Benang Ruwet Wartawan Bodrex dan Wartawan Gadungan

Kamis, 09 Agustus 20120 komentar

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Dinamika dan Realita, wartawan daerah; Andi-Lau (Antara Dilema dan Galau), Jurnal III - End
BUDAYA DISKUSI; Masihkah lestari di Kampusmu, Kawan?
Sebelumnya aku hanya ingin menulis satu dua buah jurnal tenteng carut marut kereta bernama NKRI dengan salah satu gerbong berlabel Jurnalisme. Namun entah kenapa hati ini selalu tergerak untuk mengangkatnya kembali dan lagi, lalu ini lagi selanjutnya yang ini juga. (JURNAL I, JURNAL II, JURNAL III)

Selain sibuk mempersalahkan wartawan bodrex dengan perilakunya “berburu” amplop (angpao), diri ini masih saja diselimuti “?” (dibaca; tanda taya, hehe) siapa yang memulai memberi warna dunia per-agpao-an ini, wartawan yang minta duit ataukah panitia yang menyuap wartawan, sehingga terbentuk “budaya amplop” itu.

Karena gerbongnya over capacity, demi kelangsungan perjalanan, penumpang gelap -wartawan gadungan- dan penumpang tanpa tiket -wartawan bodrex- harus diturunkan. Atau kalau perlu diturunkan paksa, meski belum sampai setasiun berikutnya. Toh jika ada acara bagus dan layak diberitakan, wartawan akan datang dengan sendirinya, bahkan tidak diundang sekalipun. Panitia acara cukup mengirimkan pemberitahuan atau menulis siaran pers (press realease).

Budaya di dunia persilatan (Jurnalisme Indonesia) yang salah kaprah; bahkan mahluk sepertiku pernah diaggap “alien” karena menolak pemberian yang diberikan narasumber. Lebih parah lagi, teman – teman seprofesi menganggapku sok suci lah, sok inilah, sok itulah dan sok-sok lainnya. Hal semacam inilah yang membuat punisher (Dewan Pers), kesulitan ambil sikap. Selain sudah dianggap wajar, yang demikian ini telah membudaya.

Maraknya wartawan bodrex dan wartawan gadungan, disebabkan oleh;

1.Proses rekruitment di sebuah media sendiri yang terkesan kejar target, jadi jangankan bicara kualitas berita, etika atau moralitas wartawan, yang dipikirkan hanyalah bagaimana seorang wartawan mampu menyetor sekian jumlah berita, syukur – syukur bisa dapat iklan, bahkan ada beberapa media kecil yang sebaliknya, biar tidak dapat berita yang penting bisa setor, karena berita sekarang gampang dicari. Tinggal klik internet, dan dapat berita model apa saja. Khususnya di Di daerah seperti Kalimantan, jarang perusahaan media mau mengeluarkan dana untuk peningkatan kualitas wartawannya, syukur – syukur kalau bisa dilakukan pelatihan setelah proses rekruitmen dan sebelum wartawan diturunkan ke lapangan.

2.Berikutnya lagi, banyak media hanya menggaji wartawannya dengan “kartu pers” saja, jadi tidak mengherankan kalau ada wartawan yang merasa bangga dengan menggantungkan sejumlah kartu pers dari beberapa media. Itu artinya “tingkat kesejahteraan” dalam hal gaji, masih jauh dari Upah Minimal Regional (UMR). Bahkan salah satu media besar di Kalimantan, ada yang hanya menggaji wartawannya sebesar Rp. 350.000/bulan, padahal UMR di Kalimantan sekitar Rp. 1.350.000/bulan. Bicara fasilitas untuk meliput jangan ditanyakan, jadi wartawan juga harus bermodal, kalau tidak punya modal ya harus pintar, pintar menggandeng sponsor dan cari donor dari narasumber.

3.Media masih dilihat oleh masyarakat sebagai alat publikasi, sehingga yang terjadi bukanlah peran kontrol, tapi yang ada fungsi ekonomi lebih menonjol, dimana media lebih memilih “menjual” halaman mereka kepada pemilik uang. Bisa pemerintah, swasta atau sebagainya, dengan kondisi tersebut terkadang hasil kerja wartawan menjadi nomor sekian, yang penting income buat medianya dulu, dan kondisi tersebut justru menggiring wartawan juga menjadi antek dari fungsi ekonomi sebuah media. Parahnya lagi tidak jelas “garis api” batas antara advertorial/society dan berita sudah bercampur aduk.

4.Kesadaran dari para wartawan yang “terlalu tinggi” atau “terlalu rendah”. Terlalu tinggi maksudnya sadar, tidak mendapat jaminan sejahtera dari kantor, maka dengan modal kartu pers bisa saja mereka bertelikung dengan narasumber dan “melacurkan” fungsi dan idealism-nya. Terlalu rendah, disini bisa jadi para wartawan ini tidak memiliki pengetahuan mendasar dan kuat tentang apa sih wartawan itu. Yang terbayang dalam benak mereka, wartawan kerjanya berpindah dari satu ruang ke ruang lain, dari tempat jumpa pers satu ke tempat jumpa pers lainnya, dari amplop satu ke amplop lainnya, sehingga yang lebih sering mereka perbincangkan adalah masalah, berapa jumlah angpao/isi amplop hari ini, ketimbang apa yang mereka buat untuk masyarakat hari ini melalui tulisan mereka. Dan istilah paling berlaku adalah; “86″.

Ilustrasi

Tulisan ini tak ada maksud menyudutkan pihak manapun, hanya sebuah celoteh dan realisasi bacaan, serta hasil dialektika di rimba per-jurnalistikan daerah. Jika anda tersinggung dan menanggapi dengan serius apa yang ku ulas, ada dua kemungkinan penilaianku terhadap anda; pertama, anda termasuk di dalamnya, dan kedua, anda kurang kerjaan. Wassalam.

KASONGAN, Senin 6/8 2012.
Share this article :

Posting Komentar

Followers My Blog

 
Support : Creating Website | Fahruddin Fitriya SH | Kecoak Elektronik
Copyright © 2012. PENA FITRIYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Vitrah Nusantara
Proudly powered by Blogger