#Dinamika
dan Realita, wartawan daerah; Andi-Lau (Antara Dilema dan Galau), Jurnal II
Ilustrasi; Ist |
Aku
sering berdiskusi dengan kawan-kawan pemburu warta dan kuli tinta tentang
keberadaan penumpang gelap –wartawan gadungan- dan penumpang tanpa tiket
–wartawan bodrex- yang sangat merugikan masyarakat serta dunia pers ini. Sebagian
besar diantara mereka menyatakan prihatin, jengkel, marah, dan sejenisnya. Ku
kira perlu ada gerakan khusus dari pemerintah, dewan pers, dan insan pers
profesional untuk segera “menertibkan” keberadaan wartawan bodrex atau wartawan
gadungan ini.
Tindakan
semacam penertiban akan makin berarti jika kalangan media juga terus melakukan
pembinaan internal untuk meningkatkan profesionalisme wartawannya, utamanya
dalam hal ketaatan pada kode etik jurnalistik. Poin 5 Kode Etik Wartawan
Indonesia (KEWI) yang ditetapkan Dewan Pers (SK No. No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20
Juni 2000) menyebutkan, ” Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan
menyalahgunakan profesi”.
Kita
sangat “angkat topi” bagi sejumlah media massa yang mengharamkan wartawannya
menerima amplop, karena memang itu tidak perlu. Isi amplop hanya akan membebani
sang wartawan untuk menurunkan berita, padahal dimuat-tidaknya sebuah berita
bukan wewenangnya, melainkan wewenang redaktur yang menjadi atasannya. Lain
soal jika sang redaktur “kecipratan” dan turut punya beban moral.
“Budaya
amplop” juga mengurangi profesionalisme para wartawan, termasuk bobot berita.
Berita adalah laporan peristiwa. Namun tidak semua peristiwa layak dilaporkan
(dijadikan berita). Sebuah peristiwa layak dibertakan (fit to print) hanya jika
mengandung nilai-nilai jurnalistik atau news value, seperti aktual, faktual,
penting, dan menarik.
Sebuah
amplop dapat membuat wartawan menjalankan tugasnya secara tidak fair, berat
sebelah, biased, hanya menguntungkan satu pihak. Sedangkan wartawan profesional
menulis berita secara seimbang (balanced), cover both side, memegang teguh
Fairness Doctrine (doktrin kejujuran). Jika demikian, pembaca atau masyarakat
yang dirugikan karena tidak mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang.
Entah
siapa yang memulai, wartawan yang minta duit ataukah panitia yang menyuap
wartawan, sehingga terbentuk “budaya amplop” itu. Yang jelas, kebiasaan buruk
itu harus segera dihentikan sekarang juga. Toh jika ada acara bagus dan layak
diberitakan, wartawan akan datang dengan sendirinya, bahkan tidak diundang
sekalipun. Panitia acara cukup mengirimkan pemberitahuan atau menulis siaran
pers (press realease).
Memang,
“budaya amplop” merupakan salah satu ciri jurnalistik negara berkembang.
Menurut Albert L. Hester dalam Handbook for Third World Journalist (sudah
diterjemahkan dengan judul Pedoman untuk Wartawan, USIS, 1987), fenomena itu
muncul karena kurangnya permodalan industri pers sehingga pers belum mampu
memberikan imbalan yang layak bagi wartawannya.
KOLABORASI; Bodrex & Gadungan,hehe,.. Bromo Inside |
Yang
memprihatinkan, akibat “budaya” itu, bermunculan wartawan gadungan dan wartawan
bodrex yang merugikan citra wartawan dan menjengkelkan masyarakat. Jika
kebiasaan panitia acara, para humas instansi atau perusahaan, atau pihak mana
pun memberi “amplop” kepada wartawan tidak dihentikan, maka jangan harap
“budaya” itu sirna.
Teringat
sebuah statement seorang wartawan bernama Didik Supriyanto, ia mengusulkan agar
kalangan kehumasan tidak mengorganisir wartawan, seperti yang dilakukan
berbagai institusi dan perusahaan, sehingga tidak akan ada lagi istilah
“wartawan Polda”, “wartawan Pertamina”, “wartawan Kejaksaan Agung”, dan
sebagainya. Langkah tersebut diperlukan untuk menekan penyalahgunaan profesi
wartawan untuk mencari uang dari sumber berita.
Sekjen
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) ini juga menyayangkan tindakan pejabat humas
di kalangan BUMN yang menyediakan “amplop” bagi wartawan. “Yang mereka
bagi-bagikan itu ‘kan uang rakyat. Ini praktek korupsi yang harus dihentikan,” tandasnya.
Di
lain sisi, mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah mengakui, sejak era reformasi
persoalan “amplop” kian parah. Penyebabnya, jumlah wartawan legal dan ilegal
yang makin banyak dan tidak terkendali. Karena itu, Atmakusumah mengusulkan
agar masyarakat pers segera menentukan kriteria umum mengenai organisasi pers
yang kini jumlahnya tak lagi dapat dideteksi oleh radar Dewan Pers.
Ia
berharap para pekerja pers sadar, bahwa bidang pekerjaannya adalah sebuah
pekerjaan profesional yang terikat kode etik. KEWI menyebutkan, “Wartawan
Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi”. Namun
Atmakusumah juga mengakui, “godaan uang” sering membuat wartawan lupa diri akan
tugas dan kewajibannya.
Mengulas
kembali petuah kawan pada jurnal sebelumnya, “jika ingin kaya, jangan jadi
wartawan,” kecuali Anda mempunyai perusahaan sendiri atau Anda seorang penulis
terkemuka dalam beberapa perusahaan pers. Jurnalistik bukanlah pekerjaan mudah,
tetapi ia dapat membuat seorang wartawan merasa lebih penting dari seorang
pengurus bank. Uang adalah penting, tetapi ia bukan merupakan pendorong bagi
seseorang untuk melibatkan diri dalam bidang persuratkabaran.
Dalam suasana bulan Ramadhan seperti
ini, biasanya orang lebih sensitif dengan petuah yang terkait dengan ajaran
agama, dan aku pun masih teramat yakin dengan kesadaran para wartawan muslim
yang tahu betul mengenai amplop bisa masuk kategori suap yang diharamkan, atau
setidaknya syubhat. Dan Allah SWT melaknat pemberi dan penerima suap. Wallahu
a’lam. To be continued, Jurnal III,...
Kasongan, Minggu
5/8 2012.
Posting Komentar