Amplop, Angpao dan Sejenisnya; Suap?

Senin, 06 Agustus 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


#Dinamika dan Realita, wartawan daerah; Andi-Lau (Antara Dilema dan Galau), Jurnal II
Ilustrasi; Ist
Aku sering berdiskusi dengan kawan-kawan pemburu warta dan kuli tinta tentang keberadaan penumpang gelap –wartawan gadungan- dan penumpang tanpa tiket –wartawan bodrex- yang sangat merugikan masyarakat serta dunia pers ini. Sebagian besar diantara mereka menyatakan prihatin, jengkel, marah, dan sejenisnya. Ku kira perlu ada gerakan khusus dari pemerintah, dewan pers, dan insan pers profesional untuk segera “menertibkan” keberadaan wartawan bodrex atau wartawan gadungan ini.

Tindakan semacam penertiban akan makin berarti jika kalangan media juga terus melakukan pembinaan internal untuk meningkatkan profesionalisme wartawannya, utamanya dalam hal ketaatan pada kode etik jurnalistik. Poin 5 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan Dewan Pers (SK No. No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000) menyebutkan, ” Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan menyalahgunakan profesi”.

Kita sangat “angkat topi” bagi sejumlah media massa yang mengharamkan wartawannya menerima amplop, karena memang itu tidak perlu. Isi amplop hanya akan membebani sang wartawan untuk menurunkan berita, padahal dimuat-tidaknya sebuah berita bukan wewenangnya, melainkan wewenang redaktur yang menjadi atasannya. Lain soal jika sang redaktur “kecipratan” dan turut punya beban moral.

“Budaya amplop” juga mengurangi profesionalisme para wartawan, termasuk bobot berita. Berita adalah laporan peristiwa. Namun tidak semua peristiwa layak dilaporkan (dijadikan berita). Sebuah peristiwa layak dibertakan (fit to print) hanya jika mengandung nilai-nilai jurnalistik atau news value, seperti aktual, faktual, penting, dan menarik.

Sebuah amplop dapat membuat wartawan menjalankan tugasnya secara tidak fair, berat sebelah, biased, hanya menguntungkan satu pihak. Sedangkan wartawan profesional menulis berita secara seimbang (balanced), cover both side, memegang teguh Fairness Doctrine (doktrin kejujuran). Jika demikian, pembaca atau masyarakat yang dirugikan karena tidak mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang.

Entah siapa yang memulai, wartawan yang minta duit ataukah panitia yang menyuap wartawan, sehingga terbentuk “budaya amplop” itu. Yang jelas, kebiasaan buruk itu harus segera dihentikan sekarang juga. Toh jika ada acara bagus dan layak diberitakan, wartawan akan datang dengan sendirinya, bahkan tidak diundang sekalipun. Panitia acara cukup mengirimkan pemberitahuan atau menulis siaran pers (press realease).

Memang, “budaya amplop” merupakan salah satu ciri jurnalistik negara berkembang. Menurut Albert L. Hester dalam Handbook for Third World Journalist (sudah diterjemahkan dengan judul Pedoman untuk Wartawan, USIS, 1987), fenomena itu muncul karena kurangnya permodalan industri pers sehingga pers belum mampu memberikan imbalan yang layak bagi wartawannya.

KOLABORASI; Bodrex & Gadungan,hehe,.. Bromo Inside
Yang memprihatinkan, akibat “budaya” itu, bermunculan wartawan gadungan dan wartawan bodrex yang merugikan citra wartawan dan menjengkelkan masyarakat. Jika kebiasaan panitia acara, para humas instansi atau perusahaan, atau pihak mana pun memberi “amplop” kepada wartawan tidak dihentikan, maka jangan harap “budaya” itu sirna.

Teringat sebuah statement seorang wartawan bernama Didik Supriyanto, ia mengusulkan agar kalangan kehumasan tidak mengorganisir wartawan, seperti yang dilakukan berbagai institusi dan perusahaan, sehingga tidak akan ada lagi istilah “wartawan Polda”, “wartawan Pertamina”, “wartawan Kejaksaan Agung”, dan sebagainya. Langkah tersebut diperlukan untuk menekan penyalahgunaan profesi wartawan untuk mencari uang dari sumber berita.

Sekjen Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) ini juga menyayangkan tindakan pejabat humas di kalangan BUMN yang menyediakan “amplop” bagi wartawan. “Yang mereka bagi-bagikan itu ‘kan uang rakyat. Ini praktek korupsi yang harus dihentikan,” tandasnya.

Di lain sisi, mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah mengakui, sejak era reformasi persoalan “amplop” kian parah. Penyebabnya, jumlah wartawan legal dan ilegal yang makin banyak dan tidak terkendali. Karena itu, Atmakusumah mengusulkan agar masyarakat pers segera menentukan kriteria umum mengenai organisasi pers yang kini jumlahnya tak lagi dapat dideteksi oleh radar Dewan Pers.

Ia berharap para pekerja pers sadar, bahwa bidang pekerjaannya adalah sebuah pekerjaan profesional yang terikat kode etik. KEWI menyebutkan, “Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi”. Namun Atmakusumah juga mengakui, “godaan uang” sering membuat wartawan lupa diri akan tugas dan kewajibannya.

Mengulas kembali petuah kawan pada jurnal sebelumnya, “jika ingin kaya, jangan jadi wartawan,” kecuali Anda mempunyai perusahaan sendiri atau Anda seorang penulis terkemuka dalam beberapa perusahaan pers. Jurnalistik bukanlah pekerjaan mudah, tetapi ia dapat membuat seorang wartawan merasa lebih penting dari seorang pengurus bank. Uang adalah penting, tetapi ia bukan merupakan pendorong bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam bidang persuratkabaran.

Dalam suasana bulan Ramadhan seperti ini, biasanya orang lebih sensitif dengan petuah yang terkait dengan ajaran agama, dan aku pun masih teramat yakin dengan kesadaran para wartawan muslim yang tahu betul mengenai amplop bisa masuk kategori suap yang diharamkan, atau setidaknya syubhat. Dan Allah SWT melaknat pemberi dan penerima suap. Wallahu a’lam. To be continued, Jurnal III,...

Kasongan, Minggu 5/8 2012.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger