palangkaraya, 16/9 2013.
Posting Komentar