Wartawan Bodrex dan Gadugan Harus Turun di Stasiun Berikutnya

Senin, 06 Agustus 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Dinamika dan Realita, wartawan daerah; Andi-Lau (Antara Dilema dan Galau), Jurnal I

Ilustrasi; Ist
Kita ketahui bersama, paska tumbangnya orde baru menuju orde paling baru, pintu kebebasan mengeluarkan pendapat terbuka lebar, bahkan praktis tidak lagi berpintu. Orang bisa ngomong apa saja, dalihnya kebebasan berpendapat, orang bisa buat apa saja, lagi-lagi dasarnya kebebsan berpendapat. Hal ini juga berimplikasi ke dunia persilatan berlabel Jurnalisme.

Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) yang lahir setelah bergulirnya era reformasi, kini berbalik menikam dunia persilatan di sebuah kereta bernama NKRI dengan gerbongnya “jurnalistik”. Pasalnya, dengan dalih kebebasan dan kemerdekaan pers, telah menjadikan gerbong ini tak lagi terkotrol.

Di lain sisi, Dewan pers yang digadang-gadang menjadi punisher-nya-pun belum dapat bekerja secara maksimal. Hal ini Nampak sekali dengan menjamurnya perusahaan media “nakal” dan wartawan non kompetensi (bodrex) –penumpang tanpa tiket- kian menjamur bak cendawan yang tumbuh subur saat musim penghujan. Sekali lagi, rujukan mereka UU Pers.

Disadari atau tidak, naiknya penumpang tanpa tiket ini membuat gerbong kelebihan muatan sehingga kereta berjalan terseok-seok. Selain penumpang tanpa tiket, orang-orang yang memanfaatkan profesi ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi -penumpang gelap- menjadikan gerbong makin bobrok.

Bagaimana tidak, masyarakat yang selama ini merasa terganggu dengan kemunculan mereka, memilih untuk menjustifikasinya secara praktis “pukul rata”, tak perduli ia memang memiliki kontribusi di dunia jurnalisme maupun para penumpang gelap dan tanpa tiket (keduanya disebut –oknum-).

Mungkin hal ini dapat dimaklumi, mengingat, masyarakat sudah lama sangat terganggu dengan keberadaan para oknum dengan penjelmaan lain semacam; wartawan gadungan, wartawan amplop, atau wartawan bodrex. Mendeteksi peumpang tapa tiket akan lebih mudah ketimbang penumpang gelap, selain punya id card (kartu pers) dan bekerja di media yang jelas/media nakal, juga punya karya jurnalistik secara teratur.

Ironis memang, mereka mengangung-agungkan kode etik jurnalistik Indonesia (KEWI) dan mendewakan UU Pers, tapi dilain sisi mereka menginjak-injak dua kitab yang masih dianggap suci oleh sebagian besar penumpang di dalam gerbong. Dan jelas sudah, penumpang gelap dan tanpa tiket inilah yang harus diturunkan di stasiun berikutnya, jika kata “ditertibkan” terdengar agak kasar. To be continued, Jurnal II,…

Kasongan, Sabtu 4/8 2012.


Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger