Bahasa daerah lagi

Senin, 23 Januari 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Nasib seorang perantauan yang harus keluar dari kawasan sendiri mewajibkan kita untuk banyak belajar hal baru. Budaya lokal mau tidak mau harus dipelajari, agar kita tidak salah paham dengan masyarakat setempat. Masalah bahasa juga penting untuk segera dikuasai minimal secara pasif. Dengan sedikit tahu bahasa setempat, paling tidak kita bisa tahu kalau ada yang menggosipkan di depan mata.

Namun saat belajar bahasa setempat kepada seorang teman pun tidak pernah lepas dari resiko digampar orang karena diajarin yang engga-engga, tanpa kita tahu makna sesungguhnya, salah satunya ketika ucapan jorok dibilang itu pujian. Nah lo…

Di daerah dimana aku ditugaskan masih masuk wilayah budaya Dayak Maanyan. Sebagian kosa katanya memang hampir mirip dengan bahasa Jawa. Tetapi huruf vokal di suku kata akhir diganti "e", dengan pengucapan seperti pada kata “bebek”. Seperti kata lima, disini jadi lime. Telu atau tiga (Bahas Jawa Ngoko/kasar; tetap telu), hanya berbeda di pengucapan "e" saja. Aku tetap aku, kamu itu hanyu dan dia hanye. Yang agak hati-hati mungkin kalo kita ke warung beli minuman kemasan, karena “ale” merupakan sebutan untuk aktifitas biologis manusia lain jenis.

Meskipun di daerah ini secara geografis dikuasai Dayak Maanyan, pengaruh budaya Banjar cukup kental membaur. Jadinya aku suka ditertawakan orang, ngomong dengan bahasa campur bawur antara Maanyan dan Banjar. Seperti kata ulun yang dalam bahasa Banjar berarti saya, dalam bahasa Maanyan artinya manusia. Terus terang aku kesulitan untuk untuk memilah masuk kemana kosa kata itu. Soalnya bahasa Banjar dengan bahasa Jawa pun cukup banyak penyerapannya. Misalnya pian yang artinya kamu, mungkin dari kata sampeyan (Jawa Krama Madya/tengah; Sampeyan=kamu). Nggih (Jawa Krama Inggil/halus; Nggih=iya). Bulik untuk balik (Jawa Ngoko/kasar; Balik=pulang).

Yang bikin tambah susah kalo sudah ngumpul, awalnya sih iya pakai bahasa Indonesia. Namun lama kelamaan kicauannya beralih ke bahasa masing-masing, hal Ini juga sering terjadi saat liputan bahkan waktu wawancara sama pejabat setempat. Awalnya sih lancar-lancar saja karena poin ketiga sumpah pemuda (Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia) masih dipegang teguh, namun saat sudah mulai keluar dari topik pembahasan dan keasyikan dengan topik yang berkembang biasanya mereka mulai mengencingi sumpah pemuda tersebut sehingga aku jadi berasa pindah ke planet asing.

Kejadian semacam ini mengingatkanku kembali pada tiga tahun silam saat ada orientasi nasional dengan peserta yang berasal dari sabang-merauke, karena kami dikirim berpasangan tentunya saat ngobrol dengan kandidat se-daerah kita pakai bahasa daerah, namun karena kicauan masing-masing kandidat akhirnya setiap peserta yang datang ingin menggunggulkan kesukuan masing-masing. Seperti misalnya waktu duduk-duduk di kantin, Orang Bugis lebih suka pesan, “Krating Daeng”. Orang Manado, “Extra Jo”. Orang Buton, “La Segar”. Orang Papua, “Ale-ale”. Orang Jawa, “Mari Mas”...Yang paling kasihan tentunya teman dari Ambon, bingung semuanya pesan minuman dengan ciri khas daerah masing-masing, tak mau kalah dia teriak, “Beta Din”. Nah lo...
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger