Sungkeman |
Entah senjak kapan fenomena sosial "mudik lebaran" mulai dipraktekkan masyarakat republik ini, namun apapun itu, setiap kali aku ingkari tradisi yang selalu jatuh pada menjelang tanggal 1 syawal kalender hijriah, perasaan yang campur aduk selalu melanda, dan tahun ini adalah tahun kedua dimana lebaran tak bersama keluarga besar.
Untuk beberapa kelompok, Lebaran artinya bisa bersilaturahmi dan berkumpul dengan keluarga besar. Keluarga yang pada keseharian susah sekali untuk bertemu karena kesibukan masing-masing. Ada yang melihat Lebaran sebagai puncak dari menahan lapar, haus, emosi selama sebulan penuh. Ada yang mengidentikkan Lebaran dengan makan ketupat. Ada yang memaknai Lebaran dengan hal-hal seperti baju baru, pulang kampung, dapat THR. Bahkan ada yang memandang Lebaran sebagai just another holiday.
Tetapi jujur saja aku tak mau berpusing-pusing memikirkan apa makna lebaran untuk orang lain. Rasanya lebih baik untuk bertanya pada diri sendiri, apa sih arti Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri untuk dirimu? Apa sih, yang dicapai setelah berpuasa dan pada akhirnya Lebaran? Apa yang didapat?
Sering kali istilah Idul Fitri dan lebaran diartikan semakna, padahal pada hakekatnya nyata berbeda. Walau keduanya dirayakan pada hari yang sama yakni setiap tanggal 1 dan 2 syawal kalender Islam.
Prilaku orang yang merayakan lebaran terlihat lebih didominasi oleh tradisi yang terkadang tak lagi sesuai dengan tuntunan Islam, sesuatu yang tidak diwajibkan seolah-olah menjadi wajib hukumnya untuk dipenuhi, tradisi foya-foya yang dipaksakan tampak nyata dalam penyambutan perayaan lebaran, himpitan ekonomi keluarga seakan terlupakan dan terselesaikan secara semu dimeja kasir kantor pegadaiaan menjelang perayaan lebaran tiba.
Seminggu jelang lebaran, pelabuhan, bandara, stasiun kereta, terminal bus antar kota penuh sesak, berjubel orang saling sikut antrian tiket kendaraan tumpangan mudik - demi merayakan “Hardiknas” HARi muDIK NASional. Berbagai upaya dilakukan agar bisa mudik walau ongkos melambung berkali-lipat, bahkan tak jarang ongkos naik jauh melebihi tahun-tahun saat Tuslah diberlakukan pemerintah.
Bagi yang berkecukupan secara finansial mungkin tradisi mudik tidak membebani ekonomi keluarga. Tapi… bagi keluarga yang tidak memiliki latar ekonomi yang cukup alias hidup pas-pasan tradisi mudik acapkali menjebak mereka terbelit rentenir, belum lagi tragedi di perjalanan yang kerap kali menghantui masyarakat kelas dua seperti gendam, copet, tipu-tipu calo tiket dan seabrek permasalahan yang sampai saat ini masih susah di urai kusutnya. Seusai mudik lebaran dirayakan, mereka kembali mengais rezeki untuk menyaur hutang plus bunga yang akan menggerogoti perekonomian rumah tangga.
Ketika malam takbiran tiba, moment penyambutan lebaran diselenggarakan dengan seremonial gegap gempita diiringi kegembiraan luar biasa, para remaja menabuh beduk dan botol bekas minuman ringan di mesjid dan musholla sementara kelompok lainnya berkeliling kota dan desa. Jalanan disesaki kemacetan orang-orang pawai takbiran, suara takbiran bersahut-sahutan disela suara petasan yang menyalak dikeramaian umat. Suara takbiran dengan teriakan parau yang tak lagi khusuk dikumandangkan kalah keras dibandingkan tabuhan beduk yang mengiringi, Asma Allah yang terucap dalam takbir sayup-sayup nyaris ”tak terdengar” dalam himpitan raungan sepeda motor ribuan anak remaja.
