Dinamika
dan Realita, wartawan daerah; Andi-Lau (Antara Dilema dan Galau), Jurnal III -
End
BUDAYA DISKUSI; Masihkah lestari di Kampusmu, Kawan? |
Sebelumnya
aku hanya ingin menulis satu dua buah jurnal tenteng carut marut kereta bernama
NKRI dengan salah satu gerbong berlabel Jurnalisme. Namun entah kenapa hati ini
selalu tergerak untuk mengangkatnya kembali dan lagi, lalu ini lagi selanjutnya
yang ini juga. (JURNAL I, JURNAL II, JURNAL III)
Selain
sibuk mempersalahkan wartawan bodrex dengan perilakunya “berburu” amplop
(angpao), diri ini masih saja diselimuti “?” (dibaca; tanda taya, hehe) siapa yang
memulai memberi warna dunia per-agpao-an ini, wartawan yang minta duit ataukah
panitia yang menyuap wartawan, sehingga terbentuk “budaya amplop” itu.
Karena
gerbongnya over capacity, demi kelangsungan perjalanan, penumpang gelap
-wartawan gadungan- dan penumpang tanpa tiket -wartawan bodrex- harus
diturunkan. Atau kalau perlu diturunkan paksa, meski belum sampai setasiun
berikutnya. Toh jika ada acara bagus dan layak diberitakan, wartawan akan datang
dengan sendirinya, bahkan tidak diundang sekalipun. Panitia acara cukup
mengirimkan pemberitahuan atau menulis siaran pers (press realease).
Budaya
di dunia persilatan (Jurnalisme Indonesia) yang salah kaprah; bahkan mahluk sepertiku pernah diaggap
“alien” karena menolak pemberian yang diberikan narasumber. Lebih parah lagi,
teman – teman seprofesi menganggapku sok suci lah, sok inilah, sok itulah dan sok-sok
lainnya. Hal semacam inilah yang membuat punisher (Dewan Pers), kesulitan ambil
sikap. Selain sudah dianggap wajar, yang demikian ini telah membudaya.
Maraknya
wartawan bodrex dan wartawan gadungan, disebabkan oleh;
1.Proses rekruitment
di sebuah media sendiri yang terkesan kejar target, jadi jangankan bicara
kualitas berita, etika atau moralitas wartawan, yang dipikirkan hanyalah
bagaimana seorang wartawan mampu menyetor sekian jumlah berita, syukur – syukur
bisa dapat iklan, bahkan ada beberapa media kecil yang sebaliknya, biar tidak
dapat berita yang penting bisa setor, karena berita sekarang gampang dicari. Tinggal
klik internet, dan dapat berita model apa saja. Khususnya di Di daerah seperti
Kalimantan, jarang perusahaan media mau mengeluarkan dana untuk peningkatan kualitas
wartawannya, syukur – syukur kalau bisa dilakukan pelatihan setelah proses
rekruitmen dan sebelum wartawan diturunkan ke lapangan.
2.Berikutnya lagi,
banyak media hanya menggaji wartawannya dengan “kartu pers” saja, jadi tidak
mengherankan kalau ada wartawan yang merasa bangga dengan menggantungkan
sejumlah kartu pers dari beberapa media. Itu artinya “tingkat kesejahteraan”
dalam hal gaji, masih jauh dari Upah Minimal Regional (UMR). Bahkan salah satu
media besar di Kalimantan, ada yang hanya menggaji wartawannya sebesar Rp.
350.000/bulan, padahal UMR di Kalimantan sekitar Rp. 1.350.000/bulan. Bicara fasilitas
untuk meliput jangan ditanyakan, jadi wartawan juga harus bermodal, kalau tidak
punya modal ya harus pintar, pintar menggandeng sponsor dan cari donor dari
narasumber.
3.Media masih
dilihat oleh masyarakat sebagai alat publikasi, sehingga yang terjadi bukanlah
peran kontrol, tapi yang ada fungsi ekonomi lebih menonjol, dimana media lebih
memilih “menjual” halaman mereka kepada pemilik uang. Bisa pemerintah, swasta
atau sebagainya, dengan kondisi tersebut terkadang hasil kerja wartawan menjadi
nomor sekian, yang penting income buat medianya dulu, dan kondisi tersebut
justru menggiring wartawan juga menjadi antek dari fungsi ekonomi sebuah media.
Parahnya lagi tidak jelas “garis api” batas antara advertorial/society dan
berita sudah bercampur aduk.
4.Kesadaran dari
para wartawan yang “terlalu tinggi” atau “terlalu rendah”. Terlalu tinggi
maksudnya sadar, tidak mendapat jaminan sejahtera dari kantor, maka dengan
modal kartu pers bisa saja mereka bertelikung dengan narasumber dan
“melacurkan” fungsi dan idealism-nya. Terlalu rendah, disini bisa jadi para
wartawan ini tidak memiliki pengetahuan mendasar dan kuat tentang apa sih
wartawan itu. Yang terbayang dalam benak mereka, wartawan kerjanya berpindah
dari satu ruang ke ruang lain, dari tempat jumpa pers satu ke tempat jumpa pers
lainnya, dari amplop satu ke amplop lainnya, sehingga yang lebih sering mereka
perbincangkan adalah masalah, berapa jumlah angpao/isi amplop hari ini,
ketimbang apa yang mereka buat untuk masyarakat hari ini melalui tulisan mereka.
Dan istilah paling berlaku adalah; “86″.
Ilustrasi |
Tulisan ini tak ada maksud menyudutkan
pihak manapun, hanya sebuah celoteh dan realisasi bacaan, serta hasil
dialektika di rimba per-jurnalistikan daerah. Jika anda tersinggung dan
menanggapi dengan serius apa yang ku ulas, ada dua kemungkinan penilaianku terhadap anda; pertama,
anda termasuk di dalamnya, dan kedua, anda kurang kerjaan. Wassalam.
KASONGAN,
Senin 6/8 2012.
Posting Komentar