Nasib seorang perantauan yang
harus keluar dari kawasan sendiri mewajibkan kita untuk banyak belajar hal baru.
Budaya lokal mau tidak mau harus dipelajari, agar kita tidak salah paham dengan
masyarakat setempat. Masalah bahasa juga penting untuk segera dikuasai minimal
secara pasif. Dengan sedikit tahu bahasa setempat, paling tidak kita bisa tahu
kalau ada yang menggosipkan di depan mata.
Namun saat belajar bahasa
setempat kepada seorang teman pun tidak pernah lepas dari resiko digampar orang
karena diajarin yang engga-engga, tanpa
kita tahu makna sesungguhnya, salah satunya ketika ucapan jorok dibilang itu
pujian. Nah lo…
Di daerah dimana aku ditugaskan
masih masuk wilayah budaya Dayak Maanyan. Sebagian kosa katanya memang hampir
mirip dengan bahasa Jawa. Tetapi huruf vokal di suku kata akhir diganti
"e", dengan pengucapan seperti pada kata “bebek”. Seperti kata lima , disini jadi lime.
Telu atau tiga (Bahas Jawa Ngoko/kasar; tetap telu), hanya berbeda di
pengucapan "e" saja. Aku tetap aku, kamu itu hanyu dan dia hanye.
Yang agak hati-hati mungkin kalo kita ke warung beli minuman kemasan, karena “ale”
merupakan sebutan untuk aktifitas biologis manusia lain jenis.
Meskipun di daerah ini secara
geografis dikuasai Dayak Maanyan, pengaruh budaya Banjar cukup kental membaur.
Jadinya aku suka ditertawakan orang, ngomong dengan bahasa campur bawur antara
Maanyan dan Banjar. Seperti kata ulun yang dalam bahasa Banjar berarti saya,
dalam bahasa Maanyan artinya manusia. Terus terang aku kesulitan untuk untuk
memilah masuk kemana kosa kata itu. Soalnya bahasa Banjar dengan bahasa Jawa
pun cukup banyak penyerapannya. Misalnya pian yang artinya kamu, mungkin dari
kata sampeyan (Jawa Krama Madya/tengah; Sampeyan=kamu). Nggih (Jawa Krama Inggil/halus;
Nggih=iya). Bulik untuk balik (Jawa Ngoko/kasar; Balik=pulang).
Yang bikin tambah susah kalo
sudah ngumpul, awalnya sih iya pakai
bahasa Indonesia .
Namun lama kelamaan kicauannya beralih ke bahasa masing-masing, hal Ini juga
sering terjadi saat liputan bahkan waktu wawancara sama pejabat setempat.
Awalnya sih lancar-lancar saja karena poin ketiga sumpah pemuda (Kami poetera
dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia)
masih dipegang teguh, namun saat sudah mulai keluar dari topik pembahasan dan
keasyikan dengan topik yang berkembang biasanya mereka mulai mengencingi sumpah
pemuda tersebut sehingga aku jadi berasa pindah ke planet asing.
Kejadian semacam ini
mengingatkanku kembali pada tiga tahun silam saat ada orientasi nasional dengan
peserta yang berasal dari sabang-merauke, karena kami dikirim berpasangan
tentunya saat ngobrol dengan kandidat
se-daerah kita pakai bahasa daerah, namun karena kicauan masing-masing kandidat
akhirnya setiap peserta yang datang ingin menggunggulkan kesukuan
masing-masing. Seperti misalnya waktu duduk-duduk di kantin, Orang Bugis lebih
suka pesan, “Krating Daeng”. Orang Manado , “Extra Jo”. Orang Buton, “La Segar”. Orang Papua, “Ale-ale”.
Orang Jawa, “Mari Mas”...Yang paling
kasihan tentunya teman dari Ambon, bingung semuanya pesan minuman dengan ciri
khas daerah masing-masing, tak mau kalah dia teriak, “Beta Din”. Nah lo...
Posting Komentar