Blackberry (BB) sudah menjadi barang umum disini, mulai para pejabat sampai penjual sayur udah pada nenteng, terkait fungsi aku tak ambil pusing, semua ada ditangan mereka. Tetapi entah kenapa, akhir-akhir ini aku mulai agak bete karena banyak teman baru suka bolak-balik menanyakan pin BB, boro-boro pin, blekberinya saja aku ga punya. Mau dikasih pin ATM juga ga ada gunanya wong saldonya ga pernah jauh dari angka 100 ribu. Kadang malah ada yang lebih sadis, saat aku sms bukannya dijawab sesuai pertanyaanku malah dibalas, " Blackberry Messenger (BBM) saja, pak. Jangan sms, boros..." ku balas saja, “BBM mbahmu...”. Ngga tau kali ya kalau harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kalimantan mahal banget dan harus antri lama di SPBU.
Bukan aku ngga mau disebut anak
gaul, namun aku belum ada minat menggunakan BB, salah satu penyebabnya adalah
bentuk keyped-nya yang ngga asik, terlalu lama menggunakan communicator
ber-keyped besar membuatku kagok harus mijit tombol yang mungil. menurutku
Keyped full qwerty yang lebar ala communicator sangat nyaman buatku ngetik
berpanjang-panjang dengan cepat, dan ini jelas banyak membantu dalam kerjaanku
sebagai pewarta.
Selain itu alasan berikutnya
adalah soal biaya, rasanya sayang jika harus buang pulsa secara tetap sekian
ribu perak sehari hanya untuk chatting dengan komunitas terbatas BB doing,
apalagi melihat perubahan perilaku teman setelah beralih menggunakan BB, merasa
sudah bayar harian, mereka seperti memaksakan diri untuk terus menggunakan
semua fitur gratisannya semaksimal mungkin, tiap waktu Yahoo Messenger (YM)-an
atau facebook-an hanya karena sayang kalau sudah bayar tapi tidak dipakai,
bukan karena butuh komunikasi untuk menunjang aktifitas kerja.
Kalau hanya untuk berkomunikasi
teks dengan murah, sepertinya hampir semua operator seluler yang ada sekarang
memberikan bonus sms gratis sampai ratusan bahkan ada yang sampai ribuan Short
Message Service (SMS), lagian untuk urusan penting, aku lebih suka telephone
daripada mengandalkan percakapan berbasis teks yang rawan salah paham,
bagaimanapun juga bahasa tulisan lebih susah dipahami karena tanpa ekspresi
yang memadai, dengan cara telephone semua pertanyaan bisa langsung mendapat
jawaban tanpa harus menunggu balasan. Yang lebih penting lagi, tidak merepotkan
lawan bicara yang harus ikut keluar pulsa untuk balas sms. Inilah yang
terkadang membuatku bingung ketika ada orang yang sms belum sempat dibalas
terus ngambek tanpa dia mau tahu kita punya pulsa atau sudah buka sms-nya apa
belum, apalagi setelah sms dia membalasnya dengan menanyakan pin.
Sedikit mengungkap tabir misteri
dunia perbisnisan BB yang dikelola oleh Research In Motion (RIM) besutan Kanada
tersebut ternyata tidak memiliki pabrik di negeri ini, padahal pengguna BB
terbesar Asia Tenggara adalah Indonesia, apalagi yang mau dikata. Meski Indonesia
merupakan pengguna BlackBerry terbesar di Asia Tenggara. RIM sebagai perusahaan
besar ternyata telah terlanjur memposisikan Indonesia hanya sebagai
pengguna/konsumen dan sumber penghasilan saja. Inilah pelajaran besar yang
harus kembali direfleksikan oleh bangsa ini. Ketika kita masih saja senang
bahkan bangga menjadi bangsa konsumen dan tidak lagi bergairah menjadi bangsa
produsen. Semoga saja somasi yang dipertontonkan RIM bisa membelalakan mata
kita sehingga keluar dari perangkap hiperrealitas serta berhenti menjadi korban
stimulasi dan konsumerisme.
Communikator |
Posting Komentar