#Dinamika
dan Realita, wartawan daerah; Andi-Lau (Antara Dilema dan Galau), Jurnal I
Ilustrasi; Ist |
Kita
ketahui bersama, paska tumbangnya orde baru menuju orde paling baru, pintu
kebebasan mengeluarkan pendapat terbuka lebar, bahkan praktis tidak lagi
berpintu. Orang bisa ngomong apa saja, dalihnya kebebasan berpendapat, orang
bisa buat apa saja, lagi-lagi dasarnya kebebsan berpendapat. Hal ini juga
berimplikasi ke dunia persilatan berlabel Jurnalisme.
Undang
Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) yang lahir setelah
bergulirnya era reformasi, kini berbalik menikam dunia persilatan di sebuah kereta
bernama NKRI dengan gerbongnya “jurnalistik”. Pasalnya, dengan dalih kebebasan
dan kemerdekaan pers, telah menjadikan gerbong ini tak lagi terkotrol.
Di
lain sisi, Dewan pers yang digadang-gadang menjadi punisher-nya-pun belum dapat
bekerja secara maksimal. Hal ini Nampak sekali dengan menjamurnya perusahaan
media “nakal” dan wartawan non kompetensi (bodrex) –penumpang tanpa tiket- kian
menjamur bak cendawan yang tumbuh subur saat musim penghujan. Sekali lagi,
rujukan mereka UU Pers.
Disadari
atau tidak, naiknya penumpang tanpa tiket ini membuat gerbong kelebihan muatan
sehingga kereta berjalan terseok-seok. Selain penumpang tanpa tiket,
orang-orang yang memanfaatkan profesi ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi
-penumpang gelap- menjadikan gerbong makin bobrok.
Bagaimana
tidak, masyarakat yang selama ini merasa terganggu dengan kemunculan mereka,
memilih untuk menjustifikasinya secara praktis “pukul rata”, tak perduli ia
memang memiliki kontribusi di dunia jurnalisme maupun para penumpang gelap dan
tanpa tiket (keduanya disebut –oknum-).
Mungkin
hal ini dapat dimaklumi, mengingat, masyarakat sudah lama sangat terganggu
dengan keberadaan para oknum dengan penjelmaan lain semacam; wartawan gadungan,
wartawan amplop, atau wartawan bodrex. Mendeteksi peumpang tapa tiket akan
lebih mudah ketimbang penumpang gelap, selain punya id card (kartu pers) dan
bekerja di media yang jelas/media nakal, juga punya karya jurnalistik secara
teratur.
Ironis memang, mereka
mengangung-agungkan kode etik jurnalistik Indonesia (KEWI) dan mendewakan UU
Pers, tapi dilain sisi mereka menginjak-injak dua kitab yang masih dianggap
suci oleh sebagian besar penumpang di dalam gerbong. Dan jelas sudah, penumpang
gelap dan tanpa tiket inilah yang harus diturunkan di stasiun berikutnya, jika
kata “ditertibkan” terdengar agak kasar. To be continued, Jurnal II,…
Kasongan,
Sabtu 4/8 2012.
Posting Komentar