Terkait dengan pemberitaan Ppost
pada edisi Sabtu, (4/2) sehingga membuat banyak guru yang kebakaran jenggot
terutama para guru sertifikasi, hal inilah yang membuat saya ingin kembali
mengangkat tulisan Profesor Muhammadun yang berjudul “13 Penyakit Guru” sebagai
pengantar diskusi yang digelar di gedung aula kantor Yayasan Sukma, Jakarta
beberapa tahun silam.
Yang membuat saya heran, kenapa
paska diskusi beredar juga Short Message Service (SMS) 13 penyakit guru
tersebut, mungkin karena banyaknya pendekar pendidikan yang masih mengidap
penyakit tersebut entah ada alasan lain bagi pengirimnya, apalagi SMS tersebut
juga banyak bermunculan di ponsel-ponsel para guru di Semarang, namun saya
tidak tahu persis apakah para guru di kabupaten berjuluk Gumi Jari Janang
Kalalawah (Bahasa Maanyan; Menjadi Jaya Selamanya) juga mendapatkannya.
Bunyi SMS tersebut memang
terasa lucu dan sedikit mengada-ada, tapi dari segi substansi tampaknya kita
tak bisa menganggap remeh isu penyakit guru ini. SMS mengenai gejala penyakit
guru ini bahkan menjadi bahan diskusi lanjutan yang cukup serius pada lingkungan
para guru di Semarang kala itu, sambil di antaranya mereka mencoba mencocokkan
jenis penyakit mana yang sudah ada dalam diri mereka masing-masing.
Bunyi SMS-nya memang tidak
sepanjang tulisan saya ini, namun saya ingin mencoba mengklasifikasikannya menjadi
tiga jenis keterampilan (skill), yaitu kemampuan personal (kepribadian),
metodologis, dan teknis. Pada aspek kemampuan kepribadian guru, penyakit yang
disinyalir ada meliputi THT (Tukang Hitung Transport), Hipertensi (Hiruk
persoalkan tentang sertifikasi), kudis (kurang disiplin), dan asma (asal
masuk). Di Semarang sendiri teramat mudah dijumpai guru yang selalu berhitung
soal pembagian transport dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
kecurangan dalam hal proses sertififikasi, kurang disiplin dan masuk
sembarangan hanya sekadar memenuhi absensi. Gejala ini sangat umum terjadi di
lingkungan guru dan sekolah kala itu, entah di Kabupaten Barito Timur (Bartim)
kala ini.
Diklasifikasi kedua, yaitu soal
aspek metodologis, disinyalir guru bahkan memiliki lebih banyak penyakit.
Jenis-jenis penyakitnya, antara lain salesma (sangat lemah sekali membaca),
asam urat (asal mengajar, kurang akurat), kusta (kurang strategi), kurap
(kurang persiapan), stroke (suka terlambat, rupanya kebiasaan), keram (kurang
terampil), serta mual (mutu amat lemah). Aspek metodologis ini memang sangat
terkait erat dengan faktor courage dan kesadaran untuk berkembang yang
seharusnya dimiliki oleh seorang guru.
Sedangkan diklasifikasi ketiga
yang menyangkut aspek keterampilan, penyakit guru disinyalir adalah TBC (tidak
bisa computer) dan gaptek (gagap teknologi). saya memang tak cukup punya bukti
statistik, seberapa banyak sebenarnya jumlah guru yang sampai saat ini belum
bisa dan mengerti soal komputer dan makna penting teknologi sebagai bagian dari
pengembangan bahan ajar di kelas, dan sekali lagi untuk mengatakan guru-guru di
Kabupaten Bartim mengidap tidaknya penyakit tersebut tanyakan saja pada
rumput-rumput yang enggan bergoyang.
Merebaknya SMS jenis-jenis
penyakit di atas, meskipun disampaikan dengan cara dan tujuan untuk melucu,
jelas memberi kita gambaran kondisi dan suasana batin para guru kita saat ini.
Jika penyakit-penyakit tersebut memang benar adanya, kesalahan pertama harus
kita tempakan kepada otoritas pendidikan kita yang salah dalam merumuskan
kebijakan soal pengembangan kapasitas profesional guru. Guru seakan lupa pada
rumusan dan definisi tentang pendidikan yang tertera dengan amat gamblang di
dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) kita, yaitu sebagai
sebuah “….usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.
Kata “mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran” jelas merujuk dan menuntut para guru untuk
kreatif dalam mengembangkan kerangka berpikir dan bahan ajar di sekolah. Karena
itu sangat boleh jadi munculnya gejala penyakit seperti disinyalir di atas
relevan dengan sistem pendidikan yang membelenggu akal untuk kreatif, terutama
bentukan hierarki kurikulum yang rigid dan berorientasi semata pada dunia
kerja. Dan apabila penyakit-penyakit tersebut sudah tersembuhkan, semoga
journal diatas masih layak dijadikan kenangan, namun sebaliknya, jika diantara
pendekar pendidikan terkhusus di Kabupaten Bartim masih banyak mengidapnya
semoga berkenan untuk berkaca, terimakasih.
Posting Komentar