13 Penyakit Guru

Rabu, 08 Februari 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Terkait dengan pemberitaan Ppost pada edisi Sabtu, (4/2) sehingga membuat banyak guru yang kebakaran jenggot terutama para guru sertifikasi, hal inilah yang membuat saya ingin kembali mengangkat tulisan Profesor Muhammadun yang berjudul “13 Penyakit Guru” sebagai pengantar diskusi yang digelar di gedung aula kantor Yayasan Sukma, Jakarta beberapa tahun silam.

Yang membuat saya heran, kenapa paska diskusi beredar juga Short Message Service (SMS) 13 penyakit guru tersebut, mungkin karena banyaknya pendekar pendidikan yang masih mengidap penyakit tersebut entah ada alasan lain bagi pengirimnya, apalagi SMS tersebut juga banyak bermunculan di ponsel-ponsel para guru di Semarang, namun saya tidak tahu persis apakah para guru di kabupaten berjuluk Gumi Jari Janang Kalalawah (Bahasa Maanyan; Menjadi Jaya Selamanya) juga mendapatkannya.

Bunyi SMS tersebut memang terasa lucu dan sedikit mengada-ada, tapi dari segi substansi tampaknya kita tak bisa menganggap remeh isu penyakit guru ini. SMS mengenai gejala penyakit guru ini bahkan menjadi bahan diskusi lanjutan yang cukup serius pada lingkungan para guru di Semarang kala itu, sambil di antaranya mereka mencoba mencocokkan jenis penyakit mana yang sudah ada dalam diri mereka masing-masing.

Bunyi SMS-nya memang tidak sepanjang tulisan saya ini, namun saya ingin mencoba mengklasifikasikannya menjadi tiga jenis keterampilan (skill), yaitu kemampuan personal (kepribadian), metodologis, dan teknis. Pada aspek kemampuan kepribadian guru, penyakit yang disinyalir ada meliputi THT (Tukang Hitung Transport), Hipertensi (Hiruk persoalkan tentang sertifikasi), kudis (kurang disiplin), dan asma (asal masuk). Di Semarang sendiri teramat mudah dijumpai guru yang selalu berhitung soal pembagian transport dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kecurangan dalam hal proses sertififikasi, kurang disiplin dan masuk sembarangan hanya sekadar memenuhi absensi. Gejala ini sangat umum terjadi di lingkungan guru dan sekolah kala itu, entah di Kabupaten Barito Timur (Bartim) kala ini.

Diklasifikasi kedua, yaitu soal aspek metodologis, disinyalir guru bahkan memiliki lebih banyak penyakit. Jenis-jenis penyakitnya, antara lain salesma (sangat lemah sekali membaca), asam urat (asal mengajar, kurang akurat), kusta (kurang strategi), kurap (kurang persiapan), stroke (suka terlambat, rupanya kebiasaan), keram (kurang terampil), serta mual (mutu amat lemah). Aspek metodologis ini memang sangat terkait erat dengan faktor courage dan kesadaran untuk berkembang yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru.
Sedangkan diklasifikasi ketiga yang menyangkut aspek keterampilan, penyakit guru disinyalir adalah TBC (tidak bisa computer) dan gaptek (gagap teknologi). saya memang tak cukup punya bukti statistik, seberapa banyak sebenarnya jumlah guru yang sampai saat ini belum bisa dan mengerti soal komputer dan makna penting teknologi sebagai bagian dari pengembangan bahan ajar di kelas, dan sekali lagi untuk mengatakan guru-guru di Kabupaten Bartim mengidap tidaknya penyakit tersebut tanyakan saja pada rumput-rumput yang enggan bergoyang.

Merebaknya SMS jenis-jenis penyakit di atas, meskipun disampaikan dengan cara dan tujuan untuk melucu, jelas memberi kita gambaran kondisi dan suasana batin para guru kita saat ini. Jika penyakit-penyakit tersebut memang benar adanya, kesalahan pertama harus kita tempakan kepada otoritas pendidikan kita yang salah dalam merumuskan kebijakan soal pengembangan kapasitas profesional guru. Guru seakan lupa pada rumusan dan definisi tentang pendidikan yang tertera dengan amat gamblang di dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) kita, yaitu sebagai sebuah “….usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.


Kata “mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran” jelas merujuk dan menuntut para guru untuk kreatif dalam mengembangkan kerangka berpikir dan bahan ajar di sekolah. Karena itu sangat boleh jadi munculnya gejala penyakit seperti disinyalir di atas relevan dengan sistem pendidikan yang membelenggu akal untuk kreatif, terutama bentukan hierarki kurikulum yang rigid dan berorientasi semata pada dunia kerja. Dan apabila penyakit-penyakit tersebut sudah tersembuhkan, semoga journal diatas masih layak dijadikan kenangan, namun sebaliknya, jika diantara pendekar pendidikan terkhusus di Kabupaten Bartim masih banyak mengidapnya semoga berkenan untuk berkaca, terimakasih.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger