Jirnalist of Katingan (ngga ada disini orangnya) |
Sudah
sangat lazim jika wartawan itu melakukan wawancara sebagai bahan konfimasi,
tambahan data atau sekedar melayani narasumber memberikan klarifikasi. Yang tak
wajar itu jika sang wartawan malah ngajarin si narasumber yang diwawancarainya.
Narsum mana yang tak jengkel menghadapi gaya wartawan yang demikian.
Sialnya,
wartawan semacam ini ada di antara geng liputan kami, sudah beberapa kali kami
dibuatnya jengkel. Selain pertanyaannya yang berbelit-belit, yang ditanyakan
sering tidak relevan dengan kompetensi si narsum...huft!!! perlu dikerjaan nih
orang, pikirku seusai wawancara dengan salah satu narasumber.
Akhirnya,
waktu yang kutunggu datang juga. Waktu itu kami mengikuti salah satu forum
rapat yang dipimpin oleh sang wakil kepala daerah setempat. Siap dengan alat
tulis dan perekam masing-masing, kami mulai wawancara. Kali ini aku yang ambil
alih, satu pertanyaan terjawab, tanpa jeda ku lempar lagi pertanyaan susulan,
bukan sang narsum yang ku perhatikan, tapi si wartawan sok pintar tadi.
Sudah
terjawab pertanyan pertama, ku lempar pertanyaan kedua, dipenghujung
penjelasan, dia ingin melancarkan aksinya. Sayang doi kalah sigap, pertanyaan
penutup sudah saya bidikkan ke si narsum, “Terakhir apa harapan bapak dengan
kegiatan...bla...bla...bla,” pertanyaan penutupku waktu itu. Ku perhatikan dari
sekian kawan wartawan hanya wajahnya yang mirip udang rebus (bayangin sendiri),
berbeda dengan wartawan lain yang Nampak puas dengan sejuta kemenangan.
Lebih
tragis ketika dia nekat bertanya pada sang narsum, kami langsung menutup alat
tulis dan memasukkan alat perekam ke tempat semula, pertanda wawancara berakhir.
Sejurus dengan kami, ternyata sang wabub tidak bersedia menjawab pertanyaannya,
“loh, kan sudah selesai, kapan-kapan saja dilanjut,” ucapnya. Bak bom atom yang
sudah mendarat di Hirosima dan Nagasaki, tawa kami meledak seketika itu juga.
Kisah
lain yang menjengkelkan juga pernah beberapa kali kami alami, tapi bedanya yang
ini ngga suka ngajarin, namun suka memotong penjelasan si narsum. Nah, gaya
seperti inilah yang sering bikin kami mules, Baru satu dua kalimat sudah
dipotong. Padahal inti jawaban belum muncul.
Dia
cepat sekali memotong, main sambar dan kurang memberi ruang kepada narasumber
untuk bicara. Belum dielaborasi atau bahasa Jawanya dijlentreh, eh, sudah dicecar pertanyaan baru. Ia terlalu nafsu
berbicara dan kurang mendengar jawaban si narsum yang sejatinya ditunggu sejumlah
pemburu berita lainnya. Makin membuat kami risih, dia ini kurang menaruh hormat
kepada siapapun yang di wawancarainya, Sok Kenal Sok Dekat (SKSD) dan asal mangap
kalau ngomong. Pokoknya kalau dia ada waktu wawancara, pengen ku catok aja kepalanya pake alat perekam.
Suatu
ketika kami mewawancarai salah seorang kepala dinas, kami mulai bertanya, baru
satu dua kalimat yang sifatnya pengantar, eh, sudah dipotong dengan pertanyaan
baru. Pak Kadis tampak agak marah. “Lho, saya ini belum selesai menjawab
pertanyaan yang pertama kok sudah ditanya lagi. Kasih dong kesempatan kepada
saya,” ujarnya ketus. Hahaha, kena batunya ente!
Hidup Pak Kadis!!! Teriaku tak kalah lantang dengan teriakan “Merdeka” para
pejuang empat lima. (Tapi hanya didalam hati, hehe..)
Yang
membuatku heran, kenapa ada spesies wartawan semacam ini. Saat waktu luang, kuperhatikan
tingkah polah para pembawa acara di televisi-televisi, ternyata gaya semacam
ini banyak diperagakan, belum apa-apa dipotong, belum banyak yang dijelaskan langsung
keluar iklan. Kesimpulan sementara, ini orang kena racun pembawa acara
televisi!!!
Betul
bahwa durasi waktu di televisi sangat mepet. Iklan sudah menunggu. Tapi
pewawancara yang baik seharusnya sedikit bicara dan memberi kesempatan yang
cukup kepada narasumber. Dia perlu memotong atau mengarahkan narasumber yang
ngelantur. Bukan main potong seenaknya.
Rupanya
ada perubahan yang drastis dalam gaya wawancara televisi kita. Dulu, di era
TVRI (kayanya dulu banget) sebagai satu-satunya televisi di Indonesia,
narasumber terlalu banyak bicara, presenter kurang cepat memotong, sehingga
dialognya mirip ceramah atau khotbah.
Kemudian
muncul RCTI dengan presenter-presenter bagus macam Adolf Posumah, Desi Anwar,
atau Dana Iswara yang saya angap sangat ideal untuk wawancara televisi. Asyik
sekali mengikuti wawancara yang dipandu Adolf, Desi, Dana, serta beberapa
presenter 1990-an.
Cara
bertanya Desi Anwar dan teman seangkatannya halus, cermat, merangsang
narasumber bicara secara hangat. Layaknya ngobrol dengan teman sendiri. Teknik
inilah yang sangat sukses dimainkan Oprah dengan program-programnya yang
fenomenal.
Ada
lagi teknik wawancara layaknya interogasi ala Ira Koesno di Liputan 6 SCTV
tempo doeloe. Narasumber seakan-akan dianggap musuh atau tersangka, sementara
si Ira berperan layaknya polisi atau penyidik. Kesannya heboh, berani, tapi
saya kurang suka.
Mengapa
Andy F Noya sangat sukses dengan Kick Andy? Jawabnya jelas. Andy yang mantan
pemimpin redaksi Metro TV ini menimba inspirasi dari Oprah. Andy bertanya
sedikit sebagai pemancing, narasumber punya waktu bicara, ada bumbu guyonnya.
Under Cover//Jurnalis Masa Depan...hehe |
Andy
F Noya tidak asal potong omongan narasumber. Kalaupun memotong, Andy justru
memberi pancingan baru untuk menguras keterangan si sumber. Andy pun selalu
tampak punya kedekatan, intimasi, dengan narasumber. Ngobrol hangat layaknya
sesama teman.
Wartawan
baru yang ingin belajar wawancara klik disini. Kita doakan saja mereka yang
salah jalan cepat bertaubat, jurnalis masa depan harus lebih berkualitas, kaya
motonya Persatuan Wartawan Indonesia, Pers Berkualitas Masyarakat Cerdas!!!
Wasalam.
Posting Komentar