Sebut Kami Tiongkok Atau Tionghoa Saja!

Senin, 07 April 20140 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Altar sembahyang warga Tionghoa//berkunjung ke Tiongkok Town Center

Membaca Koran online dari tablet, pagi itu ada yang wow... dari Kompas, setelah beberapa tahun terakhir, Koran dengan tiras terbesar se-Nusantara ini pertama kali menggunakan kata ‘Tiongkok’ untuk merujuk Negara yang selama ini disebut Republik Rakyat China (RRC).

Koran yang didirikan big bos Peng Koen Auw Jong atau lebih dikenal PK Ojong (Petrus Kanisius Ojong) itu tidak lagi menggunakan ‘China’ seperti biasanya. Minggu pagi kemarin (6/4) Ada berita dengan judul ‘Demo Anti-Tiongkok di Taiwan’. Juga berita bertajuk ‘Keluarga Penumpang MH370 Yang Dikumpulkan di Sebuah Hotel di Beijing, Ibukota Tiongkok’.

Setelah mencari tau browsing kesana-kemarin, saya sedikit mendapat pencerahan. Ternyata perubahan dari China ke Tiongkok ini merupakan tindak lanjut keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pertengahan Maret 2014 lalu. Presiden SBY secara resmi mencabut keppres era Kabinet Ampera yang melarang istilah Tionghoa dan Tiongkok.

Meski penggunaan kata Tiongkok pada Koran itu stop semenjak Keppres Kabinet Ampera. Ternyata, sebelumnya masih banyak wartawan senior Kompas yang menggunakannya di kolom-kolom opini maupun blog pribadi mereka. Katakanlah, wartawan senior Muhammad Firman, Hardian Noor (Kelana) dan Siti Mahmoed. Juga, wartawan baru seperti Rahmat Sutopo yang kebetulan sahabat karib saya semenjak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang dulu.

Seperti Rahmat dan Kelana, saya tahu betul kapasitasnya, mereka merupakan wartawan Indonesia yang sangat paham tentang sosial budaya serta perkembangan politik di Tiongkok. Yang saya tahu, Rahmat sudah beberapa kali hilir mudik ke Negara tirai bambu itu. Pertama kali ia berangkat bersama saya dan rombongan lain dalam rangka pelantikan kepengurusan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok. Sejak itulah ia tertarik dengan Negara kelahiran Jackie Chan ini.

Tapi, kini dengan keppres resmi SBY, mau tidak mau, suka tidak suka, media-media resmi perlu menyesuaikan diri. Ke depan istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi sangat lazim di Indonesia. Dan ini juga sesuai dengan keinginan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok alias RRT sejak dulu. Hal serupa juga sering disuarakan kawan-kawan PPI Tiongkok yang menginginkan disebut pelajar Indonesia Tiongkok ketimbang disebut China.

Dengan Keppres Era SBY ini, Perubahan diksi Kompas untuk Tiongkok bisa dipastikan akan diikuti media-media lain di Indonesia. Kecuali Jawa Pos dan 200an media yang bernaung di Jawa Pos Group. Kenapa?

Sejak awal reformasi Jawa Pos dan koran-koran anak perusahaannya selanjutnya kita sebut JPNN (Jawa Pos National Network), yang dikomando pak bos, Dahlan Iskan, sudah menggunakan istilah Tiongkok. Kata China yang merujuk Tionghoa atau Tiongkok sudah lama dihilangkan dari Jawa Pos Group. Ini setelah diskusi panjang dan pengusaha-pengusaha dan paguyuban masyarakat Tionghoa di Surabaya.

Yah, untuk kesekian kalinya, Jawa Pos terbukti menjadi pelopor plus trend setter di Indonesia. Pak bos JPNN mampu melihat jauh ke depan. Mampu membuat keputusan yang jauh mendahului yang lain. Awalnya orang heran, kaget, bahkan tertawa, membaca Tiongkok di koran. Tapi, belasan tahun kemudian, apa yang terjadi? Mulai Maret 2014 ini Tiongkok menjadi istilah resmi pemerintah Indonesia. Ayo, siapa berminat jalan-jalan ke Tiongkok! Jangan lupa bawa oleh-oleh cungkuo cha!

Jawa Pos juga yang pertama kali menerbitkan koran berwarna full color di Indonesia. Saat itu koran-koran tidak berani cetak warna karena dianggap menurunkan keseriusan surat kabar. Tapi, kita tahu, beberapa tahun setelah itu koran-koran di tanah air ramai-ramai cetak kolor, eh...color alias warna.

Jawa Pos pula yang mengawali koran tujuh kolom. Menggantikan koran sembilan kolom atau broad sheet yang lebar, yang sudah berurat berakar sejak zaman Hindia Belanda. Itu dimulai sejak krisis moneter 1997.

Apa yang terjadi kemudian? Saat ini tidak ada lagi koran sembilan kolom di Indonesia. Semuanya tujuh koloman. Kompas yang dulu ngotot bertahan dengan sembilan kolom, karena merasa tak terpengaruh krismon (kertas mahal), pun akhirnya jadi tujuh kolom. Jawa Pos sekali lagi membuktikan bahwa tren itu bisa dimulai dari daerah.

Begitupun dengan Koran-koran kuningnya Jawa Pos yang identik dengan nama ‘Ekspres’ dan ‘Metro’ yang berukuran mungil, saat ini orang boleh memandangnya sebelah mata karena terlalu pelit kertas, dan minimnya halaman. Tapi jika anda jalan-jalan ke luar negeri, Malaysia misalnya. Di Kuala Lumpur, hampir semua Koran kuning menggunakan ukuran yang sama dengan Koran kuning ala Jawa Pos ini. Yang lain? Nanti kita buktikan! Waktu!!!

Kasongan, Senin 7/4 2014.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger