Ilustrasi |
Saat masih menjadi mahasiswa
dulu, sering sekali emailku disinggahi oleh iklan-iklan tentang seminar tak
terkecuali inbox telephone seluler (Ponsel) ku pun jadi sasaran tembak mereka.
Teman-teman tersebut sebagian besar berasal dari Himpunan Mahasiswa (HIMA),
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Senat
Mahasiswa (SEMA), Dewan Mahasiswa (DEMA) dan berbagai rupa jubah organ intra maupun
ekstra dengan bangganya menyatakan.”eh Himpunanku/Organku
mau ngadain seminar loh”, atau ”Ada usul konkret,
bagaimana kalau kita ngadain seminar agar rakyat tertolong” dan sebagainya.
Terus terang, rasanya sungguh
munafik bangga hanya dengan menyelenggarakan seminar. Lebih munafik lagi adalah
menyatakan seminar dapat menolong rakyat. Karena jengah dengan seringnya iklan
semacam itu, suatu saat aku membalas email mereka,“hai teman, seminar-seminar atau apalah acara yang kau selenggarakan di
gedung besar, dengan dasi, jas, dan coffee break itu hanyalah ungkapan
kemandulanmu sebagai mahasiswa. Tidak perlu kau banggakan, dan tidak perlu juga
kau bicarakan.” Lalu dibalasnya dengan singkat, “Trus apa yang harus di perbuat?”
Selidik punya selidik ternyata teman
tersebut masih satu organ intra (BEM) denganku, dengan semangat empat lima, ku
balas lagi emailnya, “kembali pada TRI
DARMA PERGURUAN TINGGI Yakni; Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, serta
Pengabdian pada masyarakat, semua harus dimulai dari diri sendiri, kuatkan
tekad/azzam untuk selalu melakukan perubahan yang lebih berkemajuan,
menunjukkan identitas mahasiswa serta merubah paradigma berfikir dari mental
penjajah menjadi penebar rahmat.” Yang ini memang subjektif karena aku tahu
benar mental teman yang satu ini. Kalau ada acara asasnya UUD (Ujung-Ujungnya
Duit), kalau ngga gitu acara di-Tunda
(TUnggu uaNgnya aDA) dan ketika ada yang berperkara selalu menerapkan KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara).
Entah tersinggung atau merasa
digurui teman tersebut tak membalasnya. Tapi satu sisi aku masih on dan
semangat-semangatnya berceramah ria, maka ku kirim lagi email untuknya, “Ilmu apa yang sudah kau terapkan dengan
menyelenggarakan seminar itu? Hai teman, ilmu yang kau dapatkan selama di
kampus bukanlah ilmu untuk menjadi mc, untuk menjadi penerima tamu, ataukah
ilmu untuk menjadi moderator. Ilmu yang kau dapatkan di kampus adalah ilmu alam
yang diberikan Tuhanmu untuk kau sampaikan kepada umat-Nya. Jadi janganlah kau
bangga dengan segelintir kepandaianmu menggunakan jas, dasi, atau sebagainya, sementara
rakyat di luar sana
menantikan uluran tanganmu".
Setelah rangkaian kalimat
melayang ke inbox emailnya, tidak ada lagi dia mengirim iklan atau ajakan
seminar, bahkan email siluman yang datang tak di undang, pulang tak diantarpun
sirna dengan sendiri. Kuat dugaan teman tersebut menggunakan banyak akun email
untuk melancarkan aksinya (woro-woro). Tapi kangen juga rasanya email menjadi
sepi woro-woro. Iseng-iseng ku email lagi teman tersebut, “kapan ada seminar dikampus konservasi (UNNES), pengen ikutan nih,”
lalu dibalasnya “sory bro, kami sudah
undang penceramah, kalau mau pasang iklan, monggo,” dengan entengnya ku
balas “biayanya gratis ya, isi iklannya (BEM
KM UN*** menyediakan jasa Event Organizer, spesialisasi untuk seminar, nikahan,
sunatan, dan lain-lain. Contact Person 085290202XXX),” di balas lagi
olehnya, “gundulmu”.
Memang prestise kepanitiaan
seminar dalam sebuah curriculum vitae (CV) lebih bergengsi daripada prestise
partisipasi kita dalam membantu rakyat. Tapi CV hanya digunakan untuk mencari
pekerjaan di dunia. Menyitir sebuah kalimat yang sering kali diucapkan oleh
teman yang lain (Bukan teman promotor seminar yang tadi), ”Tuhan tidak akan
bertanya mana CV mu, tapi Tuhan pasti akan bertanya sudahkan ilmu yang
dititipkan-Nya padamu kau gunakan untuk umat-Nya”.
Bukan maksud untuk menggurui,
tetapi aku ingin kita semua ingat (Tuhan menganjurkan kita saling mengingatkan
dalam kebaikan) jika hidup ini tidak hanya di dunia saja. Kebanggaan hidup
bukan saat memakai dasi dan jas yang menonjolkan gaya hidup. Gaya hidup bukan terlihat saat kita menikmati
coffe break ataukah makan di hotel berbintang. Gaya hidup yang sejati adalah saat kita bisa
menyatu dengan lingkungan sekitar. Lingkungan yang diberikan Tuhan padamu.
Wahai mahasiswa-mahasiswa hedonis
(merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan
tujuan hidup dan tindakan manusia. Franz Magnis-Suseno.1987, Etika Dasar;
Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta :
Kanisius. Hlm. 114) pernahkah engkau malu menggunakan dana puluhan juta rupiah
dari para sponsor untuk makan-makan di hotel berbintang, duduk-duduk di aula
ber-ac atau malah tidur disana. Pernahkah saat itu kau memikirkan orang-orang
menderita di pelosok Indonesia
sana ?
Sungguh ironis cermin mahasiswa Indonesia saat
ini. Berkoar-koar di jalan membela rakyat, tapi di sisi lain bertipikal
hedonis. Senang foya-foya menghamburkan uang yang seharusnya bisa digunakan
untuk menolong rakyat. Menghabiskan listrik, BBM, atau uang hanya untuk pergi berdarmawisata,
sementara di sisi kiri kanan jalan yang dilalui terpampang realita bangsa saat
ini.
Beginilah moral mahasiswa Indonesia yang
sebenarnya, moral-moral munafik. Sama seperti pelajaran kemunafikan yang
berbingkai Pancasila yang dipelajarinya. Pelajaran yang hanya mengandalkan
imajinasi dan bukan realitas pribadi. Pelajaran yang hanya mengandalkan hitam
di atas putih daripada realitas kebenaran hakiki. Loh kok malah seperti orasi, tetapi apapun itu sepertinya kondisi kampus
saat aku kuliah dulu dengan kondisi kampus saat ini sepertinya beda-beda tipis.
Posting Komentar