Polah Wartawan, Main Potong dan Sok Pintar

Rabu, 05 Maret 20140 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Jirnalist of Katingan (ngga ada disini orangnya)

Sudah sangat lazim jika wartawan itu melakukan wawancara sebagai bahan konfimasi, tambahan data atau sekedar melayani narasumber memberikan klarifikasi. Yang tak wajar itu jika sang wartawan malah ngajarin si narasumber yang diwawancarainya. Narsum mana yang tak jengkel menghadapi gaya wartawan yang demikian.

Sialnya, wartawan semacam ini ada di antara geng liputan kami, sudah beberapa kali kami dibuatnya jengkel. Selain pertanyaannya yang berbelit-belit, yang ditanyakan sering tidak relevan dengan kompetensi si narsum...huft!!! perlu dikerjaan nih orang, pikirku seusai wawancara dengan salah satu narasumber.

Akhirnya, waktu yang kutunggu datang juga. Waktu itu kami mengikuti salah satu forum rapat yang dipimpin oleh sang wakil kepala daerah setempat. Siap dengan alat tulis dan perekam masing-masing, kami mulai wawancara. Kali ini aku yang ambil alih, satu pertanyaan terjawab, tanpa jeda ku lempar lagi pertanyaan susulan, bukan sang narsum yang ku perhatikan, tapi si wartawan sok pintar tadi.

Sudah terjawab pertanyan pertama, ku lempar pertanyaan kedua, dipenghujung penjelasan, dia ingin melancarkan aksinya. Sayang doi kalah sigap, pertanyaan penutup sudah saya bidikkan ke si narsum, “Terakhir apa harapan bapak dengan kegiatan...bla...bla...bla,” pertanyaan penutupku waktu itu. Ku perhatikan dari sekian kawan wartawan hanya wajahnya yang mirip udang rebus (bayangin sendiri), berbeda dengan wartawan lain yang Nampak puas dengan sejuta kemenangan.

Lebih tragis ketika dia nekat bertanya pada sang narsum, kami langsung menutup alat tulis dan memasukkan alat perekam ke tempat semula, pertanda wawancara berakhir. Sejurus dengan kami, ternyata sang wabub tidak bersedia menjawab pertanyaannya, “loh, kan sudah selesai, kapan-kapan saja dilanjut,” ucapnya. Bak bom atom yang sudah mendarat di Hirosima dan Nagasaki, tawa kami meledak seketika itu juga.

Kisah lain yang menjengkelkan juga pernah beberapa kali kami alami, tapi bedanya yang ini ngga suka ngajarin, namun suka memotong penjelasan si narsum. Nah, gaya seperti inilah yang sering bikin kami mules, Baru satu dua kalimat sudah dipotong. Padahal inti jawaban belum muncul.

Dia cepat sekali memotong, main sambar dan kurang memberi ruang kepada narasumber untuk bicara. Belum dielaborasi atau bahasa Jawanya dijlentreh, eh, sudah dicecar pertanyaan baru. Ia terlalu nafsu berbicara dan kurang mendengar jawaban si narsum yang sejatinya ditunggu sejumlah pemburu berita lainnya. Makin membuat kami risih, dia ini kurang menaruh hormat kepada siapapun yang di wawancarainya, Sok Kenal Sok Dekat (SKSD) dan asal mangap kalau ngomong. Pokoknya kalau dia ada waktu wawancara, pengen ku catok aja kepalanya pake alat perekam.

Suatu ketika kami mewawancarai salah seorang kepala dinas, kami mulai bertanya, baru satu dua kalimat yang sifatnya pengantar, eh, sudah dipotong dengan pertanyaan baru. Pak Kadis tampak agak marah. “Lho, saya ini belum selesai menjawab pertanyaan yang pertama kok sudah ditanya lagi. Kasih dong kesempatan kepada saya,” ujarnya ketus. Hahaha, kena batunya ente! Hidup Pak Kadis!!! Teriaku tak kalah lantang dengan teriakan “Merdeka” para pejuang empat lima. (Tapi hanya didalam hati, hehe..)

Yang membuatku heran, kenapa ada spesies wartawan semacam ini. Saat waktu luang, kuperhatikan tingkah polah para pembawa acara di televisi-televisi, ternyata gaya semacam ini banyak diperagakan, belum apa-apa dipotong, belum banyak yang dijelaskan langsung keluar iklan. Kesimpulan sementara, ini orang kena racun pembawa acara televisi!!!

Betul bahwa durasi waktu di televisi sangat mepet. Iklan sudah menunggu. Tapi pewawancara yang baik seharusnya sedikit bicara dan memberi kesempatan yang cukup kepada narasumber. Dia perlu memotong atau mengarahkan narasumber yang ngelantur. Bukan main potong seenaknya.

Rupanya ada perubahan yang drastis dalam gaya wawancara televisi kita. Dulu, di era TVRI (kayanya dulu banget) sebagai satu-satunya televisi di Indonesia, narasumber terlalu banyak bicara, presenter kurang cepat memotong, sehingga dialognya mirip ceramah atau khotbah.

Kemudian muncul RCTI dengan presenter-presenter bagus macam Adolf Posumah, Desi Anwar, atau Dana Iswara yang saya angap sangat ideal untuk wawancara televisi. Asyik sekali mengikuti wawancara yang dipandu Adolf, Desi, Dana, serta beberapa presenter 1990-an.

Cara bertanya Desi Anwar dan teman seangkatannya halus, cermat, merangsang narasumber bicara secara hangat. Layaknya ngobrol dengan teman sendiri. Teknik inilah yang sangat sukses dimainkan Oprah dengan program-programnya yang fenomenal.

Ada lagi teknik wawancara layaknya interogasi ala Ira Koesno di Liputan 6 SCTV tempo doeloe. Narasumber seakan-akan dianggap musuh atau tersangka, sementara si Ira berperan layaknya polisi atau penyidik. Kesannya heboh, berani, tapi saya kurang suka.

Mengapa Andy F Noya sangat sukses dengan Kick Andy? Jawabnya jelas. Andy yang mantan pemimpin redaksi Metro TV ini menimba inspirasi dari Oprah. Andy bertanya sedikit sebagai pemancing, narasumber punya waktu bicara, ada bumbu guyonnya.

Under Cover//Jurnalis Masa Depan...hehe
Andy F Noya tidak asal potong omongan narasumber. Kalaupun memotong, Andy justru memberi pancingan baru untuk menguras keterangan si sumber. Andy pun selalu tampak punya kedekatan, intimasi, dengan narasumber. Ngobrol hangat layaknya sesama teman.

Wartawan baru yang ingin belajar wawancara klik disini. Kita doakan saja mereka yang salah jalan cepat bertaubat, jurnalis masa depan harus lebih berkualitas, kaya motonya Persatuan Wartawan Indonesia, Pers Berkualitas Masyarakat Cerdas!!! Wasalam.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger