Intelektual Tukang Vs Intelektual Organik
|
KEBERSAMAAN; Sukarelawan Ikatan Mahasiswa Pati (IMP) bersama peserta didik. |
Kemarin baru saja kita peringati hari pendidikan nasional (Hardiknas), 2 mei yang juga bertepatan dengan hari kelahiran pahlawan nasional sekaligus Bapak pendidikan Indonesia (Ki Hajar Dewantara) selalu mendapat perhatian dari sebagian besar kalangan akademisi, kali ini kementrian pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) mengusung tema yang menurutku cukup inspiring, "Bangkitnya generasi emas Indonesia."
Sudah barang tentu Kemendikbud RI tidak asal-asalan dan punya maksud serta alasan tersendiri kenapa tema ini dipilih (Baca; Bangkitnya Generasi Emas Indonesia atau Berbagai Kegiatan Warnai Hardiknas 2012) jika ulasan-ulasan yang dirilis Kemendikbud RI tersebut ditarik benang merahnya, kurang lebih; pemerintah akan menciptakan pendidikan/sekolah di bangsa ini sebagai pabrik-pabrik penghasil intelektual tukang bukan intelektual organik sebagaimana tujuan utama pendidikan itu sendiri.
Pak menteri (Muhammad Nuh) mengatakan, “2020 nanti, minimal pekerja kita lulusan SMA." dari kata yang tercetak miring tersebut sudah membuktikan dimana grand design tersebut hanya berorientasi pada dunia kerja bukan pada tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan pembukaan UUD 45 (alinea keempat).
Intelektual tukang adalah mereka yang terperangkap dalam jurang “perbudakan semu.” Yakni para intelektual yang pengabdiannya hanya menggunakan otot dan tenaga belaka, yang hanya tunduk disuruh kesana-kemari tanpa tahu tujuan dan maksud di balik apa yang mereka lakukan. mereka juga tidak pernah berfikir ke depan dengan menjadikan dirinya penuh dengan gagasan dan ide-ide cemerlang.
Intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978: 240).
CERIA; Peserta didik "Sekolah Rakyat" Tanjang, Kabupaten Pati. Jangan pernah menggadaikan cita-cita mereka demi kepentingan generasi hari ini. |
Sudah sepatutnya pendidikan itu dapat menciptakan masa baru, yakni masa pencerahan, dimana setiap orang mampu memahami tanggung jawabnya sebagai insan, sehingga terwujud kedamaian dan keadilan. Tetapi, kapankah masa itu tiba?
Saya rasa masa-masa yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan tersebut adalah melalui pendidikan yang berdasarkan filosofi iqro (baca) yang tidak hanya secara tekstual, tetapi secara konstektual dalam bentuk tindakan. Tempat pendidikan hanya sarana beserta komponen yang ada di dalamnya. Banyak ketidaksesuaian antara keharusan dan kenyataan dan inilah masalah yang banyak dihadapi pendidikan dewasa ini.
Degradasi Moral Para Akademisi
Saat ini pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara tentang kemerdekaan diri sesuai dengan nilai nasional, spiritual, dan universal yang menjadi acuan dalam dunia pendidikan semakin menjauh. Kita perhatikan saja yang terjadi di salah satu kampus, misalnya, apa urgensi senat yang terdiri dari para profesor, doktor, rektor, dekan, melakukan kunjungan kerja ke Vietnam, China, dan Kamboja? Apakah kunjungan kerja atau studi banding atau apapun namanya, dan itu yang berada di luar tanggung jawab mereka?
Sungguh ironis, Akademisi berlagak bak anggota DPR yang suka hura-hura dan jalan-jalan keluar negeri dengan alasan studi banding atau kunjungan kerja. Akan tetapi, kenyataannya hanyalah digunakan untuk bersenang-senang. Menurut isu yang berkembang, mereka ke luar negeri atas biaya APBD dan apakah ada pertanggungjawabannya sebagai orang yang berilmu?
Para akademisi seharusnya berkewajiban secara etis untuk tidak melakukan kebohongan publik akibat dari "perselingkuhan" dengan penguasa, pengusaha, dan elite politik. Dengan menjaga jarak itulah, akademisi tidak akan kehilangan daya kritisnya mengoreksi kebijakan pemerintah dan elite politik untuk berbagai masalah sosial. Sudah waktunya akademisi kembali kepada pakemnya sesuai dengan tuntutan profesi. Jangan berkamuflase dan mengingkari peran sebagai akademisi.
Posting Komentar