Bahkan yang lebih tragis terjadi saat satu keluarga bercucur air mata di depan kamar mayat sebuah rumah sakit mendapatkan putranya yang terbujur kaku penuh darah membeku di kepala akibat kecelakaan saat pawai malam takbiran. Waktu fajar 1 syawal yang semula diniatkan untuk Sholat Ied berjamaah urung terlaksana akibat kecelakaan yang menimpa putra tercinta. Suasana duka dan raungan tangis anggota keluarga bersahutan menimpali frekwensi gema takbir jamaah sholat Ied yang tak berapa jauh dari rumah duka.
Semua itu adalah penyimpangan tradisi umat islam dalam merayakan dan menyambut Idul Fitri. Sementara rasul sama sekali tidak pernah mencontohkan demikian. Derai dan isak tangis Rasulullah ketika berpisah dengan ramadhan kini berubah menjadi tradisi foya-foya penuh kegembiraan, tangisan dan kesedihan menjadi milik kita hanya ketika tak mampu beli pakaian baru atau tak punya cukup dana untuk bisa menyediakan kue-kue lebaran- jelas bukan tangisan perpisahan dengan ramadhan layaknya rasulullah dulu.
Masih dalam rangkaian seremonial Idul Fitri, berbagai Acara dan pesta bertajuk Halal bil Halal digelar dimana-mana, lumrah adanya bila acara tersebut memakan banyak biaya, dan sudah umum juga bila acara diselingi dengan tampilnya biduanita berbusana minim dengan goyangan dangdut menggoda birahi.
Sementara diluar gedung tempat penyelenggaraan acara puluhan kaum papa yang hidup nelangsa menengadahkan tangan renta yang gemetar, berhaharap uang receh dari kocek Si kaya namun terlupakan sudah karena sorotan mata si kaya tak sempat hadir ke arah mereka. Realita ini justru mengkeruhkan beningnya makna hablun minannas, ramadhan yang baru saja kita lewati tak berbekas pada tindak nyata kepeduliaan sosial, sedangkan oleh rasulullah ramadhan dijuluki sebagai bulan kesetiakawanan sosial (syahr -muwasah). Dibulan ramadhan kesetiakawanan sosial dan kepeduliaan sesama kita diasah yang semestinya akan semakin tajam setelah ramadhan dilalui.
Berbagai macam kue dan panganan dihidangkan, beragam acara ditampilkan, berjuta dana dihabiskan dalam rangka perayaan Halal bil Halal. Semua terkesan berlebihan, yang tak selaras lagi dengan anjuran rasul sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :” Makan dan minumlah tapi jangan berlebih-lebihan dan jangan untuk bermegah-megahan”.(HR Abu Daud dan Ahmad)
Perayaan Idul fitri secara essensi semestinya akan menuntun kita pada kesederhanaan, kepeduliaan sesama dan introspeksi diri, bukan balas dendam terhadap keterpasungan nafsu saat ramadhan, selama bulan ramadhan kita ikat nafsu dengan tali iman namun saat akhir ramadhan tiba justru nafsu yang bertahta menuntun kita ke arah ajang foya-foya dengan pola konsumerisme yang terlihat nyata. Jika demikian maka seusai puasa ramadahan kita hanya mendapatkan lebaran belum masuk ke ranah essensi Idul Fitri yang hakiki.
Lebaran lebih diwarnai oleh tradisi yang terkadang melenceng dari tuntunan Islam, secara kakekat dan syariah Islam tidak mengenal Lebaran semacam itu, yang umat Islam rayakan adalah Idul Fitri yakni kembalinya kesadaran ummat Islam pada fithrah kemanusiaannya, kembali suci serta mulia dan tidak menjadi tunggangan nafsu. Bila penyelenggaraan lebaran penuh dengan seremonial dan tradisi yang dituturkan di atas, rancu kiranya bila konteks lebaran dan Idul Fitri kita artikan sama. Bisa jadi itu sebenarnya sebuah kelalaian penafsiran kita memaknai Idul Fitri.
Sebuah pertanyaan sebagai kontemplasi bagi kita umat Islam perlu kiranya kita lontarkan sebagai bahan instropeksi diri. Apakah kita sudah masuk pada penyelenggaraan Idul Fitri atau masih hanya berada pada tradisi perayaan lebaran semata…..???? Semoga bermanfaat.
Disclaimer;
Jurnal yang disusun dari ceceran diskusi dua kompasioner ngelantur.
KASONGAN, Akhir Ramadhan 1433 Hijriah
Posting Komentar