Altar sembahyang warga Tionghoa//berkunjung ke Tiongkok Town Center |
Membaca
Koran online dari tablet, pagi itu ada yang wow... dari Kompas, setelah
beberapa tahun terakhir, Koran dengan tiras terbesar se-Nusantara ini pertama
kali menggunakan kata ‘Tiongkok’ untuk merujuk Negara yang selama ini disebut
Republik Rakyat China (RRC).
Koran
yang didirikan big bos Peng Koen Auw Jong atau lebih dikenal PK Ojong (Petrus
Kanisius Ojong) itu tidak lagi menggunakan ‘China’ seperti biasanya. Minggu
pagi kemarin (6/4) Ada berita dengan judul ‘Demo Anti-Tiongkok di Taiwan’. Juga
berita bertajuk ‘Keluarga Penumpang MH370 Yang Dikumpulkan di Sebuah Hotel di
Beijing, Ibukota Tiongkok’.
Setelah
mencari tau browsing kesana-kemarin, saya sedikit mendapat pencerahan. Ternyata
perubahan dari China ke Tiongkok ini merupakan tindak lanjut keputusan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pertengahan Maret 2014 lalu. Presiden SBY
secara resmi mencabut keppres era Kabinet Ampera yang melarang istilah Tionghoa
dan Tiongkok.
Meski
penggunaan kata Tiongkok pada Koran itu stop semenjak Keppres Kabinet Ampera. Ternyata,
sebelumnya masih banyak wartawan senior Kompas yang menggunakannya di
kolom-kolom opini maupun blog pribadi mereka. Katakanlah, wartawan senior Muhammad
Firman, Hardian Noor (Kelana) dan Siti Mahmoed. Juga, wartawan baru seperti
Rahmat Sutopo yang kebetulan sahabat karib saya semenjak kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang dulu.
Seperti
Rahmat dan Kelana, saya tahu betul kapasitasnya, mereka merupakan wartawan
Indonesia yang sangat paham tentang sosial budaya serta perkembangan politik di
Tiongkok. Yang saya tahu, Rahmat sudah beberapa kali hilir mudik ke Negara
tirai bambu itu. Pertama kali ia berangkat bersama saya dan rombongan lain
dalam rangka pelantikan kepengurusan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)
Tiongkok. Sejak itulah ia tertarik dengan Negara kelahiran Jackie Chan ini.
Tapi,
kini dengan keppres resmi SBY, mau tidak mau, suka tidak suka, media-media
resmi perlu menyesuaikan diri. Ke depan istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi
sangat lazim di Indonesia. Dan ini juga sesuai dengan keinginan pemerintah
Republik Rakyat Tiongkok alias RRT sejak dulu. Hal serupa juga sering
disuarakan kawan-kawan PPI Tiongkok yang menginginkan disebut pelajar Indonesia
Tiongkok ketimbang disebut China.
Dengan
Keppres Era SBY ini, Perubahan diksi Kompas untuk Tiongkok bisa dipastikan akan
diikuti media-media lain di Indonesia. Kecuali Jawa Pos dan 200an media yang
bernaung di Jawa Pos Group. Kenapa?
Sejak
awal reformasi Jawa Pos dan koran-koran anak perusahaannya selanjutnya kita
sebut JPNN (Jawa Pos National Network), yang dikomando pak bos, Dahlan Iskan,
sudah menggunakan istilah Tiongkok. Kata China yang merujuk Tionghoa atau
Tiongkok sudah lama dihilangkan dari Jawa Pos Group. Ini setelah diskusi
panjang dan pengusaha-pengusaha dan paguyuban masyarakat Tionghoa di Surabaya.
Yah,
untuk kesekian kalinya, Jawa Pos terbukti menjadi pelopor plus trend setter di Indonesia. Pak bos JPNN mampu melihat jauh ke
depan. Mampu membuat keputusan yang jauh mendahului yang lain. Awalnya orang
heran, kaget, bahkan tertawa, membaca Tiongkok di koran. Tapi, belasan tahun
kemudian, apa yang terjadi? Mulai Maret 2014 ini Tiongkok menjadi istilah resmi
pemerintah Indonesia. Ayo, siapa berminat jalan-jalan ke Tiongkok! Jangan lupa
bawa oleh-oleh cungkuo cha!
Jawa
Pos juga yang pertama kali menerbitkan koran berwarna full color di Indonesia.
Saat itu koran-koran tidak berani cetak warna karena dianggap menurunkan keseriusan
surat kabar. Tapi, kita tahu, beberapa tahun setelah itu koran-koran di tanah
air ramai-ramai cetak kolor, eh...color alias warna.
Jawa
Pos pula yang mengawali koran tujuh kolom. Menggantikan koran sembilan kolom
atau broad sheet yang lebar, yang sudah berurat berakar sejak zaman Hindia
Belanda. Itu dimulai sejak krisis moneter 1997.
Apa
yang terjadi kemudian? Saat ini tidak ada lagi koran sembilan kolom di
Indonesia. Semuanya tujuh koloman. Kompas yang dulu ngotot bertahan dengan
sembilan kolom, karena merasa tak terpengaruh krismon (kertas mahal), pun
akhirnya jadi tujuh kolom. Jawa Pos sekali lagi membuktikan bahwa tren itu bisa
dimulai dari daerah.
Begitupun
dengan Koran-koran kuningnya Jawa Pos yang identik dengan nama ‘Ekspres’ dan
‘Metro’ yang berukuran mungil, saat ini orang boleh memandangnya sebelah mata
karena terlalu pelit kertas, dan minimnya halaman. Tapi jika anda jalan-jalan
ke luar negeri, Malaysia misalnya. Di Kuala Lumpur, hampir semua Koran kuning
menggunakan ukuran yang sama dengan Koran kuning ala Jawa Pos ini. Yang lain? Nanti
kita buktikan! Waktu!!!
Kasongan, Senin 7/4 2014.
Posting Komentar